Merpati di Langit Jingga

Kegelisahan yang Tak Kunjung Akhir

Hilang sudah kesabaranku menghadapi adik perempuanku satu ini. Mendapat tempelengan darinya. Masihkah hati ini harus bersabar? Sedangkan harga diri dihina dan diremehkan? Oh, Tuhan. Dengan sangat terpaksa aku harus tegas dalam hal ini. Entah kenapa? Hati dan jiwaku hari ini benar-benar berontak mendapatkan perlakuan seperti ini. Sungguh tragis aku rasakan. Benar-benar tidak ada perilaku dan sikap yang sopan apalagi unggah-ungguh kepada yang lebih tua.

Seumur-umur, aku tak pernah ditempeleng suamiku apalagi orang lain. Dengan ringannya dia melayangkan tangannya ke pipiku dan mendorong dadaku yang sedang terpasang alat pacu jantung. Astaghfirullah! Apalagi anak-anakku menyaksikan semua ini. Beginikah setan jika sedang bertepuk tangan? Mungkin mereka sedang tertawa terpingkal-pingkal melihat apa yang terjadi pada kami.

                Kupandangi kedua orang tuaku. Terbersit dalam hati dengan segala emosiku, “Aku akan meninggalkan tempat ini! Rumah ini!” Tapi, kulihat raut wajah orang tua di depanku ini, aku sungguh lemah lunglai.” Lantas, bagaimana dengan mereka nanti? Jika aku meninggalkan rumah, apa yang terjadi pada mereka berdua?”  batinku. Sekilas aku melirik ibuku. Ah, ibu biasa saja kok. Beliau tentu membolehkanku pergi dari rumah ini. Bukankah semua sudah pada eneg melihatku di sini?

                Suamiku pun geram menemui kondisi yang telah terjadi. Dia sungguh geram. “Buk, sudahlah! Kita pindah saja dari rumah Abah dan Ibu! Memang kata orang sepuh itu, dalam satu rumah nggak boleh ada empat pasang keluarga. Nggak bagus!”

                “Baiklah, Yah! Aku turut saja kemauan Ayah. Aku kan istrimu. Aku harus turut ke mana pun kau pergi dan kau suruh. Kalo aku nggak nurut njenengan, Allah dan malaikat-NYA akan melaknatku.” Jawabku menanggapi keputusan suamiku.

Aku hanya bisa pasrah. Ingin kulepaskan semua beban ini. Berbulan-bulan, bahkan sudah hampir dua tahun aku pulang dan ikut menumpang di rumah orang tuaku. Di rumah itu, ada dua adik perempuanku yang semuanya sudah berkeluarga. Namun, suami mereka semua meninggalkan mereka karena ulah dan pola pikir mereka yang keliru dalam memahami hakikat rumah tangga dan bagaimana posisi mereka terhadap suami mereka. Sikap yang harus mereka sampaikan masih belum mencerminkan seorang istri yang taat kepada imamnya.

Ah, aku dulu juga pernah seperti itu. Tapi, aku selalu segera menyadari bahwa hidup berumah tangga pasti ada saja batu-batu kerikil yang menjadi sandungan. Namun, kali ini, hari ini, aku benar-benar ingin membuktikan ucapanku sebagai istri yang taat kepada suamiku. Mungkin belum seratus persen.  Berat hatiku, karena egoku masih berkecamuk dalam dada. Segera saja kutepis. “Aku harus belajar menekan egoku. Kalo tidak, kpn hidupku akan bahagia bersama suami dan anak-anakku.” Aku segera menyadari posisiku sebagai istri.

Tiba-tiba terdengar lagi suamiku berkata dengan nada penuh sayangnya tapi juga rasa ketidakmampuannya. “Buk,kalo ibuk mau menurut kata suami, insya Allah ibuk nanti kan ditempatkan di surga oleh Allah. Bahkan, karena ketaatanmu padaku, Abah dan Ibu juga akan ikut serta masuk surga. Saat ini kita belum bisa berbuat apa-apa. Kita hanya bisa pasrah dengan nasib. Untuk sementara, kuatkanlah hatimu! Bertahanlah dulu. Ayah akan berusaha untuk mencari penghasilan yang lebih mencukupi kita supaya rumah kita segera berdiri.”

Aku hanya terdiam mendengarkan. Dalam hati, aku sungguh bersyukur Allah mempertemukan aku dengan suamiku. Dia adalah sosok suami yang saaangat penyabar. Kadang karena keegoisanku, aku tak bisa memahami kesabaran lelaki di hadapanku ini. Betapa bodohnya aku jika aku harus kehilangan orang baik ini. Tidak mudah di dunia ini menemukan suami seperti dia.

“Ayah, maafkan aku ya? Aku selama ini sering berbuat sesuka hatiku tanpa memikirkan perasaan Ayah. Aku selama ini kurang mengindahkan kata-katamu. Aku menyesal sekali. Sekali lagi, aku minta maaf ya?” Aku merajuk padanya. Aku adalah tipe orang yang memegang kata-kataku sendiri. Bagiku kata yang telah kuucapkan itu merupakan  sebuah janji yang harus kutepati dan kupertanggungjawabkan.

Suamiku tersenyum, dengan wajah lucu dia menyalamiku. “Dimaafkan kok!”

“Ah, Ayah ini. Aku serius nih!”  Aku pun menyambut  telapak tangannya.

“Sudahlah, buk! Ayah selalu memaafkan semua kekeliruanmu. Tapi ya itu tadi. Ibuk harus selalu ingat, kalo Ayah sangat menyayangi Ibuk dan anak-anak. Sampai-sampai Ayah rela makan hanya satu kali sehari. Itu pun cuma sama tahu isi dan segelas teh hangat.”

“Duuhh... Ayah jangan terlalu menyiksa diri gitu dong! Tetap jagalah kesehatan! Kalo badan kita sehat, kita kan bisa bekerja dengan giat Yah! Bisa nyari uang buat sekolah anak-anak kita,” protesku.

Suamiku mengajakku jalan-jalan untuk sekedar menenangkan pikiran kami. Seperti biasa, kami berangkat ke tempat favorit kami, Masjid  Jami’. Sambil menunggu anak-anak kami pulang sekolah, kami salat Dhuhur di sana. Selesai salat, suamiku mengajakku ngobrol tentang masa depan kami dan anak-anak nanti.

Di masjid ini, kami merasa sangat damai. Ini rumah Allah. Siapa pun boleh berkunjung. Siapa pun boleh tinggal, tak ada yang mengusir, kecuali ada yang berlaku keburukan di dalamnya. Sering kali jika aku sedih, aku segera lari menuju masjid ini. Segala gundah gulana, kekesalan, keluh kesahku, seakan didengar langsung oleh-Nya.

Seolah Dia ada di dekatku, nyata dan memelukku erat sambil memberiku belaian kasih-Nya dan berkata "SABARLAH, KUATLAH! TEGARLAH! TABAHLAH! KARENA AKU SANGAT MENYAYANGIMU. AKU INGIN MELIHAT KESANGGUPANMU MENYELESAIKAN UJIAN YANG KUBERIKAN PADAMU." Namun, apa aku pantas dipeluk-Nya? Apa aku masih pantas disayangi-Nya? Kecil. Kecil sekali diri ini bila mengingat kebesaran-Nya. Betapa rendahnya diri ini di hadapan-Nya.

Suamiku yang sedari selesai salat tertidur, tiba-tiba terbangun dan duduk. “Buk, nanti biar aku matur pada Abah dan Ibu tentang rencanaku berangkat ke luar negeri. Apa kira-kira direstui ya?”

Aku masih termangu. Terbersit di benakku. Beberapa bulan yang lalu, kami sudah merepotkan orang tua untuk membantu peminjaman ke bank dan itu belum ada setahun angsuran. Apa nggak malah merepotkan jika kami masih mau meminta bantuan orang tua untuk mencari modal Ayah berangkat ke luar negeri? Apalagi jaminan yang dipakai adalah sertifikat tanah keluarga.

“Duuh, Ayah. Kalo bisa jangan merepotkan Abah dan Ibu lagi. Dan kalo bisa, jangan memakai jaminan sertifikat keluarga lagi.” Sanggahku dengan nada kuatir bercampur ragu. “Apa pendapat adik-adik nanti? Jangan sampai kita dibilang merepotkan orang tua lagi.”

Suamiku terdiam. “Yahh, mau gimana lagi, buk? Ayah sudah mepet sekali ini. Kalo tidak segera berangkat ke luar negeri, apa yang masih bisa kita andalkan?”

Mataku tiba-tiba nanar. Bulir-bulir air mataku meleleh lewat sudut mataku seperti tak bisa terbendung lagi. Terbayang olehku jika ayah ada di luar negeri menjadi seorang TKI. Bekerja keras, membanting tulang demi keluarga. Tapi fisiknya yang kini sudah tak seperti dulu, membuatku timbul kekuatiran akan kesehatan Ayah selama di sana.

Siapa yang akan merawat Ayah jika Ayah sakit? Siapa yang akan membantunya? Apa pekerjaan Ayah di sana berat? Terus apa Ayah nanti juga akan memaksakan diri bekerja jika ayah sakit seperti waktu ayah bekerja di sini? Apa Ayah nanti juga akan sering puasa seperti waktu di sini? Ah..... berat rasanya hendak melepas Ayah berangkat ke luar negeri. Namun, terlontar doa-doaku untuk Ayah.

Semoga Ayah senantiasa diberi kesehatan, perlindungan dan keselamatan oleh Allah selama Ayah berjuang mencari nafkah untuk keluarga. Ayah akan berjihad. Memenuhi kewajibannya menjadi kepala keluarga. Apalagi, terngiang kata-kata Ayah, “Meski aku harus mati di sana, nggak apa-apa, buk. Aku nanti diasuransikan oleh perusahaan. Asal kehidupan anak-anak masih bisa terjamin, aku ikhlas.” Ya Allah. Aku tak mau. Aku tidak mau kehilangan suamiku. Dia ayah anak-anakku. Aku sangat menyayanginya. Aku telah berjanji untuk membaktikan diriku pada-MU dan padanya. Semoga Kau segera memberikan jalan terbaik untuknya dan untuk kami sekeluarga.

Jam dinding masjid berdentang dengan keras menunjukkan angka dua. Seakan menjadi perintah  tanda kami harus segera meluncur menjemput anak-anak kami pulang dari sekolah. Sekolah anak-anak kami memang berada di lain kabupaten. Masjid Jami’ ini pun juga berada di tempat yang berdekatan dengan sekolah anak-anak kami.

“Yuk, buk! Kita jemput anak-anak sekarang! Kasihan nanti jika mereka harus menunggu lama. Kakak pasti sedang membawa alat musik drumbandnya. Pasti berat!” ajak suamiku.

Aku pun segera mengusap mataku. Dengan sigap dan cepat, kukejar suamiku yang sudah melangkah jauh menuju area parkir masjid.

Setiba di sekolah anak-anak, aku pun segera pasang muka ceria dan senyum mengembang supaya anak-anak tak melihat kesedihan batinku.

Kami pun kembali ke masjid Jami’ untuk menanti salat Asar. Entah kenapa, aku dan suami sangat suka pergi ke  masjid ini. Padahal jarak antara masjid ini dengan rumah orang tuaku antara 12 kilometer. Kebetulan rumah orang tuaku ada di perbatasan kabupaten. Sedangkan masjid jami’ dan sekolah anak-anakku berada di kota.

Setiap kali kami mengalami kegundahan hati, kegalauan jiwa, suamiku selalu mengajak kami ke masjid ini yang tempatnya pun bersebelahan dengan alun-alun kota. Jadi seringkali sepulang aku menjemput anak-anakku sekolah, kami mampir untuk melepas kepenatan. Tempatnya benar-benar sejuk dan nyaman karena banyak pepohonan dan ada kolam ikan, air mancur, juga tempat bebatuan untuk terapi refleksi. Duh, nyaman sekali.

Sejenak menikmati kenyamanan masjid dan suasananya menanti salat Asar, masalahku terlupakan. Lalu lalang orang yang silih berganti keluar masuk masjid, terlihat semangatnya untuk menegakkan salat yang memang menjadi kewajiban seluruh umat Islam. Hatiku tertawan ikut bersemangat pula seperti mereka. Keteduhan wajah mereka, keikhlasan mereka melaksanakan ibadah, menuntunku untuk selalu bersyukur bahwa aku terlahir menjadi hamba Allah. Masjid jami’ ini adalah satu-satunya masjid jami’ tanpa pagar besi dari sekian masjid-masjid jami’ yang pernah kukunjungi.

Bedug masjid mulai ditabuh, tanda waktu salat Asar telah tiba. Aku dan suamiku segera mengambil wudhu di tempat yang telah disediakan. Anak-anak mengikuti kami. Selesai wudhu, aku dan anak-anak segera merapat ke shaf jamaah. Tidak ada yang bisa menandingi kenikmatan beribadah salat berjamaah.

Usai salat, suami segera bergabung dengan kami di lobi masjid.

“Buk, yuk kita pulang!” ajaknya. Aku hanya diam. Seperti ada perasaan  malas untuk meningglkan masjid ini. Selain karena aku punya masalah dengan orang rumah, rasanya jiwaku lekat erat dengan masjid ini. Betapa tidak? Setiap kali aku pergi ke kota ini, setiap kali aku mengantarkan anak-anakku berangkat sekolah, aku selalu mampir ke sini. Baik untuk sekedar melaksanakan salat Dhuha, atau salat Dhuhur saat tak banyak waktu untuk menjemput anak-anakku pulang sekolah.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Hatiku sudah terlanjur jatuh cinta dengan masjid ini. Oleh karena itu, setiap kali aku ada masalah dengan orang rumah, aku selalu mengajak anak-anakku ke masjid ini sambil kujelaskan pada mereka, “ Di masjid ini, kita nggak ada yang ngusir. Nggak ada yang marah-marahin. Karena ini rumah Allah. Allah selalu menerima hamba-Nya apapun kondisinya dan selalu melindunginya.” Saat itu, anak-anakku hanya mengangguk-angguk saja menurut kata-kata ibunya.

“Aku malas pulang ke rumah, Yah!” jawabku. “Aku malas harus mendapati kondisi yang tak mengenakkan di rumah.” Tapi, suamiku tetap saja memaksa. Ah, kadang aku tak mengerti dengan jalan pikiran suamiku. Kenapa dia masih tetap menyuruhku bertahan di rumah itu kalau sudah tak ada lagi sebuah cermin iman di hati penghuninya, kecuali Abahku?

“Bagaiman pun, maafkanlah mereka! Jadilah pribadi yang pemaaf, yang halus tutur kata, tetap berpegang teguh pada ajaran agama, jangan sampai ada dendam, apalagi sesama saudara, buk!” nasehat suamiku.

“Iya sih, tapi......” Duh, berat rasanya melupakan tamparan yang telah kuterima. Sungguh, itu sebuah hinaan bagiku. Aku pun tak tahu. Kenapa aku paling tak suka jika bagian kepalaku disentuh. Apalagi ditampar seperti tadi.

“Ah, sudahlah. Jangan menuruti hawa nafsu! Ayo, kita pulang! Kakak! Adik! Mari kita pulang! Sudah sore nih! Insha Allah besok kita ke sini lagi!” Anak-anakku pun menurut perintah Ayahnya. Aku pun seperti kerbau dicocok hidungnya, menurut saja apa perintah suamiku. Dalam hatiku hanya ada rasa taatku padanya.

Suamiku, kunci surgaku. Keridhoannya adalah tiketku untuk bisa menempati surga Allah. Jangan sampai dia marah padaku.  Kemarahannya adalah api yang membakar tubuhku hingga tak tersisa abu sehingga aku melayang beterbangan tak tentu arah yang kutuju. Tak diterima di laut, di darat, di bumi pun aku tak boleh menginap, di udara aku dihempaskan ke sana kemari tak ada yang mau menerima. Jangan! Jangan sampai suamiku marah padaku! Dunia ini akan hancur menyaksikan kemarahannya.

****

“Dari mana saja ini tadi?” tanya ibuku saat kami tiba di rumah. “Lho, bawa apa ini, Kak? Kok kayak alat musik untuk drumband?  Coba Yangti pengen dengar!” sapa ibuku pada putriku.

“Ya, Yangti!. Tapi aku masih capek. Sebentar ya, aku ganti baju dulu!” jawab Kakak sambil berlari masuk kamar.

Yo wes, makan aja dulu, Nduk!” Ibuku, kadang lembut kadang terlihat benci pada anak-anakku. Namun, kali ini, aku yakin itu hanya sekedar agar mereka masih terlihat peduli padaku dan anak-anakku juga suamiku. Ah, aku tak tahu isi hati ibuku. Yang Maha Tahu-lah yang lebih tahu.

Saat sore, ibu menghampiri kamarku yang memang hanya itu tempatku berteduh. Seluruh penjuru rumah orang tuaku dikuasai oleh kedua adik perempuanku. Biar! Biarlah mereka bertindak sesuka hati mereka. Kalau perlu, ambil dan milikilah kedua orang tua supaya mereka puas. Mungkin saja suatu saat nanti penghargaan akan mereka terima. Tidak sepertiku. Sedari kecil, ibu menggembleng aku penuh dengan kekerasan. Aku pernah dicekiknya, diguyur air di kamar mandi, ditekan perasaanku dengan segala ancaman akan mengeluarkanku sebagai ahli warisnya, memaksakan kehendaknya untuk menikahkan aku dengan lelaki lain di saat suamiku belum melamarku karena alasan modal untuk menikah masih kurang. Dan banyak lagi.

Terkadang aku bertanya dalam hati. Kenapa aku harus kembali ke rumah orang tuaku lagi? Hidupku saat sebelum pulang, lebih tenang tapi ujian Allah berupa sakit mendera. Bukankah dulu saat masih hidup bersama ibu, aku selalu berusaha untuk minggat dari rumah karena tak tahan dengan sikap ibu? Bodohnya, kenapa harus kuulang kembali? Niatku pulang hanya untuk mengabdi pada orang tuaku. Mereka sudah menginjak usia uzur.

Aku ingin di sisa hidupku ini bisa berguna bagi kedua orang tuaku. Aku ingin merawat mereka supaya mereka bisa menikmati hari tua yang sehat, bahagia. Tapi, kedua adikku tak bisa kuajak memahami kondisi. Jiwa mereka masih labil. Namun, harusnya ibuku memberi arahan yang tepat pada mereka, bukan malah mengompori supaya berani pada suami-suami mereka. Masha Allah.

Aku tak bisa mengikutinya. Aku takut dosa. Kusampaikan keresahanku ini pada suamiku. Dan suamiku pun memahami keadaanku. Pernah kami sampaikan niat kami untuk mengontrak rumah, supaya tidak berlama-lama membebani orang tua, tapi tanggapan ibu adalah masalah gengsinya pada tetangga.

“Apa yang tetangga nanti bilang? Kalo kamu jadi pergi, dan mengontrak rumah, mau ditaruh mana muka Abah dan Ibu? Kamu yang meninggalkan kami, ndak akan dapat masalah. Tapi, yang kamu tinggalkan ini lho yang akan menanggung malu, Nduk. Dikira Abah ibumu ini tak becus mengatur anak-anaknya.” Keluh ibu sambil berurai air mata. “Abahmu tadi malam menangis sambil merangkul ibu. Seumur-umur, Abahmu ndak pernah nangis lho, Nduk! Cuma tadi malam Abahmu menangis sambil bilang kalo dia sungguh sedih, kenapa anak-anaknya tidak ada yang bisa diatur. Dikuliahkan baik-baik, tapi kok ndak iso akur karo sedulur. “

Lha terus saya harus gimana lagi, Bu? Biarlah saya yang ngalah dengan pergi mencari tempat tinggal sendiri. Memang ndak boleh dalam satu rumah itu ada empat pasang keluarga. Tiga pasang aja ndak boleh apalagi empat.”  Aku berusaha menjelaskan pada ibu. “Bu, kami mau ngontrak dulu, kalo uang kami sekiranya sudah cukup terkumpul, nanti kami akan segera meninggikan tembok rumah kami yang sudah berpondasi  di depan rumah ibu itu.” Aku berusaha memberikan alasan yang meyakinkan ibu supaya aku dan suamiku diperbolehkan mengontrak rumah.

Ndak oleh!!!” teriak Abahku yang ternyata sudah berada di samping kami. “Sampai kapan pun kamu ndak boleh pindah dari sini!” Suara Abah terdengar sangat keras karena kegeraman hatinya. “Masalah yang terjadi itu kan hanya sepele. Namanya anak-anak, yo wes ngunu kuwi tingkah e. Janganlah kalian sebagai orang tua menanggapinya dengan emosi dan hati yang keras! Sudahlah! Kalian ini bersaudara. Tidak bisakah kalian berpikir secara akal yang jernih?”

“Tapi, Bah.... Kalo saya yang disakiti, saya masih bisa menahan. Saya masih bisa terima. Tapi janganlah anak-anakku yang disakiti! Kalo memang anak-anakku tak bisa dikasih tahu dengan mulut, sudah, biarkan saja! Tidak usah dipedulikan lagi! Biar saya sebagai ibunya yang menegur dan mendisiplinkan mereka! Saya yang lebih tahu tentang anak-anakku.” Sanggahku dengan nada yang kuatur sedemikin halus agar tak menyinggung kedua orang tuaku ini.

“Tapi, kalo kamu main pergi begitu saja, apa nanti kata tetangga? Mau ditaruh mana muka kami? Mereka pasti berkomentar bahwa Abah Ibumu ini ndak becus ngatur anak-anaknya. Ya kalo kamu belum mondasi omah, ndak apa-apa, Nduk. Tapi kamu sudah punya pondasi rumah di tanah depan. Kalo mereka tahu kamu boyong pindahan, lalu nanti rumah sudah jadi, digoootoong lagi kemari, bolak-balik, mereka pasti banyak komentar. Yo isin Abah ibumu iki!”  Ibu meluapkan perasaannya sembari menangis.

Oh, Tuhan. Aku hanya bisa diam. Tak tahu harus berbuat apa. Mau berkata apa.  “Baiklah, sekarang saya minta pendapat panjenengan berdua gimana solusinya kalo memang saya tidak boleh pindah?” kataku pasrah.

Yo wes, gini aja Nduk. Pondasi bagian dapur itu aja kamu bangun terlebih dulu. Kan dapur rencananya mau kamu bangun lantai dua. Itu aja dulu ditembok secukupnya supaya bisa segera kamu tempati seadanya. Nanti yang bagian ruang lainnya menyusul sambil menunggu dana terkumpul. Piye?” saran ibuku.

Lha iyo, opo ngunu?” sahut Abahku.

Aku terdiam sejenak. Dalam benakku terbersit perasaan iba pada kedua orang tuaku ini. Tak terbayangkan bagaimana aku tega melihat wajah mereka saat kutinggal pergi nanti? Betapa melasnya menatap wajah tua mereka. Aku sungguh berniat merawat mereka sampai akhir hayat mereka, tapi jika niatku ini tak bisa berlanjut, betapa menyesalnya aku nanti, tak bisa mendampingi saat-saat terakhir hidup mereka. Niatku ini pun direstui oleh suamiku.

Nggih, sampun. Saya nurut saja. Asal Abah dan ibu ikhlas tanah depan rumah itu saya bangun dan saya tempati supaya saya masih bisa merawat Abah dan ibu,” tukasku pasrah.

Yo ikhlas to. Wong tuwo ki nek wenehi anak, ora ono critane ndak ikhlas. Kamu jangan suka su’udzon pada orang tua, nduk! Ndak apik!” kata yang keluar dari bibir ibuku. Kali ini, aku percaya dengan ucapan ibuku. Biasanya aku ragu. Entah karena ada Abahku atau memang terucap dari hatinya yang tulus, kali ini aku tetap percaya. Tapi, kenapa hatiku benar-benar ingin tetap pergi dari rumah ini?

Satu sore, selepas salat Magrib, aku meminta seluruh anggota keluarga berkumpul. Aku ingin sekali menyampaikan iktikadku untuk memperbaiki keadaan yang tengah galau agar kami bisa saling memahami satu sama lain. Kuajak kedua adik perempuanku untuk ikut mendengarkan pendapat dan perasaanku.

Kusampaikan pada mereka apa yang menjadi ganjalan hatiku untuk sulitnya aku melapangkan dadaku menerima tamparan adik bungsuku kemarin. Ibuku menanggapinya dengan antusias, adikku perempuan yang paling besar juga keliahatan antusias mau menerima pendapatku dan luapan perasaanku, namun Abahku tak seperti biasanya,beliau tak begitu suka dengan ajakanku dengar pendapat. Begitu pun adik bungsuku. Linangan air mata yang selalu jadi ciri khas ketidakmampuanku menahan rasa diartikannya sebagai air mata buaya. Dari mulutnya terucap kata-kata yang seolah mendengarkan pendapatku, namun aku yakin dia masih menganggapku pembual. Astaghfirullah...

Ah, sudahlah. Toh aku sudah merendahkan diriku berusaha meminta maaf pada semua. Padahal sebenarnya akulah korbannya. Aku serahkan semuanya pada Sang Pembuat Cerita. Dari sebuah musola, terdengar seorang ustadz berceramah tentang keikhlasan manusia harus menerima takdir dari Allah. Mau tak mau harus menjalani apa yang telah Allah tetapkan padanya. Aku tertohok. Sambil kupikirkan ucapan ustadz musola itu, aku bertekad akan memperbaiki keadaanku dan suasana keluarga supaya tak ada lagi percekcokan antar saudara. Apalah arti bersikerasku jika akan menambah keruhnya suasana di rumah.

“Baiklah, saya minta maaf. Tapi, kalian juga harus bisa memperbaiki perilku kalian. Jadilah istri dan ibu yang baik untuk suami  dan anak-anak kalian!” ucapku saat itu.

Ibuku menyadari kondisi yang tengah terjadi. Adik sulungku juga. Tapi, Abahku seolah tak mau peduli. Terlebih adik perempuanku yang kemarin menamparku. Dia seperti merasa apa yang dia perbuat adalah suatu kebenaran tanpa harus dikoreksi.

“Ya, sudahlah! Yang lalu, biarlah berlalu! Ndak usah diinget-inget lagi! Kita ini satu keluarga. Kami pun pasti juga punya kekeliruan. Kami juga minta maaf padamu,” kata mereka.

Baiklah! Aku pun akan belajar melupakan kejadian kemarin. Belajar melunakkan hatiku. Ini memang takdirku. Dari dulu aku paling tak bisa menekan perasaanku. Dari aku masih kecil.  Entah kenapa, aku tak suka jika jiwaku tak tentram. Aku selalu ingin merasa bebas dari kegundahan yang menggelayuti jiwaku. Makanya, sebisa mungkin aku selalu berusaha mencari ketenangan jiwa agar aku bisa terbebas dari belenggu sehingga terbang menjulang ke angkasa menggapai bintang dan asa. Aku ingin bersahaja menikmati kebersamaanku dengan keluarga kecilku dengan bahagia. Insya Allah.

Bulan berlalu berganti tahun. Tahun 2016, kejengkelan hatiku kian memuncak kepada adik perempuanku, tatkala dia memaksakan kehendaknya supaya aku membantunya membuatkan sebuah surat perjanjian kerjasama yang isinya tentang uang sogokan yang dia berikan ke calo tenaga kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Oohh, terbayang suatu hal yang diharamkan harus dan dipaksa aku melakukannya. Aku takut. Bukan hanya takut dosa, tapi aku takut jika Allah mengazabkannya bukan padaku, tapi pada anak atau suamiku. Dengan setengah berat hati aku mulai menarikan pensil di tanganku pada selembar kertas. Dalam benakku aku menggumam sendiri,”Allah, ampuni aku! Kulakukan ini, supaya tidak terjadi perselisihan lagi di antara kami. Ooooh, sungguh beratnya tangan ini mau menulis! Aah,kacau adikku ini. “

Ismawati Kodariyah Photo Writer Ismawati Kodariyah

Semua bisa diraih jika punya tekad dan kemampuan

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya