[CERPEN] Malam Natal (Bagian 1)

Satu-satunya yang tak berubah: segalanya akan berubah

Bagaimanapun, satu-satunya yang tidak pernah berubah hanyalah segalanya akan berubah.

Aku menunduk, duduk berhadapan dengannya tanpa berani menatap wajahnya. Ruangan tengah di rumahnya sudah berganti desain. Lukisan-lukisan dinding yang dulu selalu kulihat lama sekali setiap mampir ke rumahnya sekarang sudah tidak dipajang. Vas bunga besar yang sebelumnya diletakkan di atas meja ujung ruangan dan selalu rajin kuganti isinya dengan bunga warna-warni sekarang juga sudah tidak kelihatan lagi.

Tinggal tersisa foto keluarga di dinding tengah yang cukup luas: fotonya, ibu, ayah, dan adik perempuannya–dia merangkul adiknya sambil tersenyum di foto itu, senyum familiar yang selalu kusuka, yang akhir-akhir ini sudah jarang disunggingkan. Padahal, baru tiga bulan aku tidak berkunjung. Tapi segala yang ada di rumahnya sudah banyak berubah. Termasuk dia. Aku belum pernah melihatnya dengan ekspresi yang tidak bisa kubaca sama sekali seperti malam itu.

“Maaf, tadi keterlaluan,” katanya dengan suara berat yang kurasa sedikit bergetar. Bahwa dia tulus dengan permintaan maafnya, aku tahu. Tapi aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Semenit. Dua menit. Mungkin sekitar lima menit berlalu.

Meong

Pluto, kucing gemuk kesayangannya, keluar dari cat tower dan berjalan ke arahku, lantas memainkan ekornya di kakiku. Dari ruangan lain, kulihat Galaksi, kucing yang ia bawa pulang dua tahun lalu karena ditelantarkan pemiliknya di jalan, juga menyusul mengikuti. 

Kalau saja kami masih seperti dulu, kedatangan Pluto dan Galaksi pasti akan segera jadi momen menyenangkan. Aku akan segera bisa meledeknya karena dia pasti akan segera merengut melihat Pluto dan Galaksi lebih suka bermain denganku daripada dengan dia. Tapi kami sudah tidak sama lagi. Malam itu, sampai kedua kucingnya akhirnya pergi karena tidak diladeni, dia tetap bergeming. Aku tak berani mengangkat kepala. Tak berani menatap wajah frustrasinya. Malam itu, aku benar-benar menyadari bahwa segala sesuatu di antara kami sudah tidak pernah sama lagi.

“Lagian ngapain sih kamu jauh-jauh ke rumahnya? Lupa kalau kalian udah putus?” Anggi, teman dekatku semasa SMA dulu, bertanya. Malam ini dia sengaja menginap di rumahku. Katanya rindu sebab sudah lama kami tidak bertemu. Mungkin lebih tepatnya dia rindu mengusiliku, membuat rumahku berantakan, sekaligus menyeretku ke sana ke mari untuk menemaninya memasak.

22 Maret 2022. 

Mungkin sudah terlambat bagiku untuk mengisahkan cerita tentang malam Natal. Sebab 25 Desember sudah lewat lebih dari tiga bulan lalu. Dan malam Natal terakhir yang kulewatkan dengannya sudah lewat jauh di belakang. 

“Emangnya kamu pikir orang yang udah putus bisa jadi teman?” Anggi bertanya lagi tanpa menunggu jawaban dari pertanyaannya sebelumnya. Juga sambil masih tetap asyik menonton serial Netflix favoritnya. Aku pun tak tahu apakah sedari tadi dia menyimak ceritaku. Ya, aku pun tak terlalu peduli.

“Dia bilang bisa, Nggi,”

“Tapi buktinya enggak, kan? Enggak ada yang namanya putus baik-baik, Ri,”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Rupanya Anggi benar-benar bisa fokus mendengarkan ceritaku sekaligus tetap fokus dengan Netflix-nya. Dan ternyata, mulutnya masih sama tajamnya seperti dulu. Tapi setidaknya, dia tidak berubah. Dan Anggi benar soal hubunganku dengan Mars. Setelah kami putus, hubungan kami tidak pernah sama lagi.

Namanya Mars. 

Kami bertemu tiga tahun lalu di kantor tempatku masih bekerja sampai sekarang. Aku ingat sekali pertemuan pertama kami. Waktu itu aku baru dua hari jadi pegawai di sana. Dengan langkah yang masih setengah gugup, setengah percaya diri, dan masih sedikit kaku dengan sekitar, aku bertemu dengannya di depan lift, pagi hari saat hendak masuk kerja.

Pukul 08.39.

Ah, aku bahkan masih menghafal dengan tepat waktu saat kami bertemu.

Dia cukup tinggi. Sekitar 179 cm kurasa, 16 cm lebih tinggi daripada aku. Kulihat dia memakai tanda pengenal kantor kami meski tak begitu kelihatan siapa namanya di tanda pengenal itu. Tapi kupikir, karena bekerja di tempat yang sama, aku bisa menyapanya dan kalau beruntung bisa mendapat teman baru. Jadi tanpa pikir panjang, aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Dia justru celingukan melihat kanan kiri. Mungkin bertanya-tanya kepada siapa aku kutujukan anggukan kepala tadi. Padahal cuma ada kami berdua di depan lift waktu itu. Tentu saja aku menyapanya–astaga! Dia tidak menyapa balik. Langsung masuk lift begitu pintu terbuka.

Enggak masuk?

Mungkin begitu kira-kira dia bertanya kepadaku dengan ekspresinya. Aku masih menahan malu setengah mati karena dia mengabaikanku. Duluan saja. Begitu kujawab dengan gestur tangan. Dia, dengan ekspresi datarnya, memencet tombol lift, tidak lagi memedulikanku. Atau mungkin memang tidak seharusnya aku menyapa orang yang tidak kukenal di kantor ini. Aku benar-benar malu setengah mati.

Setelah kejadian itu, rasanya seperti ada yang aneh setiap kali kami tak sengaja bertemu. Dan baru seminggu di kantor, sudah sering kudengar juga kasak-kusuk tentangnya. Kurasa dia cukup populer. Dua orang teman satu timku bahkan mengaku sudah pernah berusaha mendekatinya. Mereka bilang, dia terlalu tampan buat dilewatkan begitu saja tanpa diusahakan. Haha! Aku benar-benar tertawa mendengar cerita temanku. Kuakui dia memang tampan. Cuma sepertinya dia bukan tipe orang yang ramah. Kudengar, dia jarang tersenyum dan cuma berkata seperlunya. Dia juga tak pernah ambil pusing dengan orang-orang di sekitarnya. 

Sekali lagi, namanya Mars.

Malam ini aku cuma ingin bercerita tentangnya–meski mungkin akan panjang dan cuma akan kulanjutkan kapan-kapan. Tentang seseorang yang tawanya sejernih aliran sungai di musim penghujan. Yang bahu dan langkah tegapnya sekuat dan segagah pohon cemara. Yang pernah membuatku menantikan Natal meski aku tak pernah merayakannya. Yang sudah menjadi bagian dari masa mudaku. Yang juga sering menjadi protagonis dalam cerita-ceritaku. Dan yang ingin sekali kuperkenalkan kepada dunia: Mars. Sekarang 27 tahun, cuma beberapa bulan lebih tua dariku. Tepat 28 Maret nanti, usianya akan bertambah satu tahun lagi.

Baca Juga: [CERPEN] Suara dalam Cermin

Mae Seven Photo Writer Mae Seven

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Atqo

Berita Terkini Lainnya