Karena Tuhan Menyayangiku

Sekali diminta harus diberikan. Sebuah rahasia yang tak kupahami.

Sebuah weton bisa mengubah hidup seseorang. Beberapa kepercayaan orang Jawa tentang weton sungguh luar biasa mempengaruhi kehidupan mereka. Seperti halnya yang kualami  saat ini. Karena weton, segala yang terjadi padaku dikaitkan dan seolah sudah menuliskan sebuah takdir untukku. Aku tak percaya semua itu. Aku hanya percaya pada takdir yang telah ditentukan Tuhanku.

Saat aku akan menikah, betapa menyusahkan hitungan weton ini. gara-gara wetonku wage, ibuku bilang orang pertama yang meminangku harus kuterima. Kebetulan memang yang pertama meminangku adalah kekasihku, dalam perasaanku waktu itu. Dia sungguh baik, terlihat saangat sempurna, sesempurna penampilan yang dia perlihatkan padaku. Aaah..., kalau tidak salah, seingatku, akulah yang pertama menegaskan arah hubungan kami saat itu karena kami sudah sering berjalan bersama, dan aku memang tidak suka klutrang kluntrung dengan lawan jenisku tanpa ada status yang jelas. dan,... hasilnya adalah kami pun bersepakat menjadi sepasang kekasih.

Seiring waktu berjalan, aku sudah menemukan ketidakpasan perasaanku padanya. tapi, aku terus melanjutkan hubungan itu dengan keyakinan bahwa inilah jodoh yang diberikan Tuhan padaku. Waktu demi waktu terus berjalan. Tiba saatnya, aku lulus dan diwisuda. Ingin seperti hubungan teman-temanku yang terlihat harmonis, aku mengutarakan padanya untuk berkenalan dengan orang tuaku yang nanti akan menghadiri acara wisudaku.

Tak disangka, respon yang dia berikan sungguh membuatku terkejut. Dia menolak bertemu orang tuaku dengan alasan ada kepentingan di rumah saudaranya di saat acara wisudaku berlangsung. Tapi yang kutangkap dalam pemikiranku waktu itu adalah sebuah alasan untuk menghindari pertemuan dengan orang tuaku. Hanya berkenalan. Itu saja yang kuminta darinya. jika memang aku dan dia nantinya tak berjodoh, itu tak masalah bagiku. Hanya ingin kukenalkan saja. Tapi sepertinya itu sebuah permintaan yang suoer besar untuk seorang yang nyalinya sangat ciut seperti kekasihku itu.

Aku pun tak ambil pusing lagi. Aku tetap bersiap dengan sepenuh hati akan kedatangan orang tuaku saat wisudaku nanti.  Tibalah saat wisuda yang sangat kunanti-nanti. Aku sungguhntak ambil pusing dengan ketidakhadiran kekasihku. Aku tetap menikmati prosesi wisuda dengan hati gembira. Bercanda dengan teman-temanku sambil menunggu giliran dipanggil untuk dikukuhkan. Kulirik tempat duduk undangan, di sana kedua orang tuaku entah dengan hati bangga atau bagaimana perasaan mereka, terlihat juga menikmati prosesi wisuda.

                Usai wisuda, aku berfoto dengan keluargaku. Tak pelak lagi, ibuku bertanya, “ Lha terus mana pemuda yang kaubilang jadi kekasihmu itu? Apa dia tidak menghadiri wisudamu ini?” Sejenak aku terdiam, lalu dengan senyuman yang aku paksakan untuk semanis mungkin kujawab, “Ee, dia ...ha-rus ke rumah saudaranya, Bu! Jadi tidak bisa menghadiri wisudaku ini. Maaf!”

“Oh!” Ibuku hanya terdiam. Namun, tersirat di wajahnya sebuah kekecewaan dari rasa penasarannya.

Keesokan harinya, saat keluargaku sudah kembali pulang, kekasihku menemuiku. Dengan tanpa ada rasa bersalah dia langsung mengajakku keluar untuk makan siang bersama. Kuakui, entah memang dia puny uang lebih, berkecukupan atau dipaksakan, dia memang selalu mentraktirku makan. setiap kali makan bersamanya, selalu dia yang lebih sering mentraktirku.

Di samping itu, aku memang dari keluarga yang pas-pasan dengan kiriman yang pas-pasan juga. Jadi, aku harus berpikir tiga atau empat kali jika harus makan bersamanya. Beruntungnya, dia sangat tahu diri dengan harga diri yang tinggi jika harus ditraktir oleh cewek sepertiku. Usai makan, dia sempat menyinggung soal wisudaku yang tak bisa dia hadiri kemarin. Serasa terhenti air liurku di tenggorokan. Dia jelas-jelas memungkiri untuk bertemu dengan kedua orang tuaku. Aku sudah menganggapnya orang bernyali kecil saat itu. Tapi, lagi-lagi aku meyakinkan diriku bahwa dia jodoh yang Tuhan berikan padaku. Aku pun kembali tersenyum untuknya.

“Ah, biasa saja. Ayah dan ibuku juga menikmati acaranya,” jawabku sekenanya. Dalam hati kecilku aku sudah malas untuk membicarakan tentang keseriusan hubungan kami dengannya. Rasa tidak sreg tiba-tiba muncul. Aku jadi lebih nyama menjadi temannya daripada kekasihnya. Ya, aku rasa itu lebih baik. Dan mulai saat itu, pertengkaran-pertengakaran kecil muncul menghiasi hubunganku dengannya.

Seringkali aku beralasan sibuk ini itu supaya aku tidak lagi bertemu dengannya. Aku sangat malas padanya. Tibalah saatnya aku harus kembali ke kampung halamanku. Aku merencanakan mencari kerja. Semua itu kulakukan untuk masa depanku. Sebuah imipian yang indah dan cerah membantang di anganku. ku ingin mencapainya. Kupilih Surabaya sebagai pijakan pertamaku. Syukurlah, memang sudah bawaanku yang kritis dan jeli, aku sempat diterima di salah satu yayasan pendidikan ternama di kota itu.

Bayagkan! Dari 30 pelamar dan hanya aku yang terpilih untuk masuk kerja. Terima kasih Tuhan! Tapi, lama sudah kumenunggu panggilan masuk kerja hingga sampai satu tahun, ternyata kontrak kerja untukku DIBATALKAN. Oooh, serasa tenggorokanku mengeras dan membatu menerima kenyataan bahwa semua itu telah direposisi dan dihapuslah file calon karyawan yang sudah diterima kerja di yayasan itu. Hilang sudah harapanku.

Tiba-tiba aku merasa hidupku akan mengambang. tidak ada gairah lagi. Dan itu ternyatabenar-benar terjadi. Hari demi hari kuhabiskan dengan menulis dan menulis surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Dan parahnya, tak satu pun surat lamaranku ditanggapi. Hhh, lemas sudah sayapku. Sebuah mimpi buruk tergambar di pelupuk mataku. Dan sekali lagi, itu benar-benar terjadi.

Tak terasa, sudah dua tahun aku menganggur di rumah. sebuah penderitaan yang tergambar jelas kelanjutannya. Mulailah, orang tuaku terutama ibuku, menghendaki keseriusan hubunganku dengan kekasihku. kalau pun serius, lekaslah untuk ditandai sebagai calon mempelai. Aku tak punya pilihan lagi. kuhubungi kekasihku, dan kutanyakan maksud ibuku tadi. Dia terdiam. dalam benaknya aku memahami, dia ingin lebih banyak menabung. dan memang aku tahu, dia sangat serius denganku. Tapi dalam hatiku, jalinan ini sungguh tak berasa apa-apa padaku. Namun, jika mengingat kehendak orang tuaku, aku akhirnya pasrah diri.

Tak berapa lama, datanglah kabar dari kekasihku, bahwa akan ada waktu untuk berkunjung ke rumah orang tuaku bersama keluarganya. Kusampaikan hal itu padakedua orang tuaku. Dan kami pun bersiaplah. Seharusnya, aku bahagia dengan yang akan terjadi. Tapi sungguh, aku merasa biasa saja. Tak ada rasa apapun dalam hatiku. Yang ada hanyalah aku harus menjalani semua ini. Kekasihku dan keluarganya meminta waktu pernikahan setahun lagi. segala sesuatu persepakatan pun dilakukan dan sudah dimatangkan. Seminggu sekali, kekasihku yang akan menjadi calon suamiku, meneleponku hanya sekedar melepas rasa kangennya atau menanyakan kabarku. Aku pun menanggapinya dengan baik dan sewajarnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Tibalah hari-hari menjelang pernikahan kami. Calon suamiku lebih sering meneleponku untuk mempersiapkan segala kebutuhan pernikahan kami. Namun, ada sebuah gambaran luapan nafsu di saat terakhir dia meneleponku. Aku sempat terkejut, tapi aku berpikir itu pembicaraan orang dewasa sewajarnya. Dan pesta pernikahan pun dilaksanakan. Meriah sekali. Semua tersenyum dan terlihat bahagia.

Saat malam pertama, aku sungguh tak menyangka. Dia yang kukenal sangat lembut, sopan dan alim, begitu masuk ruangan kami tanpa basa basi dia langsung menginginkanku sebagai istri seutuhnya.  Tak apa bagiku. memang sudah kewajibanku sebagai seorang istri. Tapi, dia sungguh bernafsu. Sebuah kekecewaan yang selama ini kupendam dan ku bungkus, malam itu sungguh membuat kekecewaanku pecah kembali dan lebih melukai. Akhirnya rasa malas yang sudah kutepis saat bersamanya dulu, kembali meradang. hari demi hari dan tiap hari dia memintaku melayani. sampai suatu ketika aku sempat berdoa, semoga malam ini aku bisa istirahat dengan nyaman.

Mungkin hatinya sangat bahagia, sehingga dari hari ke hari kulihat perubahan tubuhnya yang semakin gemuk. Tapi aku sebaliknya, semakin kurus. Sampai di sini, aku masih memupuk puing-puing harapanku yang mungkin masih tersisa untuk diriku sendiri. Hingga suatu ketika, aku melahirkan seorang putra dan Tuhan kemudian memanggilnya kembali dalam waktu lima hari kemudian. Goyahlah jiwaku saat itu, hancurlah dunia kurasa, segala yang kami miliki seperti tak ada arti lagi. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ini? peringatankah? atau ujiankah? Apa yang salah dariku? Atau,... mungkin salah suamiku? Mungkin.

Ibuku hanya menganggap itu kasih sayang Tuhan pada kami. dengan serentetan rgumen khas orang Jawa, berusaha menyakinkan aku untuk menerima kenyataan yang terjadi. “Ah, mereka tak merasakan penderitaaanku’” batinku saat itu.

Tahun demi tahun berlalu, aku sempat hamil dan kemudian keguguran lagi. Hingga saat keguguran yang terakhir aku berpasrah pada kehendak Tuhan, apakah Dia akan memberi kami keturunan. Seolah memaksa, padahal hati ini tak punya rasa lagi padanya. Tapi aku berdalih demi baktiku pada suami. Ingin menjadi istri solihah.

Aku pun kembali hamil untuk yang ke-4 kalinya. Karena tak ingin gagal lagi, aku berencana untuk resign dari pekerjaanku yang sebetulnya tidaklah begitu mengganggu kehamilanku. Tapi aku ingin fokus pada calon bayiku. Dan syukurlah, anak kami lahir dengan selamat dan sehat. seorang putri yang sangat cantik. Hari demi hari, bulan demi bulan. Aku sangat bahagia akan kehadirannya. Serasa ada perasaan yang lama kurindukan hadir kembali. Ya, memang selama bertahun-tahun aku bersama suamiku, aku telah membunuh rasa egoisku untuk belajar menahan perasaan dan keinginan hatiku untuk merasa bahagia yang sesungguhnya aku butuhkan selama ini. Bahagiaku saat itu adalah bahagia tempelan saja.

Setahun berlalu, putriku merayakan ulang tahun pertamanya. Dan tanpa kusadari, aku pun sudah hamil kembali. Itu wajar terjadi, karena suamiku orang yang tidak bisa menahan hasratnya. Bukankah sudah kuceritakan, suamiku menginginkan aku melayaninya tiap hari, kecuali saat aku menstruasi.

Payahnya badan ini, jiwaku pun seperti tak beraga. Bagai seonggok daging yang memuaskan nafsunya. Tapi kali ini aku tak resign lagi dari pekerjaanku. Aku malu dengan yayasan yang sudah berbaik hati menerimaku kembali jika aku harus keluar – masuk seperti yayasan nenek moyangku sendiri. Sempat suatu ketika aku mengalami pendarahan. Aku pun takut kalau janin yang kukandung tak bertahan seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Tuhan sungguh welas asih padaku. Meskipun sempat terjadi pendarahan, janinku masih dalam keadaan baik-baik saja. Syukurlah.

Belum sembilan bulan kehamilanku, bayiku harus dilahirkan karena ada pengapuran plasenta yang bisa membahayakan perkembangannya dalam rahimku. Dokter memutuskan untuk mengeluarkannya dengan cara apapun. Beruntunglah, bayiku lahir secara normal, sehingga aku tak perlu melakukan operasi Caesar. Dan, seorang bayi laki-laki mungil yang manis telah lahir. Bertambah bahagia memang hatiku. Tapi, entah kenapa perasaanku tak sebahagia saat kulahirkan putriku. Dengan rasa sedikit malas, kurawat bayi laki-lakiku. kucium juga memang, tapi ciumanku tak bisa mendalam hingga relung hati bayiku dan aku.

Terkadang mataku berlinang. Kenapa aku takbisa dekat dengan bayiku? Dia kan anakku? Aku berpikir apa penyebab semua ini terjadi? terbersit sebuah pemikiran, saat aku melahirkan putraku, suamiku dalam kondisi sakit sehingga dia harus resign dar pekerjaannya. Jadi selama aku hamil, aku harus berkerja keras dan selalu memutar otak untuk mencari uang sebagi penutup kebutuhan kami sehari-hari dan susu buah hati kami.

Kondisi seperti itulah yang memaksaku tidak begitu mengurusi kondisi janin dalam kandunganku. Dan akibatnya, setelah 24 jam kelahirannya, putraku harus dirawat di rumah sakit karena mengalami kondisi ikterus (kuning) sehingga dia harus dirawat untuk beberapa waktu. Tak cukup di rumah sakit daerah, anakku harus dilarikan ke rumah sakit  Surabaya. Kami sempat berpikir, uang dari mana untuk membiayai rumah sakit? Sedangkan suamiku tak memiliki pekerjaaan dan gajiku pun pas-pasan.

Aku berpasrah pada Tuhan. Anak ini titipan Tuhan, aku diamanahkan-Nya untuk merawat semampuku dan seoptimal mungkin. Aku yakin Tuhan akan membantu. “Nyawa tidak dijual di toko,” batinku saat itu. Suamiku lantas menjual sepeda motor satu-satunya kendaraan untuk dia bekerja nanti demi menutup biaya rumah sakit yang harganya seperti hotel bintang lima.

Dua hari dirawat di Surabaya, putraku sudah diperbolehkan pulang dengan catatan dia harus berjemur tiap pagi selama 21 hari.  Tak apa, yang penting dia sehat dan panjang umur. Rutinitas berjemur kulakukan dengan telaten dengan harapan putraku segera membaik dan melewati masa-masa ikterusnya. Syukurlah, semua sudah berlalu. Perkembangannya pun semakin membaik. dan dia gemuk sekali. Aku pun jadi lebih dekat dengan putra kecilku. Rasa sayangku yang seutuhnya kembali tumbuh dan menerima dia sepenuhnya sebagai putraku tersayang.

Tapi, tidak sampai di sini saja ceritaku. Tiga kali melahirkan secara normal, dan dua kali curretage membuat perubahan dalam tubuhku. Nafasku semakin lama kurasakan agak sesak. Dan ekstrimnya, aku terkena aritmia yang menyebabkan Bradycardia (denyut jantung melemah dan lambat). Tepat, 1 Juli 2012, aku harus menjalani perawatan karena jantungku harus dipasang alat pacu. Dokter sudah begitu panik dengan mendesakku untuk segera pasang alat pacu ke Rumah Sakit dr. Soetomo, Surabaya. Namun, suamiku begitu mencemaskan kondisiku pasca pemasangan nanti. Hingga baru dua tahun kemudian, tepatnya 17 April 2014, aku dipasang alat pacu jantung di Rumah Sakit Umum Daerah di Surabaya ini.

Oh, Tuhan, inikah takdir hidupku? Selalu bersahabat dengan sakit dan rumah sakit? Terkadang aku memilih untuk diam. Mendiamkan kondisiku. Tapi banyak yang sering mengingatkan aku agar menjalani semua ini dengan ikhlas. Karena rasa sayang Tuhan padaku sehingga aku diberi sebuah keistimewaan.

Ismawati Kodariyah Photo Writer Ismawati Kodariyah

Semua bisa diraih jika punya tekad dan kemampuan

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya