[CERPEN] Lelaki yang Menari

Mengapa lelaki itu menari? 

Seorang lelaki muda tampak berada di sudut tanah lapang. Dia merentangkan kedua tangan. Kedua kakinya menjejak tanah bergantian, berirama dan terus-menerus. Kedua matanya memejam seakan meresapi sesuatu yang begitu mendalam.


Lelaki itu berputar-putar membentuk lingkaran, sesekali meliukkan tubuh seakan menghindari sesuatu yang akan menghantamnya. Tetapi tak ada sesuatu yang melesat di sana. Hanya angin yang bertiup kencang yang menyibakkan rambut gondrong si lelaki.


“Siapa dia, Paman?” tanya Janu, duduk di kursi rotan di teras rumah Paman Haris. Kopi dan donat menemani mereka pagi itu.


Paman Haris menyeruput kopi.


“Bayu. Istri dan anaknya mati tiga bulan yang lalu, mati di hari yang sama. Angin puting beliung melanda kampung ini. Sebuah pohon tumbang menimpa rumah Bayu. Istri dan anaknya mati karenanya.”


“Oh, tragis sekali. Tentu Bayu sangat kehilangan.”


Paman Haris mengangguk.


“Setelah peristiwa itu, seperti yang kamu lihat sekarang, Bayu menari di sudut tanah lapang itu,” kata Paman Haris.


“Menari?”


“Ya, setidaknya itulah yang dikatakan orang-orang. Menari.”


Paman Haris menyulut sebatang rokok filter, lalu bercerita tentang Bayu. Bayu bekerja serabutan; mencangkul, menebang pohon, memetik kelapa, membetulkan genting, membuat sumur, dan apa saja yang bisa dikerjakan dengan tangan dan kakinya.


Bayu punya istri yang setia dan seorang anak perempuan berusia tiga tahun. Bayu kerap mengajak istri dan anaknya bermain ke tanah lapang itu. Tanah lapang itu seukuran lapangan voli, milik orang dari kampung lain. Rerumputannya tebal (rumput liar tentu saja), cocok untuk bermain anak-anak yang sedang belajar berjalan atau bersepeda, karena kalau jatuh tak akan sakit. Di sana, Bayu mengajari anaknya bersepeda atau bermain bola.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks


Pada orang-orang, Bayu mengungkapkan kelak anaknya akan menjadi pemain sepakbola wanita yang hebat. Tetapi impian Bayu sirna ketika puting beliung melanda. Istri dan anaknya tewas. Bayu histeris, menyalahkan dirinya.


Bayu mengutuk dirinya. Seharusnya dia tidak pergi ke sawah hari itu, seharusnya ia berada di rumah bersama istri dan anaknya. Seharusnya, seharusnya, seharusnya.....


“Lantas, mengapa Bayu menari di tanah lapang itu, Paman?”


“Itulah yang kami belum tahu. Bayu selalu diam bila kami tanya tentang tariannya. Bagi kami perilakunya aneh, tetapi lama-lama kami terbiasa,” kata Paman Haris, tersenyum pada Janu. “Nah, setelah melihat dan mengetahui tentang Bayu, apakah kamu mendapatkan ide cerita?”


Janu mengangkat bahu.


***

Semalam Janu telah merenung lalu memutuskan untuk membuat novel dengan karakter tokoh utama seperti Bayu. Janu akan menjalin hubungan lebih dekat dengan Bayu, untuk mengorek berbagai informasi darinya.


Bergegas, pagi itu, Janu berjalan menuju rumah orang tua Bayu. Ketika Janu melintas di dekat sudut tanah lapang, angin berembus menerpa wajahnya, hangat terasa. Dalam beberapa menit, dia sampai, tetapi rumah bercat hijau itu tampak sepi. Janu bertanya pada seorang wanita tua yang duduk di teras rumah lain.


“Bayu sudah berangkat, dibawa keluarganya, subuh tadi,” kata wanita tua itu.


“Berangkat? Ke mana?”


“Rumah sakit jiwa!”


***SELESAI***
Batang, 17 Agustus 2022

Baca Juga: [CERPEN] Pengemis Tua

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya