Cara Tuhan Mengembalikan Masa Lalu #4

Jangan sedih masa lalu kembali pergi karena Tuhan masih punya cara lain untuk mempertemukanku dengan masa laluku

Hari ini aku pulang kuliah sore hari. Aku pulang sendiri. Sahabatku, Mirna tidak masuk kuliah karena sakit. Rasanya lelah sekali hari ini, pelajaran yang berat ditambah tugas yang tidak bisa dikompromi membuatku merasa ingin mencari sensasi yang bisa melepas semua penatku. Aku tidak paham sensasi yang seperti apa. Mungkin karena aku masih dibayang-bayangi nostalgia itu, bersama Gibran. Lagi dan lagi. Gibran, belum ada yang bisa menggantikannya.

                “Sukma, bus nya udah habis” seorang cowok yang mengendarai sepeda berhenti di depanku.

                “Masa sih, Umar?” aku menjawab dengan tersenyum.

                “Ini udah jam berapa, Sukma?” Umar menjawab dengan sedikit kesal mungkin karena aku tak percaya dengan ucapan dia.

                “Hahaha, tenang masih ada kok”

                Umar terlihat ambil posisi nyaman di sepedanya itu. Dia masih di depanku, di halte bus.

                “Motor kamu kemana, Mar? Tumben naik sepeda” aku mencoba basa-basi karena aku mulai merasa ada yang aneh dengan Umar. Kenapa dia masih diam disini? Kenapa dia tidak langsung pulang?

                “Dipinjem teman. Sukma ini mendung loh”

                Aku melihat awan, ya memang cuacanya sedikit mendung.

                “Iya ya, yah tapi gimana ojek gak ada, jalan kaki gak mungkin ah, capek”

                “Ayo naik!”

                “Naik mana?”

                “Naik ke atas genteng. Ya naik sepeda” Umar menawarkanku.

                “Gak ah, aku gak bisa naik sepeda”

                “Yang nyetir kan aku Sukma. Kamu tinggal naik dan tahu sampai aja”

                Umar menunjuk dua buah besi di sisi kanan dan kiri roda belakang. Kalian sebut itu kuda-kuda sepeda, gunanya untuk penopang kaki. Aku mengerti maksud Umar. Rasanya berat juga ingin menolak, cuaca semakin mendung ditambah bus yang aku tunggu tidak kunjung datang. Aku menerima tawaran Umar, padahal sebenarnya aku takut naik sepeda. Sudah lama aku tidak mengendarai sepeda lagi ditambah insiden menyeramkan yang pernah adik aku alami membuat rasa trauma tersendiri.

                “Pelan-pelan aja ya, Umar” kataku sambil aku naik kuda-kuda besi itu dan ku pegang pundak Umar.

                “Iya, tenang aja. Insya Allah sampai dengan selamat” Umar menjawab dengan sedikit tertawa.

                Umar memberi aba-aba dan dia mulai menggoes sepeda. Aku benar-benar tegang. Umar sedikit mengebut.

                “Umaaarrr, pelan-pelan” aku berteriak agar Umar benar-benar mendengar.

                “Hahaha seru tau”

                Umar semakin ngebut ditambah lagi jalanan yang naik turun dan berkelok seperti di pegunungan membuat aku hanya bisa menutup mata. Aku juga semakin keras menggenggam pundak Umar.

                “Sukma, buka mata!” kata Umar yang masih mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi.

                Tiba-tiba gerimis turun dan membuat aku semakin tegang.

                “Gak mau!!!! Takut!!!” aku benar-benar takut.

                “Ih, buka mata sebentar aja. Pemandangannya keren”

                Aku membuka mata perlahan-lahan. Aku juga penasaran dengan perkataan Umar, benar tidak. Umar tidak bohong gerimis membuat suasana di sekeliling menjadi seperti di puncak. Kampus kami memang dikelilingi 3 gunung non-aktif. Pemandangan yang sangat indah.

                “Keren kan? Tutup lagi matanya, Ma”

                “Gak mau. Keren banget” aku masih terkesima.

                “Aku emang keren, Ma”

                “Pemandangannya, bukan kamu Umar”

                “Hahaha”

                Gerimis masih menemani perjalanan kami. Jarak yang kami tempuh cukup jauh, sekitar 10 menit. Aku merasa sangat senang. Mungkin Umar lelah memboncengiku. Tapi, tidak ah, tubuhku kan kecil. Tapi yang jelas aku senang. Makasih Umar.

                Umar mengantarku sampai depan kostan. Sepertinya di sudah hafal  sekali dengan denah kostanku.

                “Sampai dengan selamat kan, Sukma?”

                “Iya hehe makasih ya”

                “Pundak aku kok sakit ya” kata Umar sambil memijit-mijit pundaknya yang aku genggam sepanjang jalan tadi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

                “Ya ampun. Gara-gara aku ya. Aduh maaf ya”

                “Kamu kekencengan pegangnya hahahaha” Umar tertawa.

                “Ih, habisnya suruh siapa ngebut-ngebut. Daripada aku jatuh? Haha”

                “Iya gapapa aku sakit, yang penting jangan kamu yang sakit” Umar berbicara dengan nada sangat lembut.

                “Apaan sih, Mar? Hahaha” aku tertawa dengan sedikit mencairkan rasa sedikit ge’er.

                “Iya beneran hahaha”

                “Eh Umar. Nanti malem jadi kan?” kata seorang cewek yang tiba-tiba datang menghampiri. Sepertinya dia tiba-tiba muncul.

                “Hmmm, iya jadi dong. Jadi-jadi” Umar menjawab dengan nada ramah namun terkesan sedikit memaksa.

                “Oke deh. Gue duluan ya” kata cewek itu sambil berlalu pergi.

                Aku sedikit agak terganggu dengan cewek itu. Dia terkesan cuek dan sombong. Enak saja dia langsung berbicara dengan Umar tanpa memperdulikan aku yang sedang ngobrol dengan Umar.

                “Dia Erin. Teman aku di BEM”

                “Oh...”

                “Yaudah, aku balik ya”

                “Iya iya Umar makasih ya. Makasih banyak”

                “iya sama-sama. Awas ketagihan hahaha”

                “Hahaha”

                “Salam ya buat Mirna. Jangan kebanyakan telfon-tefonan gitu sama si Kipli”

                “Kenapa emang?”

                “Begadang terus jadinya sakit”

                Aku tertawa karena memang kenyataannya seperti itu. Umar kenal dengan Zulkifli, mereka teman satu kostan.

                Aku masuk ke dalam kostan. Aku melihat pintu kamar Mirna tertutup, aku coba buka sendiri karena Mirna tidak menjawab seruanku. Ternyata Mirna masih tidur. Aku tidak mau istirahat Mirna terganggu padahal aku ingin cerita tentang kejadian tadi. Aku memutuskan menutup kembali pintu kamar Mirna.

                Di kamar, aku masih membayangkan betapa serunya pengalaman yang baru saja aku alami bersama Umar. Baru kali ini aku dibonceng sepeda oleh cowok, seru lagi. Aku jadi teringat dengan satu momen saat aku pulang sekolah SMA dulu. Saat itu aku keluar dari gerbang sekolah bersama Wini, teman sebangkuku. Tiba-tiba Angga dan satu temannya menghamipiri kami. Aku lupa namanya siapa teman Angga itu.

                “Sukma, kata Bu Nani kamu disuruh menemui beliau” kata Angga.

                “Bu Naninya dimana emang?” aku menjawab dengan sedikit cuek karena aku tau Angga adalah teman Gibran yang sering meledekku.

                “Kamu tunggu di dekat situ, dekat sepeda itu. Nanti Bu Naninya kesitu, tadi beliau ngomongnya gitu” Angga menunjuk sebuah sepeda yang terparkir di parkiran sepeda. Saat itu hanya ada satu sepeda saja.

                “Kamu bohong ya?

                “Yaelah, ngapain sih bohong. Orang ini amanat iya kan?” Angga menepuk punggung temannya yang semakin membuatku yakin.

                “Oh yaudah. Makasih. Awas ya kalo bohong”

                Angga dan temannya pun kembali masuk ke dalam sekolah. Aku berdiri di dekat sepeda yang Angga tunjuk tadi. Aku menunggu Bu Nani sendirian, Wini sudah pulang karena sudah dijemput Ayahnya. Hampir 5 menit aku menunggu Bu Nani. Ada firasat kalo Angga bohong, aku dikerjain dia sepertinya. Tapi, ada rasa tidak mungkin juga. Sampe bawa-bawa guru gitu masa becanda. Karena aku capek berdiri aku menyandarkan badan di sepeda itu.

                “Permisi, aku mau pulang” tiba-tiba terdengar suara cowok yang sepertinya dia ada di belakangku.

                Aku menoleh dan ternyata cowok itu Gibran. Aku lihat Gibran senyum-senyum tidak jelas.

                “Oh ini sepeda kamu? Maaf ya” aku menjawab agar terkesan bukan cewek belagu.

                “Iya”

                Tiba-tiba terdengar ada suara beberapa cowok yang tertawa sambil berteriak “Ciyye’ciyye”. Ternyata suara itu adalah Angga dan teman-temannya. Mereka meledek kami.

                “Hahaha akhirnya ngobrol” Angga meledeki kami.

                Aku sedikit kesal karena ternyata aku sudah dibohongi Angga. Bu Nani yang katanya ingin bertemu denganku itu semua skenario Angga agar misi Angga dengan temen-temannya mempertemukan aku dengan Gibran terwujud. Tapi aku sedikit senang, karena akhirnya aku bisa ngobrol dengan Gibran. Terlebih lagi Gibran dululah yang memulai obrolan. Ya walaupun hanya obrolan singkat.

Entahlah aku jadi teringat Gibran. Mungkin karena sepeda. Kapan kita bisa ngobrol lagi Gibran? Aku yakin  suatu saat Tuhan akan mengizinkan aku ngobrol lagi dengan Gibran.

 

Fenny Ferdinand Photo Writer Fenny Ferdinand

Biochemist//Just wanna be a Productive person. Find me on ig: fenny_ferdinand ; line: fennydkf ; fb: fenny dewi kissmayanti ferdinand

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya