[CERPEN-AN] Apa yang Orang Lain Katakan

Mampukah aku terus mendengarkannya?

Aku mengatakan dengan bangga pada diriku sendiri bahwa aku adalah orang dengan karakter yang unik. Aku berbeda dari kebanyakan teman perempuanku dan aku sangat bangga karena tidak bersikap seperti mereka.

Hanya sedikit gambaran diriku di masa lalu. Kepercayaan diri yang berujung idealisme pribadi menjadikanku bahan tertawaan orang lain. Dalam banyak hal, ternyata aku sangatlah tidak realistis.

Semenjak masuk kuliah, aku mulai merasa harga diriku rendah. Saat bertemu teman-teman perempuan yang dulu kuanggap manja dan berlebihan dari sisi idealisme ku, sekarang berbalik menginjak-injak idealisme ku sampai aku meragukan diriku sendiri. 

"Lihat Cella! Wah, penampilannya selalu membuatku terheran." Seru teman dekatku, Eci. 

Aku hanya mengangguk. Yah, dia cantik dan apapun yang dikenakannya akan selalu terlihat bagus.

"Tidak mau mencoba make up ke kampus?" 

Jika aku memakai seragam SMA milikku, aku akan dengan percaya diri mengatakan tidak. Namun, aku berdiri menatap langit-langit yang memberitahu usiaku tidaklah remaja lagi. Jadi, aku tidak berusaha mengatakan tidak ataupun menyetujuinya.

Aku takut menghadapi komentar mereka. Sejujurnya, aku sangat menyukai diriku yang apa adanya, tanpa make up yang menutupi wajahku. Aku sudah terbiasa menjadi bahan ejekan teman perempuan atau laki-laki di angkatan. Mereka mengatakan perempuan harus pandai mempercantik diri. Aku justru berpikir berbeda. Tidak salah mempercantik diri, tapi bagiku yang terpenting adalah memperkaya diri sendiri. Aku harus mampu belajar dengan baik dan menamatkan masa studi ku di kampus lalu melakukan suatu perubahan untuk diriku, keluargaku, dan negaraku lewat pekerjaanku nantinya. 

Setahun pun berlalu. Aku mulai lelah mendengar omongan mereka. Aku juga semakin sadar jika kita juga akan semakin dihargai apabila berpenampilan baik. Aku pun mulai belajar merias wajah dan memperbaiki penampilanku selama setengah tahun berjalan.

"Hei, udah dengar belum? Cella digosipin yang tidak-tidak oleh Ray, mantan pacarnya."

Aku hanya menatap Cella yang berjalan cepat keluar dari lobby kampus dan Eci yang semakin bersemangat menceritakan gosip yang belum tentu benar itu. 

"Kau percaya apa kata mereka?" Tanyaku pada Eci sambil berjalan dengan membawa buku yang berat di tangan kami.

"Aku mendengar para senior membicarakannya juga. Jadi, aku yakin itu benar."

Aku menghela napas pendek seakan tahu apa yang akan terjadi. Di awal semester ketiga, saat aku mulai datang dengan riasan tipis di wajah dan baju yang lebih feminim dari baju yang biasa kukenakan, orang-orang saling berbisik dan terus berbisik sambil tersenyum kepadaku. Eci memberitahuku dengan wajah kesal saat semua orang berpikir aku berubah karena jatuh cinta pada seorang senior. Beberapa menyebarkan kabar kalau aku menjadi selingkuhan seseorang atau perusak hubungan orang lain. 

Tatapan mata penuh hinaan dan curiga. Bagi mereka mustahil seseorang yang tampil tomboy berubah menjadi feminin tanpa alasan. Alasan yang mereka yakini adalah jatuh cinta. Sepenuhnya merupakan pernyataan yang tidak bisa aku salahkan. Cinta memang mengubah seseorang. Mengubah menjadi baik atau buruk. Namun, aku bersumpah bahwa tujuanku merias dan memperbaiki penampilan karena aku menyadari hal yang dianggap penting oleh masyarakat kita. Aku juga lelah merasa rendah diri karena dianggap tidak cantik dan tidak pandai merawat diri. Rasanya hampir seperti dihina karena kelebihan berat badan.

Setahun berlalu lagi. Sekarang, aku adalah senior tahun ketiga. Aku mulai merenung lagi saat menghadiri orientasi mahasiswa baru sebagai panitia. Aku melihat wajah polos mahasiswa baru yang sangat kagum pada senior mereka. Mereka pasti melirik kakak senior yang ganteng dan cantik. 

Aku mulai diterima oleh angkatanku dan berbaur dengan mereka. Aku sudah tidak mendengar selentingan tentang penampilanku dan soal masalah percintaan khayalan yang melibatkan diriku. Sedikit banyak, Cella membuat semua orang melupakannya dan beralih membahas dirinya. 

Cella masih kuliah seperti biasa walaupun tidak menjadi pusat kekaguman orang lain seperti saat menjadi mahasiswa baru. Aku merasa kasihan padanya namun tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak bisa menanyakan padanya apakah benar dia berpacaran dengan orang lain saat dia sedang punya status dengan Ray. Aku sungguh berpikir itu bukan urusanku. Ray juga bukan teman dekatku. Kami hanya pernah bertegur sapa sebanyak tiga kali.

Aku memilih mengabaikannya.

Tak terasa waktu berlalu cepat dan akhirnya aku berjuang untuk menyelesaikan skripsi dan lulus dari kampus. Oh ya, ada seorang senior yang menyukaiku sekarang. Aneh rasanya. Tetapi aku memutuskan untuk tetap pada idealisme ku yang sekarang lebih fleksibel. Aku tidak punya waktu untuk mengurus perasaan orang lain. 

"Kenapa kau tolak sih? Lihat, orang-orang sekarang membicarakanmu. Katanya kau sok cantik atau apalah. Benar-benar menyebalkan."

Eci tidak dapat menahan kekesalannya. Aku hanya memasang wajah tidak peduli karena aku sungguh tidak peduli lagi. Lalu, hari itu, aku melihat Cella dan segerombolan perempuan yang kukenali sebagai seniorku yang belum lulus di akhir tahun ke empat mereka.

"Dasar wanita murahan!" Teriak salah seorang dari mereka. Cella hanya diam dan terduduk di tanah. 

"Berani sekali dia menghubungi Ray. Kau tidak tahu, dia sekarang pacar adikku."

"Gosip waktu itu ada benarnya juga." Seorang dari mereka melihatnya dengan pandangan jijik sambil memberikan botol air minum pada senior yang marah itu.

Aku terbelalak. Terkejut. Aku mendesak Eci untuk ikut dengan ku menghentikan mereka. Tapi Eci tidak mampu bergerak karena takut. Jadi, kupustuskan bergerak sendirian.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Hentikan." Teriakku. Aku tidak ingat bagaimana wajah yang kutunjukkan pada mereka saat itu. Biasanya, aku menunjukkan wajah ramah yang tidak tulus agar terhindar dari segala jenis konflik yang berhubungan dengan senior.

"Jangan ikut campur urusanku." Balas senior itu sambil melemparkan botol minum kosong kepadaku. 

Aku tidak mau menyingkir dan mendekap Cella. Aku seakan mendapat kekuatan untuk melindunginya. Pada akhirnya, aku menyerah dan jujur pada diriku sendiri. Aku sungguh menyesal karena mengabaikannya saat aku tahu rasanya jadi bahan pembicaraan orang lain. Seharusnya, aku tidak mengabaikan Cella dan mengabaikan semua perkataan omong kosong yang ditujukan padaku.

Mereka lalu menjambak rambutku dan menyiramku dengan air hingga beberapa orang datang menghentikan mereka dengan paksa. Eci menangis melihatku dan Cella. Aku merasa berterima kasih karena dia memanggil teman-teman seangkatan ku yang membela kami dari para senior yang tidak masuk akal itu. 

Kemudian aku meminta agar mereka semua meninggalkan aku dan Cella. Ada yang ingin kukatakan padanya. Aku ingin minta maaf.

"Mereka berhasil mencakar wajahmu." 

Cella tersenyum pahit. "Mereka hanya percaya pada apa yang mereka dengar."

"Menurutku juga begitu. Bagaimana bisa seseorang berubah tidak manusiawi karena masalah cinta." Ucapku sambil menggelengkan kepala. "Jadi, kau tidak mau membela diri?"

Cella menggelengkan kepalanya. "Percuma. Kebanyakan orang lebih suka gosip daripada fakta."

Aku tahu itu benar. What people say

"Aku ingin minta maaf."

Cella menatapku sekilas. "Maaf?"

"Di awal semester, aku tampil tomboy dan dibandingkan denganmu. Aku tidak suka make up karena lebih menyukai diriku yang apa adanya. Orang-orang mulai berbicara tentangku dan sedikit banyak aku jadi sadar bahwa kita dituntut untuk berpenampilan menarik demi dihargai oleh orang lain. Tahun kedua, saat orang mulai membicarakanmu, aku tidak percaya apa kata mereka dan hanya melihatmu berjalan melewatiku. Aku lega karena mereka berhenti mengarang cerita tentangku dan perubahan penampilanku yang semakin feminim. Tahun ketiga, orang tetap membicarakanmu dan harusnya saat itu aku menghentikan Ray. Dan sekarang, aku menyesal karena semua itu. Aku minta maaf karena mengabaikanmu."

Cella terdiam dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. Lalu, ia tertawa sambil menangis. Aku kebinggungan melihat reaksinya.

"Terima kasih." Cella tersenyum. "Rasanya menyenangkan karena ada yang peduli padaku. Maaf juga karena membuatmu terlibat masalahku hari ini."

"Kuharap kau bersabar karena waktu akan menyembuhkan luka kita yang tidak terlihat." 

Cella tertawa lagi mendengar perumpamaanku. 

"Hidup memang aneh ya." Ujarku. "Setelah ku renungkan, kita jadi seperti ini karena omongan orang lain. Orang lain yang mengatakan hal buruk tentang kita dan orang lain yang percaya pada mereka yang mengatakannya."

"Dimata orang lain kita bisa jadi benar atau salah. Selalu berubah dan tidak akan berakhir."

Aku setuju dengan Cella.

"Menurutku, di kehidupan yang singkat ini, kita sebaiknya mencoba memahami orang lain terlebih dahulu tanpa prasangka dan tindakan kasar."

Sejak saat itu, aku dan Cella berteman baik. Cella menceritakan padaku kenapa ia putus dengan Ray dan aku membela Cella terhadap tuduhan tidak benar yang diarahkan padanya. Perlahan, orang mulai melupakan masa itu dan menjalani kehidupan mereka sendiri. Luka yang aku dapat dan juga Cella dapatkan tidak hilang begitu saja. Namun, kami berjanji untuk tidak memperlakukan orang lain seperti kami diperlakukan dulu.

Kami akan berusaha mendukung orang lain yang melewati masa sulit mereka karena apa yang dikatakan orang lain kepada mereka. Semua orang berhak bahagia tanpa omong kosong orang lain.

 

Medan, 21 April 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Air Mata Bahagia

Mega Leoni Photo Writer Mega Leoni

Berminat pada sisi psikologi dari kehidupan manusia.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya