[NOVEL] Kisah untuk Dinda - BAB 3

Penulis: Erisca Febriani

3. You are CSS to My HTML

 

Seseorang pernah bilang bahwa untuk mengetahui karakter asli seseorang, bisa lihat dari bagaimana caranya membicarakan orang lain. Dinda jadi mengetahui bagaimana sifat asli Iren. Sesuatu yang paling kejam dan mematikan adalah kata-kata, dia bisa menjelma menjadi penyemangat di kala rasanya seseorang sedang berjuang, atau justru pedang mematikan yang membunuh hingga tak berdaya. Padahal Dinda masih berusaha untuk menyatukan mimpi-mimpinya, tapi semesta seolah berkonspirasi untuk terus menjatuhkannya berkali-kali, menyuruhnya untuk menyerah dengan mimpi sendiri. Dia sedang menunggu kereta di peron, tujuannya hanya satu. Dia ingin ke tempat Geri sekaligus meminta penjelasan. Menempuh perjalanan hampir dua jam, di tengah kota Jakarta yang macet dan cuaca panas, Dinda akhirnya sampai di depan kantor Geri.

Gedung yang berdiri kokoh seolah mengintimidasi, menampar Dinda dengan sebuah realitas bahwa mereka berdua hidup di dua dunia berbeda. Geri yang sudah sukses akan pencapaian dan mimpinya, serta Dinda yang masih terus mengayuh untuk bisa menemukan. Dia melangkah masuk, seorang resepsionis menyapanya, Dinda sudah beberapa kali datang. Mereka sudah mengenal Dinda dan status hubungannya dengan Geri.

"Geri ada di ruangan?"

"Ada, dia-"

Dinda tidak mau mengulur waktu, dia segera berjalan menuju ke lantai tiga dengan lift dan berjalan ke ruangan Geri. Cowok itu sedang berdiri melihat pemandangan di luar jendela, mendengar pintunya dibuka tanpa mengetuk, Geri berbalik dan terkejut melihat kedatangan Dinda. "Kamu ke sini nggak ngabarin aku?"

"Aku berhenti kerja di salon Lucy." Mendengar kabar itu, Geri berjalan mendekat.

"Kenapa? Ada masalah? Kamu ribut dengan Kak Iren?" Geri berniat menyentuh pipi Dinda, tapi segera ditepisnya.

"Serius, kamu nanya tentang ini? Masalahnya di kamu!" Dinda berteriak, Geri melirik ke belakang punggung. Takut kalau obrolannya didengar oleh karyawannya dan menimbulkan perbincangan. Dia menekan tombol hingga sebuah layar otomatis menutup jendela menjadi serba putih dan tidak terlihat dari luar.

"Maksudnya apa? Aku nggak ngerti."

"Aku selama ini percaya, bahwa aku bisa kerja di salon Lucy karena kemampuanku, aku yakin kalau Iren suka dengan kemampuanku ... ternyata aku salah. Aku kerja di sana, karena kamu yang minta! Kamu mohon ke Iren supaya aku senang, lalu setelah dua tahun bekerja, kamu akan menikahiku dan memintaku untuk berhenti. Kamu menyuruhku untuk menyerah sama mimpi-mimpiku? Kamu egois, Ger. Memangnya kamu pikir, yang berhak bermimpi itu hanya kamu? Apa karena aku anak seorang koruptor, aku nggak pantas mempunyai mimpi?" Kalimat itu mengalir keluar, tanpa jeda, tanpa aba-aba.

Geri terdiam.

"Apa kamu pikir kalau kamu seorang Pangeran yang datang dan menyelamatkanku, akan membuatku kaya raya dan hidup bahagia dengan menikah? Aku bukan Cinderella yang hidup dalam negeri dongeng. Aku hidup di dunia nyata, Ger, yang berhak punya mimpi dan kebahagiaanku itu seratus persen tanggung jawabku!"

"Bukan gitu maksud aku."

"Terus apa?"

"Aku tahu gimana keinginan kamu untuk bisa masuk ke salon Lucy, berkali-kali kamu bilang itu mimpi besar kamu. Makanya aku berusaha wujudin itu-"

"Dengan memohon ke Iren yang jelas-jelas nggak mau mempekerjakanku, karena menurutnya aku sama sekali nggak berbakat, bahkan kemampuanku buruk dibandingkan seluruh karyawannya, dan dia mempertanyakan, apa yang aku lakukan selama berkuliah. Apa aku betul-betul belajar karena kemampuanku sungguh memalukan di matanya!"

Geri mengesah, tidak membalas kata-kata Dinda.

"Kenapa nggak jawab? Karena itu semua benar?"

"Aku cuma mau bikin kamu senang!"

"Kenyataannya, nggak, Ger. Kamu justru menginjak-injak harga diriku, aku pikir satu-satunya orang yang bakal mendukung mimpiku dan mempercayai kemampuanku itu kamu. Ternyata aku salah."

Geri menghela napas panjang, rasanya kini kepalanya seolah mau pecah. Tumpukan pekerjaannya belum selesai, sudah ditambah dengan masalah baru. Dia memandang iris mata Dinda.

"Harusnya, kalau kamu bermimpi akan sesuatu, kamu berusaha wujudin itu ... bukan cuma berandai-andai. Orang lain di luar sana, berjuang mati-matian untuk mengasah kemampuannya. Mereka kurang tidur, mereka haus pengetahuan, mereka berkorban banyak hal. Sedangkan kamu, kamu cuma menggantungkan kemampuanmu dengan belajar selama tiga tahun di kampus dan merasa ahli di bidang itu. Kalau pola pikir kamu begitu, jangan salah kalau kamu jadi bahan tertawaan orang!" Geri balas menghardik Dinda, "dunia ini emang kejam, kalau kamu mau dunia ini baik ... kamu bakal kalah.

"Kamu bilang sedang berusaha meraih mimpi? Aku nggak lihat kamu berusaha dapatin itu, kamu ingin hebat di bidang tata rias, tapi kamu justru diam di toko bunga-yang penghasilannya sehari nggak cukup memenuhi kebutuhan kamu. Kamu kekeh mau mempertahankan itu, hanya karena kamu suka dengan bunga, bukannya fokus mengejar mimpi kamu! Siapa yang lucu di sini?"

Kaget dengan kata-kata itu, Geri tidak menyadari wajah Dinda sudah memucat pasi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Lima tahun aku berusaha untuk wujudin mimpi aku, kamu ingat kata-kata terakhirku sebelum berangkat ke Prancis? Aku nyuruh kamu tunggu aku, aku berusaha untuk jadi mapan, biar aku bisa memantaskan diri buat menikah sama kamu. Kamu alasan terbesar aku bisa berubah. Sekarang aku udah di sini, aku udah meraih hampir semua mimpi-mimpiku. Aku bahkan jadi ejekan teman-temanku dan Iren, karena aku udah sukses. Aku punya semuanya, tapi aku seolah pelit sama pacarku. Aku punya mobil mewah, perusahaan besar, tapi pacarku masih tinggal di rumah sewaan kecil, yang kalau hujan aku selalu khawatir atap rumah kamu bocor dan tiap minggu kerannya selalu rusak. Hal yang selalu bikin aku ngerasa bersalah, karena aku hidup nyaman, sedangkan pacarku bergulat sama kesusahan.

"Tiap kali aku mau nolong kamu, bahkan menyuruh kamu pindah di tempat lebih layak, kamu selalu menolak dan berdalih kalau kamu harus mandiri dan bisa sendiri. Kamu bilang nggak butuh bantuanku. Kamu selalu ejek aku yang malu pacaran sama anak koruptor, yang harus kamu tahu ... aku nggak peduli itu! Aku cuma malu punya pacar yang selalu bilang punya mimpi besar, tapi kata-katanya cuma di bibir, karena lima tahun kamu masih tinggal di rumah itu, dan kalau makan sehari-hari masih susah bahkan masih bergantung dari uang bulanan ibu kamu yang harus jadi TKW demi bisa memenuhi kebutuhan!"

Rasanya seperti disiram air keras. Dinda sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Geri akan mengucapkan kata-kata itu dengan telak. Keheningan melingkupi ruangan seperti dikungkung dalam sebuah tempat yang kedap suara. Dinda memandang Geri lama, cowok itu langsung berbalik, mengusap wajahnya-terlihat jelas dia merasa bersalah karena tidak bisa mengontrol diri dan unek-uneknya selama ini.

"Jadi selama ini kamu mikir begitu? Kenapa nggak bilang?"

"Geri berbalik. "Maaf, aku-"

"Kalau kamu bilang, aku bisa sadar lebih awal," Dinda tersenyum getir, "aku sadar kalau hubungan kita ini nggak cocok."

"Din, kamu ngomong apa, sih?"

Dinda melepaskan cincin tunangannya, meletakkan di meja. "Lebih baik kita selesai di sini. Kita emang nggak cocok, dari segala hal. Sekarang kamu bisa bebas, cari seseorang yang bisa mengimbangi kamu. Kamu yang sempurna dan berhasil, nggak pantas disandingkan sama cewek kayak aku. Hahaha! Ya ampun, aku terlalu percaya diri, ya?" Dinda menyeka air matanya hingga maskaranya luntur, dan pasti terlihat menyedihkan di hadapan Geri.

"Din, aku nggak bermaksud gitu."

Rasanya seperti ada batu besar yang menghantam kepala Dinda dan membuatnya kian tersadar bahwa ada tembok menghalangi mereka berdua. Namun, selama ini dia seolah tidak sadar atau justru berpura-pura buta. "Betul kata Kak Iren, nasib kamu buruk banget, sih! Harusnya pasanganmu itu model keren, atau pimpinan perusahaan yang pintar, bukan malah sama cewek yang punya toko bunga nggak laku dan tinggal di rumah kecil kayak gini." Dinda tertawa lagi, merasa ironi sekaligus getir akan kehidupannya sendiri. Mimpi dan dongeng indahnya telah berakhir, ternyata dirinya memang seperti Cinderella, yang harus kembali ke dunia nyata tepat di pukul dua belas malam setelah terlepas dari sepatu kaca.

"Aku nggak suka kamu ngomong gitu, aku cuma mau kamu berubah, bukan justru,"

"Aku pergi. Terima kasih buat semuanya, juga kata-katanya." Dinda bergegas pergi, dengan tubuh yang terasa lelah luar biasa.

Geri berniat untuk mengejarnya, tapi Bonita, sekretarisnya muncul. "Maaf, Pak, tapi sekarang ada rapat besar yang harus Bapak hadiri."

Cowok itu menghela napas berat, memandangi punggung Dinda yang kian menjauh. Kali ini, kantuknya hilang, berganti dengan rasa bersalah yang menyelubunginya secara penuh.

****

Dinda tidak tahu dia ada di mana. Dia hanya berjalan mengelilingi kota Jakarta, dari satu kereta ke kereta lain, hanya untuk mengobati hatinya yang remuk redam. Ponselnya sengaja dia matikan sejak tadi siang. Entah ada berapa banyak orang melihatnya, mungkin berpikir bahwa dia adalah seseorang yang menyedihkan sekaligus mengenaskan. Tepat pukul sepuluh malam, setelah lelah seharian berkelana, Dinda pulang. Dia membuka pintu rumahnya, terduduk lemas di ruang tengah dan baru sadar sejak tadi pagi dia belum makan apa-apa selain secangkir teh. Dinda melepaskan high heels-nya.

Kakinya memar dan terdapat luka di belakang kaki. Dinda menatap high heels-nya dengan muram. Dia menatap ke sekeliling rumahnya. Cat yang sudah mengelupas, atap terlihat kusam dan berjamur karena lembap akibat bocor. Sofa robek di tengah ruangan. Kecoak ikut mengintip dari balik lemari yang kacanya sudah pecah. Kehidupan memang sulit ditebak, lima tahun lalu, dia masih memiliki segalanya. Mudah sekali Tuhan menjungkirbalikkan dunianya tanpa persiapan.

Air mata Dinda luruh, setelah sekian lama berusaha tegar dan kuat. Akhirnya dia terpuruk juga. Dia menangis, meluruhkan seluruh topengnya setelah seharian berpura-pura, menjadi jujur di hadapan tembok dan kursi rumahnya sendiri. Kalimat Iren dan Geri secara bergantian mengambil alih isi kepalanya. Betul kata Geri, dunia ini memang kejam, semua orang hanya mementingkan dirinya sendiri. Satu-satunya yang bisa dipercayai sejak lahir hingga tiada hanya satu: diri sendiri.

Katanya, uang bukanlah masalah besar. Bagi mereka yang kaya raya, bisa berpikir begitu. Dulu pun sewaktu Dinda masih memiliki segalanya, pikirannya sama, tapi sekarang dia tidak bisa bilang demikian. Seseorang dipandang apabila memiliki uang, kalau tidak, maka akan diinjak-injak dianggap tidak berharga. Dinda masih ingat, dulu, semuanya terasa mudah. Apa pun yang dia inginkan pasti akan dia dapatkan, dengan kekayaan, dia memiliki begitu banyak kesempatan terbuka lebar. Orang mudah sekali membantunya melakukan apa pun. Tapi sekarang, bahkan menoleh ke arahnya pun tidak. Bahkan ketika Dinda berharap ada kesempatan tertuju untuknya, hal itu tidak pernah ada, hingga membuatnya malu untuk berharap. Karena sumber awal dari kekecewaan adalah memiliki pengharapan akan sesuatu.

Dinda kembali menatap muram kondisi rumahnya, Geri benar, dia selama ini begitu naif, memiliki mimpi tapi tidak percaya diri mewujudkannya. Tidak heran dia masih terperangkap di tempat ini, hidupnya seolah berjalan di tempat, tidak ada perubahan.

Gadis itu menghidupkan ponselnya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Geri dan sebuah pemberitahuan masuk dari Facebooknya, komentar baru. Dinda mengeklik pemberitahuan itu, ternyata seseorang berkomentar di pertanyaannya semula.

HTML itu bahasa untuk membuat sebuah website, berisi informasi supaya sebuah dokumen bisa ditampilkan di internet, sedangkan CSS untuk menentukan warna, font. Jadi bisa dibilang you are CSS to my HTML maknanya kurang lebih, "dengan hadirnya kamu, membuat kehidupanku sempurna dan lebih berwarna."

Membaca itu, tangis Dinda pecah. Menyadari bahwa beberapa jam lalu, dia masih mendapatkan sebuah pesan manis, dan kini situasinya telah berubah. Sejauh Matahari dan Pluto. Begitu berjarak dan sulit untuk dijangkau. Dinda melihat jas Geri tertinggal di sofanya, dia meraih benda itu, memeluknya erat sembari menghidu aromanya dalam-dalam. Berharap dengan itu, bisa mengobati kehadiran Geri di dekatnya.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Kisah untuk Dinda - BAB 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya