Andai Aku Punya Uang 10 Juta...

Andai saja aku punya uang 10 juta, mungkin kau takkan pergi dariku.

Waktu sudah menunjukkan lebih dari 11.30 ketika ponselku mendadak berbunyi. Kulihat nama penelepon dan sempat tercengang. Bukan karena peneleponnya, namun itu bukan waktu yang biasa baginya untuk menelepon. Ada yang penting?

“Halo...,” sapaku. Dan suara di ujung sana pun menjawab tak lama kemudian. “Halo, bisa minta tolong? Uang di rekeningmu nyampe 10 juta ga? Aku harus transfer segera, tapi limit rekeningku ga cukup, nih,” demikian balas suara di ujung sana.

Sesaat aku berpikir membayangkan jumlah yang sangat fantastis itu. Aku bisa menebak buat apa uang itu. Dia bukan orang lain, dan aku sangat mengenalnya. Tapi aku cuma bisa menjawab singkat. “Ga ada kalau sebanyak itu.”

Sesaat dia terdiam. “Baiklah kalau begitu,” jawabnya setelah itu. Kemudian dia berpamitan dan menutup telepon. Aku yang saat itu berada di tangga menuju pagar pun bergegas melanjutkan aktivitas. Sudah terlalu terlambat menuju ke kantor. Dan aku harus bergegas. Aku berjalan cepat dan tak pernah membayangkan bahwa badai akan datang.

***

Entah kenapa seharian ini dia begitu sulit dihubungi. Antara kesal dan bertanya-tanya aku berkali-kali mengecek ponsel. Bahkan ucapan selamat pagiku tak ada balasan darinya. Tidak biasanya. Dia selalu menyuruhku membalas pesannya dengan cepat, dan aku selalu berusaha melakukannya. Tapi ada apa dengannya hari ini? Aku sempat mengirimkan pesan mengatakan jumlah uang di rekeningku, siapa tahu dia memang butuh bantuan, namun berjam-jam pesan itu tak juga dibalas.

***

“Ya udah gapapa,” akhirnya dia membalas pesan itu berjam-jam setelah dikirim. Sontak aku menanggapinya dengan sigap. Kutanyakan sederet pertanyaan tentang ke mana dia pergi. Aku menanyakan berbagai hal dengan penuh selidik, dan yah, itu mengganggunya.

Akibatnya langsung kentara. Beberapa menit kemudian kami telah terlibat sebuah percakapan panas. Dia menanggapi dengan kesal sikap protektifku. Semuanya terjadi lagi. Kami selalu seperti itu. Kami selalu saling menyalahkan. Tapi aku hanya perempuan, apapun pertempurannya, aku tetap harus kalah.

Hari ini seharusnya dia pulang ke rumahku. Hari ini harusnya indah. Tapi pertengkaran kami kembali pecah setelah sekian lama. Maafkan aku yang tak bisa menahan emosi kali ini. Aku hanya khawatir, dan aku kesal saat kamu tak menyadari kekhawatiranku. Maafkan aku jika kali ini aku harus kembali melontarkan protes. Harusnya aku diam, harus aku menerima saja, harusnya... seperti maumu.

***

Pagi ini dia berisik sekali. Matahari belum juga muncul ketika dia bertanya jam berapa. Kujawab dengan mata setengah terpejam. Tak lama kemudian dia bergegas mandi, aku tahu walaupun tak membuka mata. Aku tak berpikir buruk, mungkin dia ingin menikmati pagi ini lebih lama bersamaku. Aku pun berusaha membuka mata, kulakukan apa yang bisa kukerjakan di pagi itu, menyelesaikan pekerjaan yang bisa kuselesaikan, agar bisa menemaninya lebih lama.

“Aku mau pergi. Nganterin uang. Kemarin limitnya ga cukup, jadi barang belum diambil. Aku mau ambil habis ini, sekalian antar sisa pembayaran,” ungkapnya membuatku tercengang.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kenapa ga nanti aja sih?” tanyaku tidak percaya. “Ga bisa, nanti siang orangnya ada urusan lain,” jawabnya, dan aku pun berusaha tak bertanya. Ada rasa kecewa muncul saat mengantarkannya keluar pagar. Tapi dia memelukku, dan berjanji akan kembali saat makan siang. Membuatku sedikit tenang.

***

“Ke mana lagi dia? Lagi-lagi tak ada kabar? Apa dia tidak merasa bersalah telah meninggalkanku pagi tadi? Dan sekarang dia tak memberikan kabar apapun?” batinku kesal. Dia bahkan tak memberikan update apapun soal makan siang bersama.

“Kamu masih sibuk banget ya?” demikian pesan singkat yang kukirim setelah waktu hampir menunjukkan pukul 2 siang. Lama pesan itu tak dibalas.

“Sedang sortir,” jawabnya singkat setelah lebih dari setengah jam kemudian. Entah kenapa jawabannya yang cuek itu benar-benar memicu emosiku.

Kami memang bukan pasangan yang akur. Hubungan kami sakit sejak awal. Aku benci dengan sikap temperamennya. Dia pun membenciku karena banyak hal. Dia menganggapku tak menghargainya. Kami bertengkar sepanjang waktu, dan masalah tak pernah terselesaikan. Tapi kami telah bersama cukup lama. Aku menyayanginya, dan dia bilang dia menyayangiku. Tapi kali ini emosinya benar-benar meledak.

***

Lagi-lagi kami duduk di sini, di toko swalayan tempat kami selalu membahas masalah kami. Aku semakin kesal dengan gaya cueknya, seperti biasa dia pun menanggapi kekhawatiranku dengan emosi. Kami pun bertengkar mulut lagi siang itu.

Aku hanya berharap dia tahu bahwa aku mengkhawatirkannya, berharap dia menghargai perhatianku padanya, berharap dia memberikan kata-kata manis untukku agar aku tenang. Aku hanya ingin tahu bahwa aku sangat menyayanginya. Namun hal itu tak pernah kudengar.

“Ya udah kita bubar saja lah, aku capek,” katanya singkat.

Aku sudah tahu kata itu akan terucap. Jiwa yang dikuasai emosi membuatku langsung mengiyakan. Sesaat kemudian, aku mendapati diriku sudah lari darinya. Dia tak menahanku. Aku berjalan dalam kemarahan

“Apakah ini akhir?” bisikku dalam hati. Di satu sisi aku sangat terpukul dengan keputusannya, namun aku lega karena mungkin aku takkan menangis lagi setelah ini. Aku sangat menyayanginya, andai dia tahu. Namun entahlah, semuanya campur aduk. Aku hanya ingin merenung.

Sesaat kemudian, berbagai pikiran muncul. Aku membayangkan suramnya hidup tanpa pelukannya. Andai dia tahu bahwa tak sekalipun aku bisa membiarkan dia merasakan sakit. Andai dia tahu betapa dia berarti untukku saat ini. Andai dia tahu perasaanku saat tenggelam dalam pelukannya. Kuakui, tak ada rumah yang lebih nyaman daripada pelukannya.

Tak ada perpisahan yang indah, sekalipun hubungan itu sangat menyakitkan. Aku marah tapi masih berharap dia kembali. Aku mulai memikirkan masalah kami, aku tak ingin menangis. Kami tahu hari ini akan datang, entah dia atau aku yang mengucapkan. Namun aku tak mengira akan sesakit ini. Sejurus kemudian, aku hanya mendesah putus asa ‘Andai saja aku punya uang 10 juta... Mungkin kau takkan pergi dariku hari ini’.

Riris Permatasari Photo Writer Riris Permatasari

Penulis, editor, penerjemah, dan pemerhati sosial-budaya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya