Kamu Ingat Bagaimana Rasanya Di Dalam Kandungan Ibumu? Resapi Kisahku Ini

“IBUK”, mendengar namamu saja hatiku langsung bergetar...

“Ibuk”, wanita pilihan Tuhan untuk kutaati, kuhormati, kusayangi, sepenuh-penuhnya hatiku. Dari Tuhan, untuk aku, kembali kepada Tuhan. Ibuk, betapa tak berdayanya aku tanpamu. Sembilan belas tahun yang lalu aku lahir dari rahimmu, kala itu aku masih berada di alam kandungan, tepatnya di kandunganmu. Aku tak tahu bagaimana tepatnya aku kala itu, aku sama sekali tak ingat bagaimana rasanya berada di dalam kandunganmu, dan aku amat sangat  ingin memiliki ingatan kala aku dalam kandunganmu.

Namun sembilan belas tahun yang lalu, dirimu begitu ingat bagaimana rasanya mengandungku. Setahuku tentang mengandung dari orang-orang, mengandung itu ada sakitnya, ada susahnya, ada pula bahagianya. Kata orang, orang yang sedang hamil sering mual. Makan ini mual, makan itu mual, belum lagi kalau ngidam nggak keturutan. Ada bau yang nggak enak mual, ada bau yang terlalu wangi mual.

Pernah aku bertanya kepada ibuk “Buk, dulu ibuk sering mual ya waktu ngandung aku?” dengan santai ibuk menjawab “enggak lah, itu kan buat ibu-ibu yang alay, ibuk ya nggak pernah muntah nduk, makan apa-apa doyan”. Dari sini aku melihat, betapa kuatnya ibukku melawan segala mitos tentang mual untuk orang yang sedang hamil. Tapi disisi lain aku berpikir, apa memang betul ibuk tidak pernah mual? Apa ini sifat ibuk? melupakan segala rasa sakit ketika mengandung. Lupa atau pura-pura lupa atau ikhlas karena bahagia atas kelahiran anaknya?

Pernah lagi aku bertanya kepada ibku “buk, mbak ana kok bedrest terus ya selama hamil. Ibuk dulu juga bedrest terus ya?”, dengan santai dan lancar ibuk menjawab “enggaklah nduk, kalau ibuk bedrest ibuk dapet uang darimana. Dulu waktu hamil kamu, kalau berangkat kerja ibuk jalan kaki, tau kan jaraknya kantor ibuk dari pos barat ke kantor? Ibuk lo juga sehat-sehat aja waktu ngandung kamu”. Disini aku tercengang betapa tak kecilnya perjuangan ibuku kala itu.

Aku tahu sendiri jarak yang ditempuh ibuk untuk menuju kantornya dengan berjalan kaki. Tidaklah dekat. Disini aku mengerti, ibuk bukanlah wanita yang manja. Dia kuat, dia berdiri dengan kekuatan yang dimilikinya. Dia bertahan dari segala terpaan, tak peduli angin apa yang menerpanya. Dia akan selalu berdiri tegak tanpa menampakkan bebannya.

“IBUK”, aku sadar betapa tak adilnya hidup ini jika aku bermalas-malasan di tanah rantau sedang dikampung kau tumpahkan segala jiwa dan ragamu agar kiriman dan segala kebutuhan tetek bengekku tidak telat.

“IBUK” emas berapa karat yang mampu kuberikan agar segala jasamu untukku terbayar.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“IBUK” mendengar namamu saja hatiku langsung bergetar, air mataku tak terbendung, nanar lalu menetes deras.

Buk, pernah suatu hari aku melihat matamu memerah, menahan air dimatamu untuk keluar. Buk demi apa pun, aku tak sanggup melihatmu seperti itu. Hingga saat aku menulis ceritamu ini, aku tak sanggup menahan air mataku.

Buk, semua tentang perjuanganmu terjaga di ingatanku. Kelak dirimu akan menua, akan meninggalkan satu persatu ingatan dikepalamu. Dan saat itu aku akan mengisahkan cerita tentang “malaikat tak bersayap”, jika dirimu bertanya “dongeng dari mana?” aku menjawab “ibuku tersayang, itu bukan dongeng, malaikat itu benar adanya di bumi ini, diberi dengan cuma-cuma oleh Tuhan”. Jika memang dirimu masih tak mengerti, “malaikat tak bersayap, itu dirimu buk . . .ibuku sayang”.

Buk, malam itu mendekati pukul 00.00. Suhu tubuhku panas, demam tinggi. Malam itu ayah sedang tidak dirumah, kerja diluar kota. Dirumah hanya ada aku, ibuk, dan adik yang masih berumur 4 tahun. Aku sudah terlelap namun tiba-tiba ingin pipis, dirimu ikut terbangun lalu meletakkan punggung telapak tanganmu di keningku. Dirimu kaget, langsung keluar rumah, mencari obat.

Malam itu benar-benar gelap, motor atau sepeda tidak punya. Tanpa pikir panjang, dirimu melangkah mantap keluar rumah mencari toko. Menggedor-gedor toko tetangga untuk membeli obat. Kakimu yang begitu kokoh menerpa dinginnya udara malam, serta tekadmu yang tak tertandingi demi apapun. Setelah dapat obatnya dirimu menyuruhku meminumnya.

Esoknya, aku ingin makan soto ditambah telor utuh. “uangnya gak cukup rid” katamu. Aku hanya diam. Namun karena posisiku sedang demam. Bagimu uang bukan halangan untuk kesembuhanku. Lagi lagi dirimu jalan keluar, menempuh jarak satu kilometer ke warung soto.

Wes ndang di makan sotonya Rid, cepet sembuh” katamu.

Ridha Clasnita Photo Writer Ridha Clasnita

percaya proses, percaya Tuhan

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya