[CERPEN] I'm Falling in Love with Our Friendship

Standar dan kriteria yang kamu tetapkan akan kalah dengan dia yang memberi kenyamanan

Kata-kata itu terus terngiang di pikiranku.

Kurasa semua itu benar dan aku mengalaminya saat ini.

“Pada akhirnya semua standar dan kriteria yang kamu tetapkan akan kalah dengan dia yang punya waktu dan memberi kenyamanan padamu.”

Dia memang bukan kekasihku, apalagi masuk dalam kriteria pria idamanku.

Dia pria sedingin gunung es dan tak pernah bisa memperlakukan wanita selayaknya wanita.

Tapi aku menikmati kehadirannya, membuatku penasaran akan sosoknya.

Aku selalu merindukan senyumnya, candanya, nasihat-nasihatnya dan waktu kami tertawa bersama.

Aku pikir, aku sedang jatuh cinta dengan persahabatan kami

***

Tuhan,

Dia masuk dalam hidupku..

Memberi sejumlah tawa tak terbayar..

Merajut tali persahabatan antara dua insan berbeda..

 

Once upon a time #1

2009

Langit mendung hari itu tak menghentikan langkahku untuk tetap berjalan menembus gerimis pagi hari yang membasahi hampir seluruh tubuhku. Ini hari pertama aku menjadi siswi resmi SMA Santa Dominikus. Seragam putih kotak-kotak, rompi hijau, dasi yang menawan membuat aku percaya diri di kelas baruku. Dan tentunya akan menyenangkan ketika aku mengetahui aku sekelas dengan Mike Juan, seorang sahabatku sejak taman kanak-kanak. Pria dengan perawakan tinggi, berkulit sawo matang, alis tebal dan sangat berbakat dalam bidang seni. Tak heran banyak wanita di sekolahku yang menjadi pengagumnya, walaupun belum satupun telah dipilihnya.

“Mike duduk sama siapa?” tanyaku.

“Ntar deh gue kenalin sama teman gue, gue udah janjian duduk sama dia, lo duduk depan kita-kita aja.”

“Oke.”

Tak lama kemudian pria berperawakan kurus, putih, berkacamata, berdahi lebar sedang kebingungan mencari bangku yang kosong.

“Yud siniii!”, teriak Miko di sebelah persis telingaku dan ingin aku menonjok hidungnya.

Wajah pria yang kebingungan kini berubah secerah matahari yang sedang bersinar, merah merekah gembira.

“Hai! Gue hampir kesiangan,” katanya.

Kring..kring..kring.. Bunyi bel membubarkan obrolan kami dan murid-muridpun berhamburan keluar kelas untuk berbaris.

***

“Diii!” teriak Mike sambil berlari menghampiriku disusul oleh pria di belakangnya. Aku menoleh dan tersenyum kepadanya.

Lo mau langsung balik? Makan dulu yuk! Sekalian nongkrong-nongkrong, lo juga belum sempat kenalan kan tadi sama Yudi.”

Hm.. Oke, jadi namamu Yudi? Namaku Euodia, biasa dipanggil Eudi. Senang berkenalan.”

“Hahaha. Kata-kata lo sok asyik Di, formal banget lagi pake aku kamu segala. Sejak kapan?” Mike tertawa keras seperti tak ada orang yang mendengarnya.

 “Kenapa? Gak suka?” Aku meliriknya sinis sambil berjalan menuju pintu gerbang sekolah.

Hujan masih belum berhenti sejak pagi tadi, langit mendung menemani hari ini. Kami memutuskan untuk pergi ke salah satu restoran fast food di dekat sekolah. Perbincangan ringanpun menemani kami hingga pukul dua siang hari. Yudi lebih banyak diam daripada kami berdua, kupikir karena belum terlalu saling mngenal jadi kami sedikit canggung. Pertama kali aku melihat dia, kupikir dia sangat jutek untuk ukuran pria. Tapi seiring berjalannya waktu, dia pria yang cukup seru untuk mengobrol dan kami sering menghabiskan waktu bertiga baik untuk belajar, mengobrol, curhat maupun hal-hal lainnya.

***

Nina.. Joni.. Melly.. Suara lantang seorang pria memenuhi isi kelas. Satu persatu murid yang namanya dipanggil berjalan ke arah meja guru untuk mengambil hasil ujian satu minggu lalu. Raut mereka cukup berubah setelah melihat hasil tersebut. Jantungku menjadi tambah berdebar, namun hingga hampir semua murid telah dipanggil namaku belum juga disebut.

“Euodia Triphosa” kata bapak guru berkacamata itu.

Akupun maju tak sabar melihat nilai ujianku minggu lalu yang dapat dibilang sulit untuk dikerjakan.

“Sembilan puluh delapan. Good. Tingkatkan lagi. Dan jangan lupa untuk latihan siang ini di ruang biasa bersama saya dan anak-anak kelas XI.”

“Baik Pak.” Aku tersenyum bangga dan bahagia.

“Oh ya, Yudi juga jangan lupa kamu ajak siang nanti.”

Aku cukup terkejut dengan kalimatnya yang terakhir. Aku memang belum terlalu mengenal Yudi. Sejak SD aku memang sering mengikuti lomba-lomba di pelajaran Matematika, dan aku mempertahankan prestasiku hingga saat ini. Tak pernah aku melepas kesempatan dari peringkat tiga besar paralel di sekolah. Beberapa lalu juga aku mengikuti lomba alat peraga Matematika dan mendapat peringkat ketiga sewilayah kota. Cukup baik menurutku. Namun sampai di SMA ini, aku belum pernah mendengar nama Yudi di sekolah, bahkan aku merasa tak pernah mengenalnya sejak duduk di bangku sekolah dasar.

“Ya kamu saya akan ikutkan dalam pelatihan Olimpiade Matematika. Jadwal latihan sepulang sekolah dan untuk masalah hari akan diatur sesuai dengan jadwal setiap anak masing-masing.” Dengan tegas Pak Hary mengatakan itu sambil berjalan cepat meninggalkan kami di ruang latihan. Aku lihat wajah Yudiak kebingungan.

“Nilaiku 98, sama kaya lo. Tapi ini baru sekali, sedangkan nilai ulangan yang lain tak sebagus ini. Dan dengan mudahya dia mengambil keputusan untuk mengikutkanku di pelatihan ini.” gerutunya.

Aku tersenyum kecil. “Bagus dong, berarti lo dapat kesempatan langka. Udah jalanin aja, tenang aja, latihannya gak seberat yang lo pikir. Disini kita sama-sama belajar.”

Pelatihan hari itu terasa sangat cepat, jam telah mununjukan pukul 15.00. Telah satu jam setengah kami mengerjakan soal. Apalagi sekarang ada Yudi yang bersamaku, setidaknya aku bukan anak kelas X sendiri disini.

***

Mataku masih berat untuk melihat jam saat itu, tapi kupaksakan untuk bangun. Sudah pukul 17.00, aku ketiduran selama satu jam. Kuambil handphone di pinggir kasur, ada satu chat masuk.

“Di, lagi apa lo? Besok kan hari Sabtu, gimana nonton di rumah gue? Kayanya banyak film baru yang bagus. Kita pinjam aja sama tukang CD depan toko gue. Gratis. Haha. Ntar gue ajak Yudi juga.” Itu chat singkat dari Mike sekitar pukul 16.30. Aku mengiyakan ajakannya karena akupun tak ada jadwal pergi untuk besok.

“Siang Tante.” Sapaku pada ibunya Mike. Aku sudah mengenal ibunya Mike sejak taman kanak-kanak, jadi main di rumahnya pun tak asing bagiku.

“Siang Tante, ini ada titipan dari Mami. Tadi Mami masak banyak di rumah, aku disuruh membawakan kesini.” Kedatangan Yudi mengagetkanku, sepertinya tadi tidak ada orang yang berjalan di belakangku, tapi dia tiba-tiba sudah ada disini.

“Terima kasih Yud, Mike sudah di atas sejak tadi, kalian berdua langsung naik saja.”

Wangi coklat menusuk hidungku saat membuka pintu kamarnya, meski ukuran kamarnya cukup luas dilengkapi ornament dalam satu lemari besar, tapi wangi itu cukup membuat indra penciumanku menghirup lebih dalam lagi. Hot chocolate yang sedang diminumnya membuatku tak tahan untuk meminumnya juga. Hot chocolate adalah minuman kesukaanku.

Lo minum hot chocolate? Sengaja biar gue ngiler?”

Hahaha. Ambil saja di dapur, lo kaya orang asing aja. Kita jadi nonton apa? Gue udah nyolong ini beberapa CD dari mamang-mamang depan.”

“Bebas. Lo ambil film apa aja? Kenapa action semua? Gak ada film romantis apa?”

“Ya karena gue gak mau galau.”

Julukan Mr. Galau Sedunia tak pernah lepas dari Mike Juan. Pesonanya membuat wanita di sekelilingnya jatuh cinta kepadanya, kecuali aku. Sikap lembut dan romantisnya pada wanita menjadikan daya pikat tersendiri. Tapi beberapan waktu lalu Mike mengalami patah hati dengan salah seorang wanita mungil di kelas sebelah. Mereka cukup dekat dan orang-orang berpikir mereka berpacaran. Tapi ternyata wanita itu hanya memanfaatkannya.

Move on Bro!” kataku sambil melempar bantal ke arahnya.

“Yud, kalau lo, lo belum pernah naksir cewe?” wajah Mike tampak penasaran.

“Belum.”

“Kenapa? Sama Eudi gimana? Dia juga jomblo kok. Mana ada cowo yang mau sama dia kalau jutek kaya gitu. Haha.”

“Eh enak aja, lo gak inget emang berapa cowo yang patah hati karena gue tolak? Gue bukan jomblo, tapi single.”

“Apa bedanya jomblo sama single. Aduh.”

“Beda lha. Jomblo itu lo, nasib. Kalau single pilihan.”

Yudi hanya tersenyum melihat pertengkaran mulut antara aku dan Mike. Dia memang pria yang cukup tertutup, tak banyak bicara jika tak kenal, cuek tingkat dewa, dingin, lugu, polos dan tak menarik bagiku. Sejak saat itulah kami bersahabat.

 

Saat rasa itu mulai tumbuh #2

Sabtu, 31 Mei 2014

Ini bukan kali pertama aku berlaku bodoh, menghabiskan uang bulananku untuk makan di restoran mewah. Ya aku tahu itu akan menguras kantongku dan aku bisa tidak makan dalam beberapa hari ke depan. Tapi naluriku mencoba melawan rasa itu. Kuikuti naluriku untuk tetap masuk ke dalam salah satu restoran ternama di kota Bandung. Atmosfer disana sungguh tenang, ornament di setiap sudut ruang menghipnotis pandanganku, pelayanannya juga cukup baik dengan senyuman setiap pelayan yang menyambut, tapi yang terpenting disini adalah aku datang bersamanya. Bisa dibilang judul acara kita hari ini adalah Makan Cantik. Aku mengenakan dress putih, boots coklat setinggi 7 centimeter dan tas kecil yang tak kalah cantik dengan outfitku hari ini.

“Mau pesan apa? Pilih aja yang lo suka, gue yang bayar karena ini sebagai perayaan ulang tahun gue kemaren.” Kataku yang berlaga sok kaya banget.

“Mungkin steak, lo apa?”

Mataku langsung tertuju pada satu menu yang membuat air liurku tak tertahankan untuk menetes.

Roasted Rosemary Chicken. Setahuku itu salah satu menu favorit di restoran ini.”

“Saya ulang ya pesanannya. 1 Wagyu Hamburg Cheese, 1 Roasted Rosemary Chicken, 1 Honolulu dan 1 Pamela. Ada tambahan lain?”

“Tidak Mas, itu dulu.”

“Oke, silakan menikmati slice bread kami selagi menunggu.”

Dia sibuk dengan gadgetnya dan akupun begitu, tak lama pesanan kami datang.

Eits, jangan makan dulu, gue mau foto bareng lo.”

Aku mencari pelayan di sekitar namun tak terlihat satupun batang hidungnya, hingga akhirnya aku menghampiri salah satu pelayan berkemeja putih yang berada di bagian kasir.

“1..2..3..”

“Oke, terima kasih banyak Mas.”

Aku melihat hasilnya kalau itu not bad. Lalu mulailah kami makan dan memulai perbincangan santai.

 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

 

Senin, 2 Juni 2014

Aku tak bisa melawan gejolak itu, sesampainya di kamar kosku berukuran tiga kali tiga meter aku langsung menyambungkan handphoneku yang sudah sekarat pada stop kontak di samping tempat tidurku. Mulai terisi sepuluh persen.

“Bagus.” Ucapku dalam hati.

Aku mengetik dan mengirimkannya padanya.

“Udah makan? Gue laper, baru balik kos.”

Tak lama kemudian, dentang pesan masuk membubarkanku dari lamunan itu.

“Ini lagi makan. Di PVJ.”

“Oh, gue bole nitip sesuatu?”

“Mau apa?”

“Roti pisang lekker dua potong dan satu potong … hm bebas, apa saja gue suka kecuali sosis atau daging.”

Otakku tak bisa diam berputar sejak kejadian hari itu, aku selalu berusaha untuk mencari alasan agar dapat bertemu dengannya setiap hari, mengobrol dengannya dan menikmati waktu-waktu bersamanya. Entah apa lagi alasan yang akan aku buat esok hari.

Drrrt..drrrt.. getaran itu kembali membangunkanku dari pemikiran gilaku.

Gue udah di depan kos lo”, ucapnya di telepon.

“Oke, wait.”

Aku bukakan pintu, dan ternyata dia bersama si merah motor kesayangannya telah parkir di halaman kosku.

“Hai, lo pergi makan sendirian? Berapa harganya?”, tanyaku.

“Ya lha, mau pergi sama siapa lagi. Rp 34.000,00. Ongkos bensin ya jangan lupa.”

Aku menyipitkan mata padanya seraya tersenyum. Dia tak pernah berubah sejak lima tahun lalu aku mengenalnya. Masih sama dan sama. Lebih senang berpergian sendiri tanpa teman dan menikmati waktu pribadinya. Tapi aku merasa sedikit lega dengan itu. Artinya dia belum tertarik dengan salah satu gadis manapun.

“Kan sudah diganti pakai 1 potong roti yang gue belikan untuk lo.”

“Iya iya, bercanda, udah ya gue pulang cape. Bye.”

Bye, hati-hati ya. Thank you!”

 

Tuhan, apakah ini cinta?

Apakah rasaku ini salah?

Aku mencintai dia

Aku tak mau merusak persahabatan kami

 

Apakah dia mencintaiku? #3

“Di, lagi apa? Makan yuk.” 1 chat singkat masuk di handphoneku.

“Makan apa? Mager.”

“Ya apa saja. Gue seklaian mau cerita sama lo.

Wah, tumben, apa, apa apa?”

Ntar aja, ketemu di Black Cafe ya jam 5.”

Ihhh, gue belum mandi. Ini udah 5 kurang 15. Kebiasaan deh, dadakan mulu.”

Tak apa, yang jelas aku senang dengan ajakannya dan akupun bersiap ganti pakaian dan pergi ke tempat makan tersebut. Pria dengan kaos biru itu nampaknya sudah menunggu lama sambil meminum es lemon tea.

“Hai, kok lo udah pesen aja? Gak nunggu gue.”

“Lama lo. Laper gue.”

Tak lama kemudian wanita dengan seragam putih hitamnya datang membawa sepiring nasi dengan ikan bandeng presto, membuatku tergiur.

Gue makan dulu ya.”

Ya, dia selalu seperti itu, tak peduli orang di sampingnya belum memesan makanan atau belum. Tapi, entah mengapa aku justru jatuh cinta padanya.

Ohya, lo mau cerita apa?”

Hm. Gue suka sama cewe.

Whaatttt???” Aku hampir saja menyemburkan es teh manis di dalam mulutku ini, untuk pertama kalinya aku mendengar dia tertarik pada wanita.

“Siapa? Gue kenal orangnya? Cantik? Baik? Anak mana?” kulontarkan semua pertanyaan tanpa memberi sedetikpun dia untuk menyela pertanyaanku.

“Cantik dan baik banget. Sebenarnya sudah lama gue naksir dia, tapi gue rasa dia gak mungkin suka sama gue.

“Kenapa? Kok pesimis.”

“Banyak laki-laki yang naksir sama dia lebih dari gue. Sedangkan gue, ya lo tau lha. Cowo dingin, cuek, mana bisa memikat hati cewe. Apalagi cewe suka sama cowo romantis.”

Hm. Siapa sih? Kasih tau gue dong. Biar bisa menilai.”

Lo akan tahu, gue lagi menyiapkan mental buat ngomong sama dia, mau mengungkapkan saja. Walaupun gue maunya bukan cari pacar, tapi cari teman hidup.”

Itulah salah satu alasanku jatuh cinta padanya, komitmennya untuk setia pada satu wanita dan keseriusannya membuatku melihat dia dari kacamata berbeda. Di saat pria-pria lain banyak mempermainkan wanita dengan rayuan gombal, Yudi berbeda.

“Besok temenin gue ke Flower Hill Resto ya.”

Hah?” perkataannya tadi membuatku tampak speechless. Flower Hill Resto adalah salah satu restoran romantis tujuan para muda mudi di kota Bandung. Hampir saja aku ge-er dengan perkataannya tadi, Yudi mengajakku kesana, sebelum dia melanjutkan perkataannya.

Gue mau lihat tempatnya dan latihan nembak. Hahaha.”

Jujur, dada ini seperti dihantam sebuah balok besar di hadapanku. Aku yang mulai jatuh cinta dengan sosoknya, aku yang mengharapkannya lebih, dia memintaku menemani dia berlatih nembak cewe lain.

 

14 September 2014

Kami sampai di Flower Hill Resto, restoran di dekat kaki gunung itu tampak ramai di hari Minggu ini. Namun, ada 1 spot kosong di bagian luar. Aku bersemangat untuk mengambil tempat disana. Tak lama seorang pelayan menghampiriku dan berkata bahwa tempat tersebut sudah reserved.

Yah, reserved.” Kataku pada Yudi.

Gapapa, duduk saja. Tempat ini gue yang pesan.”

Hah, serius? Yeayyy.”

Yuk, mulai latihannya. Tapi gue mau ke toilet sebentar.”

Yudi meninggalkanku sendiri dan aku tak curiga sedikitpun dengannya. Aku menikmati keindahan Bandung sore itu menjelang sunset. Tak lama kemudian lantunan merdu musik instrumental memecah suasana sore itu. Aku membalik badan dan ku lihat tampak Yudi di balik kemeja putihnya membawa sebuah buket mawar putih dengan pita berwarna turquoise. Ya itu bunga kesukaan dan warna favoritku. Dia menghampiriku dan berlutut di hadapanku.

“Euodia Triphosa, maukah kamu menjadi pendamping hidupku yang menemaniku di saat suka maupun duka?”

Aku sangat terkejut dengan ini semua, aku sudah membayangkan betapa romantis sekali semuanya. Tapi aku menghempaskan semua khayalanku saat itu.

Aku menertawakan Yudi sambil berkata, “Latihannya sudah oke banget kok. Gue gak menyangka lo bisa seromantis ini. Sudah, sekarang tinggal ngatur waktu buat nembak si dia. Cieee.”

Yudi berdiri di hadapanku dan berbisik lembut di telingaku, “Aku sudah mengatakannya, wanita itu di hadapanku sekarang.”

Aku menengok ke belakang dan melihat ke kiri dan kanan, sepertinya aku tidak melihat waita lain di sekelilingku.

“Wanita itu aku?”

“Iya. Apa perlu ku ulang adegan romantis tadi?”

“Yud, kamu…”

“Aku serius, aku takkan mengulang adegan tadi, jadi jawabannya?”

“Aku mau.”

“Kamu jawab ini sedang acting atau kamu.”

Yudi belum selesai dengan pertanyaannya dan aku meyakinkannya dengan tegas.

“Aku, Euodia Triphosa mau menjadi pendamping hidupmu Yudi Wijaya dalam suka maupun duka.”

Matahari sore ini sudah mulai meredup, aku tak menyangka seorang Yudi bisa melakukan semua hal ini. Dia melakukannya untukku. Semua dia persiapkan secara matang dan semakin membuatku terkagum dengannya. Awalnya dia memang tak masuk dalam kriteriaku, namun dia selalu ada untukku di saat apapun.

 

Kurasa semua itu benar,

“Pada akhirnya semua standar dan kriteria yang kamu tetapkan akan kalah dengan dia yang punya waktu dan memberi kenyamanan padamu."

 

 

Aquilla Devina Photo Verified Writer Aquilla Devina

It's all about Aquilla's Journal

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya