[CERPEN] Sepenggal Cerita tentang Yusmar

Sebuah cerpen tentang salah satu bagian dalam hidup Yusmar

Intinya Sih...

  • Yusmar dan Usman mendapat kabar bahwa ayah Si Zul meninggal, membuat mereka terkejut setelah sekian lama tanpa perubahan yang berarti.
  • Usman menceritakan pengalamannya mencari uang dengan mobil ambulan tua, tetapi ia merasa menyesal karena mobil tersebut sudah terlalu tua untuk dipakai.
  • Usman bertemu dengan kuli bengkel bernama Udin yang memberikan nasehat agar rajin berusaha karena hidup semakin susah.

Kamar dengan dinding bercat putih pudar yang buyar ke sana kemari warnanya. Sore dengan hembusan angin semilir, membuat mata mengantuk. Sementara suara-suara iklan, menawarkan barang dagangan bergema tak henti. Sisa-sisa pembangunan rumah yang belum selesai. Uang untuknya sudah tidak ada lagi. Dinding-dinding masih banyak kelihatan batu bata dan lapisan semen, sementara sisanya bercat putih pudar yang dikerjakan asal-asalan sehingga kelihatan buyar ke mana-mana.

“Bapaknya Si Zul meninggal”. Sebuah kabar datang dari tamu yang datang dari jauh. Para penghuni rumah yang biasanya tidak terkejut akan berita-berita, seperti: Penangkapan koruptor, Mahasiswa mendemo presiden, Korupsi di mana-mana. Sekarang ternganga heran. Pemilik rumah pun balik bertanya:

“Yang benar?”. Ia adalah seorang pemuda kurus, berkulit coklat muda dengan rambut kriting. Berita itu cukup mengejutkan, setelah sekian lama tiada perubahan yang berarti.
“Kau tidak bohong Man ?”. Tanya Yusmanr si pemilik rumah pada Usman sang tamu.
“Sumpah Mar, kalau tidak percaya lihat sendiri ke sana. Mana mungkin aku bohong. Aku sendiri kemarin datang waktu orang di sana menujuh hari”. Sementara TV tetap nyala, memberitakan gosip artis. Ibunya, seorang wanita tua memandang dengan perasaan putus asa pada TV. Berita terus berkejar-kejaran menawarkan kejutan-kejutan yang tidak mendasar. Apakah gosip artis bisa mengenyangkan perut kita yang lapar?.

Lebih baik beralih pada berita kematian. Ada orang yang dikenal meninggal, sebuah perasaan yang sama timbul. Teringat dulu bahwa kematian tiang keluarga menyebabkan nasib anggota keluarga pun kocar-kacir. Wajah-wajah sedih, dengan bekas-bekas air mata di pinggir-pinggir mata. Menangis dan menangis, sementara yang pergi tak mungkin kembali.

Mereka memang sempat merasakan bahwa hidup ini nikmat. Sang ayah sebagai tulang punggung keluarga punya kekuasaan dan uang yang bisa dipergunakan oleh mereka. Walau sayang musibah menimpa keluarga. Sakit jantung diwarnai stroke, dengan tekanan di sana-sini. Orang-orang bilang ayahnya korupsi tapi yang jelas rumahnya masih belum sudah, kecil, dindingnya masih belum dicat, hanya batu bata berlapis semen keras. Tidak ada mobil pribadi karena sang ayah tidak mengejar materi semasa hidupnya.

Para penuduh adalah orang-orang dengan rumah megah dan mobil mewah. Mereka mengajukan petisi bersama yang membuat ayahnya stroke, kejang-kejang dan mati dalam semua terpaan kehidupan.

Pertengkaran dengan anak nomor dua, karena prinsip yang beda dan seorang perempuan dihamili anaknya. Satu tahun lebih sang anak kabur dari rumah. Hidup bersama teman yang rela menampung, jadi pekerja bengkel (kebetulan itu adalah bidang yang disukainya). Keluar masuk lintasan balap motor hingga gigi hancur semua karenanya.

Semuanya (hampir) berubah ketika sang ayah pergi. Tidak semuanya, kemalasan-kemalasan masih tetap ada, hanya uang yang biasanya bisa menyelesaikan semuanya tidak sebanyak yang dulu. Yusmar (si anak tengah), terpaksa kost untuk menyelesaikan SMA. Rumah dinas telah ditarik, karena orang yang punya otoritas akannya telah tiada. Ia tinggal di rumah penduduk yang juga temannya. Seorang yang lincah dan suka melawak. Walaupun hati marah, perut bisa geli dibuatnya.

***

Kabut pagi yang dingin, orang-orang yang buang air di kali di bawah jembatan. Entah tidak mampu atau tidak mampu bikin kakus sendiri. Kucing kurus di tempat pembuangan sampah yang menumpuk, mengeluarkan bau busuk. Usman berjalan dengan setengah terhuyung, mata mengantuk, tidak tidur semalaman, kepindingnya banyak, mendarat di leher gatalnya minta ampun, obat nyamuk yang merusak saluran pernapasan perlahan.

Semalam, ia lama bercakap-cakap dengan Yusmar, mendengarkan keluh kesah, mengeluarkan umpatan-umpatan dan keluh kesah lainnya. Sampai pagi sampai ayam berkokok pertanda pagi. Lampu dimatikan dan kepinding-kepinding menghisap darah-darah segar menimbulkan rasa gatal dan pedih.

"Sebenarnya aku sudah didesak ibuku untuk nyari kerja". Kata Yusmar dengan suara pelan.

"Lalu kenapa kau tidak kerja?".

"Terlalu jauh tempatnya, aku malas kalau terlalu jauh".

"Memangnya di mana tempatnya ?". Tanya Usman tidak mengerti.

"Di pedalaman Jambi sana, dalam hutan yang lengang. Tidak ada mobil ke sana, di sebuah PTP, ibuku yang punya kenalan di sana memasukkan aku kerja".

"Wah, kau ini karena belum punya tanggungan makanya tidak mau kerja berat. Kalau punya istri maka kau tidak akan menolak kerja apapun ".

"Iya juga ya".

"Aku sendiri sempat merasakannya tapi...".

"Kalau punya tanggungan maka kita akan gigih berusaha".

"Kau yang malas rupanya".

Percakapan gila itu berlangsung sampai pagi, mata mereka berdua mengantuk dan kemerah-merahan, ingin tidur tapi tidak bisa dengan beban fikiran di kepala. Mereka terus bercakap-cakap mengupas-ngupas masa lalu yang abu-abu. Hantaman botol bir di belakang kepala, tamparan dan pukulan jagoan kampung.

"Si Anto, sekarang ngojek untuk nyari makan". Yusmar membuka kata memecah keheningan.

"Bukannya dia suka ikut balap?".

"Iya tapi kadang juga ngojek, apa daya dapur mesti berasap kalau tidak bisa gawat tapi kadang dia masih ikut balap. Sekarang dia punya sponsor untuk itu, dapat hasil juga walau tidak banyak sih. Dia memang cuek dan gigih, maklum sudah punya istri dan anak".

"Kau sendiri kapan?".

"Kalau aku masih lama, kerja belum ada, penghasilan tetap belum ada, buat apa cepat-cepat beristri".

Mereka diam lama sekali. Yusmar mengajak pindah ke bawah, katanya di kamar atas, tempat mereka bercakap, banyak nyamuk, ternyata di bawah lebih banyak lagi bertambah para vampir kecil penghisap darah. Leher ditampar berkali-kali untuk menghalaunya tapi mereka tetap hinggap mencari makanan yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Ketika lampu dimatikan, para vampir itu lebih leluasa menerjang, minum darah manusia-manusia yang ada di kamar ini.

Sebelumnya mereka mengitari kota ini dengan mobil ambulan tua, untuk menurunkan dan menaikkan kacanya perlu tenaga ekstra, otot-otot menegang mengeluarkan tenaga. Untung saja tidak mogok, para pasangan-pasangan yang belum sah, di mana-mana terlihat saling menyentuh secara fisik dan non fisik. Di pantai, di dalam gelap di bawah kolong jembatan, muda-mudi bermesraan menghabiskan malam. Tidak tahu kapan mereka diusir oleh masyarakat dan petugas keamanan, dalam hati terasa iri dan ingin juga merasakannya tapi sekarang bukan waktunya lagi untuk semua itu. Bulan purnama bundar, ketika Usman menatap langit yang sedikit berawan. Malam terang mobil bobrok ini berjalan dengan sebisanya tidak bisa kencang nanti mogok kalau dipaksakan.

"Sebenarnya aku sudah mencoba untuk nyari uang dengan mobil ini. Lumayanlah, sekitar Rp 150.000 sehari bersih kudapat. Martil jadi kondekturnya, penumpang jadi tertawa-tawa dibuatnya. Pernah suatu kali ketika kami jalan, para sopir mogok, mobil dicegat, dikejar-kejar untung kami bisa selamat". Yusmar menceritakan pengalamannya mencari uang dengan Martil si pelawak, tempat ia menumpang ketika SMA.

"Kenapa kau tidak teruskan?".

"Kasihan mobil ini, sudah terlalu tua untuknya. Mobil cepat rusak kalau dipenuhi beban berat. Sekarang aku menyesal menghentikannya ibu terus-menerus mendesakku agar cepat bekerja. Maklum pensiun ayah tidaklah cukup untuk biaya hidup kami".

Mobil berhenti di depan gerobak penjual sekoteng. Malam, kota ini sepi, hanya manusia-manusia yang biasa berkeliaran di malam hari yang ada. Musik dangdut bergema dari arah bioskop tua dengan gambar-gambar film-film mesum. Yusmar menghilang di balik gang untuk kencing, Usman duduk sendiri menatap sekoteng yang telah dihidangkan.

"Dari mana kau ?". Tanya Amin.

"Kencing, ada cewek kenalanku di sana".

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sekoteng habis pelan-pelan, rasa hangat akibat jahe menjalari sekujur tubuh. Memang enak menenggak sekoteng di malam yang dingin ini.

Mobil jalan lagi memutar melewati tepi laut, masih saja pasangan-pasangan memadu cinta di tempat-tempat sepi, di malam bulan purnama ini cinta dan nafsu seakan bergelora dibuatnya. Banyak ruangan-ruangan di tepi laut ini disewakan bagi para pasangan yang ingin melakukan apa saja yang mereka kehendaki.

Setelah puas dan bensin mulai habis, mobil bergerak perlahan menuju rumah, Yusmar berteriak-teriak latihan nyanyi, katanya ia akan ikut festival nyanyi. Perlombaan-perlombaan menawarkan mimpi untuk dapat uang banyak dalam jangka waktu singkat, dalam lomba balap motor antar kampung bahkan para pemuda rela mati demi uang, walau badan dan wajah hancur mereka tidak kapok dibuatnya.

Di pinggir kali yang telah dirubungi sampah yang dilintangi jembatan, mobil itu bergerak masuk kadang ngebut kadang perlahan. Bau karet dan asap pabrik memenuhi udara, sehingga nafas sesak sebentar-sebentar menghembus-hembuskan nafas untuk melancarkan saluran pernafasan. Gang pertama mobil masuk, dengan kerikil dan lubang-lubang berlumpur.

***

Malam yang dingin, puluhan kilometer dari ibukota dan pabrik karet dengan bau tengik. Serangan air merah pedas mengenai ususnya, berkali-kali ke kamar mandi, perut kembung seperti orang kebanyakan minum air, badan lemas tanpa tenaga. Entah penyakit apa yang menyerang si Usman sepulang dari Padang. Ia baru merasakan penyakit ini ketika menenggak kopi dengan aroma sabun mandi, selidik punya selidik ternyata gulanya yang bau parfum, sebelumnya bermangkuk-mangkuk cairan cabe merah pedas manis melewati kerongkongannya sampai ke perut dan terjadilah apa yang seharusnya terjadi.

Masih ingat pada malam sebelumnya, caci maki dan kutukan pada masyarakat yang dikeluarkan Yusmar yang awalnya dimulai dari menanggapi berita yang disampaikannya “

“Si Hotman kemarin menghajar orang di Pasar kain”. Katanya setelah percakapan mulai membosankan, di satu-satunya kamar yang setengah sudah dilantai atas rumah dengan dinding bercat putih pudar itu.

“Apa sebabnya ?”. Tanya Abdi agak heran.

“Ia marah karena saudara perempuannya dilecehkan orang itu, dipukulinya orang itu bersama temannya keamanan pasar. Orang itu berdarah-darah akibat hantaman di sana-sini. Seorang perempuan menangis memilukan menyayat, si Zal, teman si Hotman yang memisahkan mereka”.

“Alasan ia memukuli?”.

“Katanya, anak itu belanja di kedai saudara perempuannya dengan tingkah seperti raja. Si Edi yang kutemui di bawah, tidak suka hal itu, ia satu daerah dengan orang yang dipukuli. Padahal si Edi temannya si Hotman”.

“Ah, Sosial itu palsu, kau dengar?! Mereka itu ketika waras bersapaan baik-baik tapi dalam hatinya memendam dendam. Ketika kurang kewaspadaan mereka akan menyerang, mabuk itu hanya alasan untuk menumpahkan kekesalan mereka. Dengan mabuk mereka punya dalih, ‘Maaf tadi aku mabuk’, begitu kata mereka. Padahal mereka sengaja. Sosial itu palsu, makanya aku malas bergaul. Hanya orang-orang dengan fisik atau otak yang kuat yang bisa bertahan di dalam masyarakat palsu yang kejam itu”.

Usman, diam mendengarkan pernyataan temannya yang merupakan kritik akan kejamnya masyarakat itu sendiri. Ia tidak setuju tapi masih mencari-cari ide untuk membantah pernyataan temannya yang apatis pada masyarakat ini.

“Pernah dulu aku gabung dengan kelompok pengamen, orang-orang yang biasa tersingkir dan terhina, para gembel-gembel yang dibenci orang karena bentuk fisik mereka yang jelek dan bau. Aku ikut mengamen dengan mereka, ketika dapat sedikit uang maka kami belikan makanan seadanya, kadang itu tidak cukup sehingga kami terpaksa mencampurkan seluruh makanan pada satu tempat untuk dimakan bersama. Juga ketika aku ikut serta dalam barisan buruh yang long march ke DPRD Semarang, setelah sebelumnya dihajar sampai berdarah-darah dan babak belur, kami menangis bersama, dengan perasaan luar biasa sedih dan air mata tak henti-hentinya menetes. Maksudku, tidak semua masyarakat atau sosial itu palsu dan kejam. Hanya orang-orang yang biasa menyiksa dan melukai yang bersikap palsu. Orang-orang yang jadi korban mereka akan bersikap sebaliknya, saling bantu, kebersamaan tinggi dan tidak saling membenci”.

Yusmar hanya diam mendengarkan, entah merenungi, entah tidak paham pada perkataan temannya. Agak lama ia diam, sampai kemudian ia mengajak ke lantai bawah, menuruni tangga batu yang belum dicat untuk tidur di salah satu kamar di bawahnya. Setelah itu mereka bercakap agak lama, sebelum kemudian Usman minta pulang tidak tahan dengan gerayangan kepinding yang menusuk dan terasa gatal.

Pagi tadi ia melihat orang-orang terbuang yang diceritakannya malam tadi diseret paksa dengan tangisan dan ratapan menyedihkan sekaligus mengerikan. Begitulah, kaum yang biasa menyiksa dan melukai akan menyingkirkan orang-orang yang biasa mereka siksa dan lukai. Teriakan dan tangisan para perempuan yang dianggap sampah masyarakat, tidak rela kehidupannya yang hanya seujung jari diambil dengan kekerasan. Mereka hanya mengais remah-remah roti dan nasi di kota metropolis itu, mereka tidak merampok tidak membunuh atau melukai orang tapi mereka ditangkap dan disingkirkan.

Usman bertanya sendiri, “Apakah dalam kehidupan orang-orang berseragam yang menyingkirkan mereka ini juga penuh kepalsuan?”. Pertanyaan itu tidak terjawab olehnya, ia pergi dengan sedih, mengayuh sepeda tanpa tenaga, melewati jalan kereta api dengan kerikil-kerikil kehitaman di sampingnya. Di mesjid di samping jalan kereta api itu, pendakwah sedang bicara tentang “perbedaan orang kaya dan miskin dalam mengeluarkan infaq”. Menurut si buya, orang miskin akan berinfaq dengan ikhlas walaupun sedikit sementara si kaya belum tentu ikhlas bahkan kadang lebih sedikit dari yang disumbangkan si miskin. Para pekerja bangunan, terlihat mendengarkan khotbah itu dari sebuah tempat duduk beratap tak jauh dari situ.

***

Siang dengan terik matahari menyilaukan dan memanggang. Orang-orang baru pulang dari mesjid sehabis melaksanakan ibadah sholat Jum’at. Usman duduk di sebuah warung di belakang halte bus, ia belum makan dari pagi, agak segan makan di rumah siang ini, ia tidak ikut sholat Jum’at, agak segan pada Tuhan atau sedang malas. Dipesannya semangkuk mie dan segelas besar es teh. Tampak di pinggir jalan tidak seberapa jauh dari tempat itu, seorang kuli bengkel tidak tinggi, dengan wajah penuh jerawat kehitaman, ia baru pulang dari sholat Jum’at, seorang yang rajin, melihat beratnya kerja yang dilakukan ia masih sempat meluangkan untuk sholat Jum’at.

Kuli bengkel itu mengenalinya dan menyapanya,

“Usman, lama tak jumpa, di mana saja kau?”. Katanya sambil melangkah ke arah Usman dengan menenteng sebungkus nasi untuk makan siang. Usman hanya diam dan membalas dengan sedikit senyum, sambil tetap mengaduk es tehnya.

“Di mana saja kau? Kuliah atau kerja?”. Tanyanya lagi.

Kali ini Usman menjawab dengan malas.

“Sekarang aku menganggur, belum punya pekerjaan entahlah mungkin nanti kalau aku pergi lagi”.

“Rajin-rajinlah berusaha, sekarang hidup sudah semakin susah, kalau tidak kuat bisa tergiling”. Nasehat si Kuli.

“Kau sendiri, kelihatannya cukup mendapat sesuatu, makanmu sehat sekali hari ini Din”.

“Ah tidak juga, apalah yang didapat dari seorang kuli seperti aku ini, sudah dapat makan sudah senang hati ini”. Jawab si kuli yang ternyata bernama Udin.

Semangkuk mie panas dihidangkan oleh pemilik warung kecil sekaligus pelayan ini. Usman mulai menyentuh makanan dengan sendoknya. Diminumnya sedikit es tehnya untuk memaniskan rasa mulut.

“Kemarin aku ke tempat si Yusmar, tidur di sana, kepindingnya banyak, leherku habis digigitnya, gatalnya minta ampun”.

“Yusmar? bagaimana kabarnya ?”.

“Baik saja, sekarang ia tinggal berdua dengan ibunya sepeninggal ayahnya”.

“Sudah kerja ?”.

“Belum, masih meraba-raba akan kerja apa”.

“Kasihan”.

Baca Juga: [CERPEN] Suatu Siang di Terminal Bus

Harsa Permata Photo Writer Harsa Permata

Alumni Filsafat UGM. Dosen di berbagai universitas di Yogyakarta.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Siantita Novaya

Berita Terkini Lainnya