[CERPEN] Senja Sore Itu

Meninggalkan bekas bernama rindu.

Angin sejuk berhembus melewati celah jendela kamarku sore itu. Sang fajar sudah siap untuk menutup hari lelah itu, begitu banyak yang ku lewati hari ini lalu kuingat kembali apa yang sebenarnya terjadi hari ini.

Pagi ini di buka dengan datangnya surat undangan pernikahan dirinya dengan sang calon suami, seketika aku terkejut kemudian kulihat bulan dan tanggal hari ini.

“April ya, begitu cepat waktu berlalu,” aku bergumam sambil terus menatap undangan itu. Tak terasa hari demi hari terlewati begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya, saat itu akhir tahun 2014 bulan sepuluh tepatnya, kami pertama bertemu di sebuah taman bunga dia duduk melamun sambil memegang coklat.

“Lama – lama coklat pun akan menangis jika di biarkan begitu saja,” ujarku sambil duduk di sampingnya. Ia pun menoleh ke arahku sambil memberikan senyumnya, rambut panjangnya yang terurai lurus semakin membuatnya terlihat cantik.

“Bimo, namamu?” sambil kuulurkan tangan.

“Abigail,” jawabnya dengan suara yang lembut dan tak lupa senyuman manisnya. Kemudian kami berbincang di bangku panjang taman itu, entah kenapa arah pembicaraan semakin menarik. Hari mulai sore dan dia pun memutuskan untuk pamit duluan, namun aku sempatkan untuk meminta nomor ponselnya.

Malamnya kuberanikan diri untuk menghubunginya dan tak lama dia mengangkat panggilanku.

“Hai, wanita senyum indah,” kugoda untuk menyapa.

“Hei, kamu yang di taman tadi, ya hehe,” jawabnya dengan ketawa kecil. Dan obrolan pun berlajut hingga larut tanpa di sangka waktu pun menunjukkan pukul 12 malam. Baru kuingat bahwa pekerjaanku memiliki batas pengumpulan dua hari lagi. Sebenarnya aku ingin mengakhiri pembicaraan dengannya ini namun suasana sudah terbangun dengan nyaman, sayang rasanya kuakhiri malam yang indah ini, kemudian dalam keheningan percakapan kami keluarlah pertanyaan yang membuatku terkejut.

"Eh, minggu ini kamu santai ga?” Tanya dia dengan antusias.

“Kalau pagi aku gabisa soalnya aku harus mengumpulkan pekerjaanku pada editor tapi siang harinya aku santai sampai malam hari, mau jalan kita?” Jawabku dengan mengajak.

“Hehe boleh kalau kamu memang santai.”

“Baiklah kita ketemu di taman kemarin jam 12, ya”

“Oke kita ketemu disana ya, sampai jumpa besok.” Kemudian kami akhiri panggilan malam itu.

##

Esoknya setelah pulang dari kantor editor dan menyelesaikan revisi draft novel, aku langsung pergi menemuinya. Sesampainya di sana, sejauh mata memandang banyak keluarga yang sedang piknik, maupun anak – anak yang berlarian menikmati suasana di hari minggu yang santai ini. Lalu kulihat wanita anggun menggunakan gaun merah sedang duduk manis di sudut taman. Kuhampiri dirinya dan ia melempar senyum manisnya seperti biasa. Tak lama kami putuskan pergi ke bioskop untuk menikmati waktu bersama. Selesainya, kuajak dia untuk makan terlebih dahulu sebelum berpisah pulang.

“Menyengkan ya hari ini?” Ujarnya dengan wajar berseri.

“Iya, rasanya aku benar – benar menikmati hari santai seperti ini.”

“Memangnya kamu jarang ya berjalan – jalan?”

“Hmm... jarang sih. Kadang aku hanya pergi ke taman atau ke tempat yang sepi ketika merasa suntuk.”

“Ah, berati kamu tidak terlalu suka menonton?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Suka sih, tapi tidak terlalu sering menonton di biskop.”

Kemudian percakapan terhenti dan suasana pun menjadi hening. Entah dari mana datangnya dorongan itu tapi yang kurasa adalah ingin kuungkap perasaan ini sekarang juga karena mungkin sekarang adalah saat yang tepat setelah kami menghabiskan waktu bersama. Dengan perasaan yakin aku beranikan diri mengungkapkannya.

“Bi, kamu mau gak jadi cewe aku?” Ajakku secara langsung. Dia hanya terdiam dan tersenyum malu.

“Haha, kamu kok langsung bertanya seperti itu? Kalau kutolak bagaimana?”

“Ya, ga apa-apa juga, sih,” jawabku kecewa.

“Haha, bercanda kok mana mungkin aku tolak!”

“Eh? Jadi ngga di tolak, nih?”

“Di terima kok, aku pun punya rasa yang sama denganmu.”

Mulai saat itulah kami menjalin hubungan bersama, tepat setelah kami pergi menonton dan sedang menyantap makanan di restoran cepat saji.

##

Hari pun berganti menjadi minggu, minggu pun berubah menjadi bulan, dan tak terasa hubungan kami masuk ke tahun kedua. Saat itu bulan keempat tahun 2016. Anehnya hubungan yang kujalani dengan Abigail merupakan hal yang santai, tapi kami merencanakan untuk melanjutkan ke arah yang lebih serius hingga hari yang tak pernah kuduga itu tiba.

Saat itu bulan empat tahun 2016, ketika kuterbangun dan telpon genggamku berdering langsung kubuka kemudian kubaca pesan darinya.

Sayang, ada yang ingin kusampaikan padamu, tapi maaf aku tak bisa untuk menyampaikannya secara langsung karena tak bisa kutahan air mata ini, aku minta maaf. Kemarin malam orangtuaku berbicara padaku bahwa ada seorang lelaki yang akan datang melamar lalu mereka harap aku setuju mengenai pilihan yang telah mereka berikan karena hal itu demi kebaikan diriku dan keluargaku. Aku berusaha menjelaskan keiadaanku saat ini denganmu kepada orangtuaku namun mereka bersikeras dengan pilihannya. Akupun tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

Yang bisa kusampaikan hanya maaf dan aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita lagi, aku minta maaf.

Badanku seketika bergetar lemas, lalu kuberbaring di kasur dan kurenungi apa yang sebenarnya terjadi padaku.

“Ya, aku hanya seorang penulis novel yang tak laku. Ya, aku tidak pernah memberikan kepastian padanya. Ya, aku hanya bisa memberikan dia harapan yang tidak bisa diwujudkan,” terus terngiang di kepala ku kalimat penyesalan itu. Akhirnya kuterlelap bersama penyesalan itu.

Beberapa hari berlalu dan pesan yang dia sampaikan belum kubalas sampai saat ini. Lalu kucoba untuk menghubunginya tapi panggilanku tidak pernah dijawabnya. Kuberanikan diri untuk datang ke rumahnya. Sesampainya di sana yang kutemui adalah rumah kosong tanpa penghuni dengan tulisan “rumah dijual”. Betapa terkejutnya aku dan semakin kecewa dengan hal itu.

Hari berganti hari pun kujalani dengan hampa, pekerjaan terbengkalai. Kujalani hidup ini dengan setengah hati seakan semangat hidupku telah hilang diambil elang.

##

Dan akhirnya tibalah hari ini, April 2017. Sebuah undangan yang tertera namanya kupegang bersamaan dengan tatapan kosong, entah apa yang harus kulakukan.

Yang pasti aku hanya berharap bisa kembali di waktu kami pertama bertemu dan memilih untuk tidak bertegur sapa.

 

Hafiyyan Irham Photo Verified Writer Hafiyyan Irham

Content Writer. Football, Movies, and Lifestyle

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya