[Cerbung] Tikus-tikus Rumah (01)

Jika bisa, aku ingin kembali ke masa lalu

Aku tersentak begitu mendengar suara piring pecah. Satu kali, dua kali, tiga kali. Kenapa ribut sekali di siang bolong begini?

 

"Mau ke mana?" Boni bertanya dengan sebelah mata memicing, sementara yang lain menutup rapat. Dia tampak mengantuk berat setelah semalam mencari nafkah.

 

"Mau lihat ke bawah sebentar."

 

"Kenapa peduli sama urusan manusia?"

 

Aku tak memedulikan Boni yang tengah tidur di samping Tigo, salah satu putra kami yang lahir sebulan lalu. Melihatku bersikeras ingin menengok situasi di bawah, Boni tak lagi peduli dan memilih kembali tidur.

 

"Nggak ada, Mas. Nggak ada..." Kulihat Siti menangis sembari terduduk di tanah. Sementara pria di hadapannya tampak sibuk mengacak-acak isi lemari. Seluruh pakaian dibuang begitu saja.

 

"Kamu pikir aku nggak tau? Kemarin kamu baru aja pinjam uang dari Emak."

 

Ah, seketika aku teringat dengan pembicaraan Siti dan Agus kemarin malam. Agus, putra tunggalnya itu merengek tak mau sekolah, karena sudah menunggak uang bulanan selama lima bulan terakhir. Pada akhirnya, Siti harus meminjam uang pada ibu mertua.

 

Warto, pria yang lebih mirip preman pasar itu, tampak menarik lengan Siti. Bertanya sekali lagi tentang keberadaan uang yang dirasa adalah miliknya.

 

"Sudah aku bilang. Aku bayarkan uang itu untuk tunggakan Agus."

 

"Mana bisa aku percaya sama mulutmu itu?" sentak Warto mendorong tubuh kurus Siti menabrak dinding. Kemudian tanpa segan, menampar pipi kanan wanita itu sebanyak dua kali, hingga kemudian roboh tak berdaya. Aku sampai ngeri melihatnya. Dasar pria biadab!

 

Aku berlari turun melalui batang kayu penyangga rumah. Kemudian membuat keributan untuk mengalihkan situasi. Namun sepertinya percuma. Kehadiranku kali ini sama sekali tak digubris. Kulihat Warto meninggalkan Siti dengan wajah dan tubuh babak belur.

 

Dulu, sebelum aku dan Boni datang ke rumah ini, kami sempat melihat Warto berada di meja judi. Bersama segerombolan pria lain seusianya. Bermain kartu dengan taruhan setumpuk uang. Kebiasaannya itu masih berlanjut sampai sekarang. Tidak heran memang, judi tak ubahnya narkoba; menjadi candu sampai ajal tiba. Harus ada yang mampu menghentikan sebelum malaikat pencabut nyawa mendatanginya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

 

Suara seseorang masuk rumah, membuat Siti bangkit dan mengunci kamar. Dia tampak sedang mengatur napas untuk bersiap-siap bicara jika diperlukan.

 

"Ibu? Ibu ada di dalam? Kok aku salam nggak dijawab?"

 

Benar dugaanku. Agus baru saja pulang dari sekolah. Sama sepertiku, tampaknya dia begitu terkejut melihat kekacauan ini.

 

"Ikan asinnya di meja makan, ibu tutupin cobek. Kamu makan duluan aja, ibu lagi nggak enak badan."

 

Mungkin Siti kira Agus akan percaya. Padahal dia tahu kalau putranya itu sudah kelas empat SD.

 

"Iya, Bu."

 

Aku berjalan keluar melalui lubang dari tanah yang Boni gali di bawah dinding retak. Menghubungkanku ke ruang tengah, pemisah antara kamar Agus dan orangtuanya.

 

Kulihat Agus mengganti seragam dengan kaos hijau bergambar kartun yang sudah memudar. Dia kemudian berjalan ke arah dapur dan mendapati kekacauan yang bapaknya buat. Berdiri termangu sebentar, lalu mengambil sapu untuk membereskan pecahan beling yang berserakan.

 

Tidak butuh waktu lama bagi Agus untuk tahu bahwa ikan asin yang ibunya maksud sudah tergeletak di tanah. Cobek yang digunakan untuk menutupi itu pecah, sementara yang selamat hanya piring plastik yang dipakai sebagai alas.

 

Agus meraih piring plastik itu, memungut ikan asin kemudian membersihkannya dari debu. Perlahan Agus menambahkan nasi, lalu duduk di meja makan. Dalam lahapan ketiga, bocah laki-laki itu tampak menangis sesenggukan.

 

Sebelum ikut menangis meratapi nasibnya, aku memutuskan naik ke atas. Di sana, kulihat Boni juga memperhatikan Agus yang sedang makan.

 

Kami memang tinggal di rumah kumuh ini, tapi untuk makan sehari-hari kami tidak mengambil dari sini. Melainkan dari tetangga sebelah, dari keluarga kaya pemilik rumah bertingkat.

Baca Juga: [CERPEN] Kisah Secangkir Latte Art: Kau Mengalihkan Duniaku

Nur Dik Yah Photo Writer Nur Dik Yah

Just Fiction! Kita, dan segala cerita yang ada. Follow instagram @dikyahnur

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya