Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
storial.co

Physical Distancing: Putus?!

 

Tut.. tut... tut....

Aurelia merengut memandang layar HP-nya.

Dih, kok di-reject?!

Sudah kelima kalinya dia menelepon David, kekasihnya. Perasaannya masih tidak bisa menerima, kenapa sih, David enggak bilang-bilang ke dia kalau dipecat?

Emangnya, lu bilang ke David, Rel, kalau lu dipecat?

Eh... Aurelia nyengir sendiri. Enggak, sih... tapi dia kan bakal bilang. Dia bukannya enggak mau bilang. Hanya saja belum siap bilang.

Mungkin David juga begitu? Bukannya enggak mau bilang, tapi belum siap bilang.

Aduh, kenapa samaan, sih?! Enggak seru, nih!

Aurelia mencoba menelepon David sekali lagi. Iyesss, sekali lagi. Siapa tahu diangkat!

Nihil!

Kali ini memang tidak di-reject, namun tidak direspons sama sekali!

Akhirnya Aurelia hendak menelepon Joko. Eh, tapi ada panggilan masuk, dari Cantika.

Aurelia menepuk dahinya! Dia lupa menjadwalkan kapan datang ke kantor untuk mengambil barang-barangnya.

"Iyeees, Can... gue ke kantor besok," jawab Aurelia cepat.

Di ujung sana terdengar desahan lega napas Cantika. "Pak Julian barusan nanyain, kapan jadwal anak buah divisinya ambil barang."

Di situ Aurelia melongo. Maksudnya... "Hah, Lovina, Ulfah, dan Ali juga belum ambil barang-barang mereka?" tanyanya. Eh, iya ya... mereka chat di grup sama sekali enggak membicarakan kapan akan datang ke kantor? Apa barengan aja ya, segabruk mereka datang berempat?

"Belom! Sekalian lo ingetin mereka deh ya... udah ya gue mau telepon yang lain dulu." Cantika menyudahi pembicaraan.

Aurelia dilanda galau. Apa tindakannya sekarang? Dia punya beberapa pilihan:

Satu: menelepon Joko untuk menanyakan kondisi David.

Dua: mencoba menelepon David lagi.

Tiga: kembali menelepon Joko jika David masih enggak angkat teleponnya.

Empat: menelepon David....

Duh, enggak kreatif amat sih to do list-nya hari itu.

Ah, Aurelia tahu... dia akan melakukan pilihan kelima.

"Eh... sinting kalian semua ya, kok belum ambil barang-barang di kantor, sih?" dia membuka chat di grup.

Hening.

Ulfah pasti lagi mengurusi pembeli masker.

Lovina? Mungkin nonton Netflix. Tuh anak mah dipecat atau kagak, enggak ngaruh. Wong, bapake wong sugih! Kerja mah cuma formalitas, biar ada rutinitas, dan bisa pakai fasilitas mobil dari bapake. Soalnya bapake hanya mau membelikan Lovina mobil jika dia mau bekerja buat menimba pengalaman.

Lalu, kenapa Lovina sedih dipecat? Bisa kerja di kantor bapake dong? Gitu kan kalian berpikir?

Soalnya bapake itu petani beras organik yang berhasil. Enggak nyambung dengan lifestyle Lovina. Bapake tradisional banget. Tinggalnya juga bukan di Jakarta, tapi di Jawa Timur. Lovina pernah memperlihatkan foto bapake di tengah tumpukan karung beras. Ampun, enggak bisa dibedakan mana bos, mana buruh. Serupa. Penampilan bapake enggak ada bedanya. Kaos oblong kumuh yang sudah longgar bagian lehernya, celana pendek selutut, dan topi rotan butek.

Jangan salah, gitu-gitu tajir. Berasnya sudah diekspor. Wong bisa beli rumah di Jakarta untuk ditempati Lovina dan juga mobil. Lovina juga tiap bulan masih dapat kiriman uang. Maklumlah anak perempuan satu-satunya. Benar-benar bekerja hanya status bagi Lovina. Hilang pekerjaan berarti hilang status prestise sebagai karyawan di perusahaan elite dan kawasan elite.

Tajir tapi kenapa kalau ultah sukanya patungan sama Ulfah untuk traktir teman sekantor? Ssstt... alasan Lovina sih dia mau low profile, yang tahu dia anak seorang pengusaha beras organik ya hanya Aurelia, Ulfah, dan Ali.

Ali? Hmm... kayaknya laki-laki ini masih syok dengan kegesitan Ulfah yang langsung beralih kuadran menjadi entrepreneur. Keluarga Ali semuanya orang kantoran. Jadi anak buah orang, kerja sama orang lain. Bapak dan kakaknya pernah usaha kecil-kecilan, tapi begitu menemukan jalan buntu, mereka cepat menyerah dan memilih jadi orang kantoran saja.

Sekarang Ali kelabakan. Mau melamar kerja, situasi lagi begini. Mau usaha, dia tidak siap dengan risiko kehilangan modal aka uang pesangonnya jika ada kerugian. Apalagi dia pengusaha pemula.

"Ah biarin aja, males barang-barang gue cuma gitu-gitu aja, bisa beli lagi," sahut Lovina.

Shombong amat!

"Bukan masalah beli lagi, tapi kita kan kudu beresin meja kerja dan locker kita. Lalu ada dokumen yang harus ditandatangani," jelas Aurelia.

"Males ah, ntar deh gue telepon Pak Mamad, biar dia beresin meja dan locker gue, kalau ada barang-barang yang masih berguna, bisa dia bawa pulang," Lovina menyebut nama OB di kantor.

"Lah, lo enggak tanda tangan dong?" ini masih Aurelia. Auk tuh Ulfah dan Ali belum nongol.

"Lagiaan mereka ngapa enggak kirim imel aja sih, zaman serbavirtual gini. Bisa gue tanda tangan virtual. Tuh perusahaan juga mau beralih serba-online, eh udah deng, makanya kita dipecatin!" dendam membara rupanya ini anak!

"Ya etikanya enggak gitu kali, kan kita kudu pamitan juga sama Pak Alfian dan Julian."

"Pamitan? Hey, kita yang diusir ye!"

Lah, napa Lovina jadi emosi begini ya? Kemarin sedih, sekarang kok ngamuk?

"Ntar kalau enggak tanda tangan, pesangon lo ga keluaaaar,"

"Biariiin, enggak seberapa. Bokap gue bisa kasih lebih dari itu!"

Bah. Susah ngomong kalau Lovina lagi enggak waras begini.

"Gue enggak sangguuuup lihat kantor, gue sedih!"

Nah, Ali nongol, tuh.

"Jiah Li, kemarin lo nyemangatin kita, kok sekarang melempem?"

"Enggak tauuuu, pokoknya gue lagi sediiiih... merasa enggak guna! Gue pengangguran sekaraaaang...."

"Eit... sorry...sorry... hectic nih, gue baru kelar nge-pack-in barang. Ayo kapan mau ke kantor? Besok yuk?" tahu kan ini siapa?

Akhirnya Ulfah dan Aurelia, dan... setengah memaksa Ali, besok akan ke kantor bareng. Lovina? Auk deh.... biar dia memutuskan sendiri.

Hadeeeh, urusan David belum kelar inih!

Help!

"Joooook... David belum jawab telepon gue, WA gue juga dianggurin, hiks... kok jahat sih dia?!" serbu Aurelia begitu Joko menjawab teleponnya.

"Sabar, Rel... David masih sedih kali. Lo tau sendiri pekerjaan itu penting bagi dia. Harga dirinya, jiwa-raganya buat pekerjaan itu."

Sabar sampai kapan?

Aurelia enggak tahan. Dia berondong David dengan pesan WA, bahkan DM Instagramnya, inbox Facebooknya, dan email-nya. Dia teror dengan isi pesan yang sama. Dia minta David mengontaknya. Mereka bisa menghadapi ini bersama. Romantis, bukan?

Aurelia jadi melupakan kesedihannya sendiri karena memikirkan kesedihan David. Sebenarnya dia sedikit kecewa dengan kekecewaan yang David rasakan. David agak lebay enggak sih? Tahu siii... pekerjaan penting bagi lelaki. Tapi masa menghadapi ujian dipecat sampai kayak begini. Apalagi David masih single, belum ada tanggungan keluarga. Masih muda, jalannya masih panjang.

Bagaimana kalau jadi suami nanti? Ada istri dan anak, lalu misalnya dipecat?

O..o... dia calon suami lu Rel, gini sifatnya... satu misteri terkuak lagi tentang karakter David. Siap?

Siaplah, wong dia cinta!

Makan tuh cinta!

Dia teringat curhatan temannya yang diambang perceraian.

Cinta saja enggak cukup untuk membuat sebuah pernikahan bertahan. Begitu katanya.

Kurang lengket apa dulu Atik dan Atok. Eh, ini kebetulan saja nama panggilan mereka mirip ya, nah, harusnya jodoh dong? Iya benar, jodoh kok, tapi hanya empat tahun. Mereka dulu bak amplop sama prangko, enggak bisa lepas. Nah lo, anak-anak milenial dan Gen Z ngerti kan apa itu prangko? Secaraaa sekarang kirim dokumen dalam amplop juga enggak pakai prangko.

Yah, intinya gitu deh.

Lah, kok jadi ngomongin Atik dan Atok sih. Enggak fokus nih cerita.

Balik ke Aurelia!

Blub!

Bagai kesetanan Aurelia menghampiri HP-nya yang tergeletak di atas meja. Itu bunyi khas yang sengaja dia pasang jika pesan japri dari David tiba.

Blub!

Blub!

Blub!

Blub!

Blub!

Nah lo banyak amat!

Aurelia jadi panik kan.... David mengetik apa sih?

Akhirnya dijangkaunya juga HP itu. Dengan segera dia menekan tombol power sedetik untuk mengaktifkan layar.

Bleb... bleb... low bat, layar HP gelap.

Halah, drama amat sih?

Dia langsung mencari charger HP. Tuh, kalau sudah begini serba nge-blank. Di mana pula charger-nya itu? Dia ubek-ubek laci, cari di atas meja, di kasur, enggak ada!

Ada kali lima belas menit dia mencari charger HP. Halah, mesti pinjam charger kakaknya kalau begini mah.

Tapi kemudian dia rasanya mau teriak.

Jelas tuh charger enggak ada di laci, atas meja, atau atas kasur. Lah, masih kecolok di stop kontak!

Aarrgghhh....

Aurelia langsung mencolok ujung USB C kabel charger ke HP-nya dan menanti dengan sabar sampai daya cukup untuk membuat HP-nya menyala.

Nah! Sudah nyala tuh.

Buru-buru dia buka pesan dari David.

"Aku butuh fokus sama masalahku dulu,"

"Kamu udah tau dari Joko, kan?"

"Sorry, aku masih sedih banget dan marah! Mereka tega pecat aku padahal aku menghasilkan banyak di kantor. Ketimbang yang lain. Tapi aku yang dipecat. Aku masih kecewa."

"Tolong ngerti aku, Rel. Bagiku pekerjaan ini adalah segalanya. Tanpa pekerjaan ini I'am nothing!"

"Sepertinya aku butuh break sejenak dari hubungan kita. Percuma juga, aku pengangguran."

"Apa yang bisa dibanggakan dari cowok pengangguran?"

"Sorry, Rel."

"Ini bukan tentang kamu, tapi aku...."

"Aku butuh waktu sendiri."

"Tolong ngertiin aku. Kita break dulu ya."

Whaat?!

What the h*ll is this?

Kamu egois David! Cuma mikirin perasaan kamu. Perasaan aku bagaimana?!

Aurelia marah bukan kepalang.

Break sementara? Basi!

Sepertinya dia dan David akan physical distancing selamanya.

Hiks... jomlo lagi.

Sudah dipecat, jomlo pula!

Sudah layak dapat bansos belum, neh?

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorYudha