[CERPEN] Menjaring Matahari

Pandangan Nelayan Tua pada Laut akan dirinya

Khatulistiwa seolah berbicara pada langit kelabu, pergilah kamu karena angin laut akan segera memenuhi laut ini. Jernih membayang, seolah memberikan kenangan. Kenangan yang engkau simpan dalam kotak hartamu, kain dari istri yang tenggelam.

Laut yang engkau tinggal sangat tenang, layaknya menunggu sesuatu. Pasang-surutnya membawa keberuntungan, bagi kepiting dan manusia. Di antara sekian orang yang melaut, kamu adalah yang tertua. Kapalmu tidak besar dan tidak kecil, cukup untukmu dan kedua cucumu yang rajin.

"Apakah kakek selalu di sini?" kata cucumu yang lebih tua, sambil memperbaiki jaring.

"Ya, aku selalu di sini sepanjang yang aku ingat. Sejak pertama kali aku menyentuh air hingga setua ini," katamu sambil memegang kemudi.

"Apakah kakek akan terus di sini?" kata cucumu yang lebih muda, sambil membersihkan kabin.

"Ya, kurasa. Jika Tuhan berkehendak." pandanganmu meranah jauh ke khatulistiwa.

Mungkin pertanyaan ini selalu ditanyakan oleh kedua cucumu. Bukan hanya penasaran belaka, mereka juga khawatir kalau kamu tidak ingin lagi menginjak daratan. Kamu selalu berada di laut, hanya kedua cucumu yang ke daratan untuk mengisi perbekalan atau bahan bakar kapal. Kamu tidak pernah memasuki pelabuhan kecuali mengantarkan kedua cucumu pulang ke rumah orang tua mereka.

Anakmu yang mengelola perusahan pengalengan di daratan selalu mengambil ikan yang kamu tangkap di tengah laut. Walaupun begitu kerasnya kamu untuk hidup di laut, kamu tidak pernah mengeluh dan anak-anakmu tidak ingin pula menanyakannya. Mereka percaya padamu bahwa kamu akan kembali ke daratan suatu hari nanti.

Kamu melihat awan kelabu mendekat. Kamu menyuruh kedua cucumu untuk membersihkan peralatan yang berada diluar, dan segera masuk dalam kabin. Kamu tahu kalau badai akan segera datang.

Badai itu sama seperti dulu, deras dan ganas. Ingatanmu tentang istrimu mulai membayang, seolah kamu dapat melihatnya di antara badai besar itu.

Kamu seorang nelayan pinggir pantai yang kuat dan ulet. Setelah menikah, kamu selalu mengajak istrimu untuk mencintai lautan yang memberikan kalian berdua makan. Dia selalu menemaimu dengan kebaikan dan kasih sayang. Kalian berdua selalu melaut bersama, hingga tragedi itu terjadi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kamu membuka mata, sepertinya kamu telah pingsan beberapa jam yang lalu. Kedua cucumu merawatmu dan saling bergantian memegang kemudi. Setelah kepalamu membaik, kamu duduk sejenak melihat situasi. Cuaca mulai menerang, tampaknya kalian telah berhasil melewati badai.

"Apakah ada yang rusak?"

"Tidak, Kek. Hanya banyak sampah bertebaran di sekitar anjungan dan buritan kapal"

"Apakah mesinnya tidak ada yang rusak?"

"Tidak, Kek."

"Kalau begitu, hentikan semua mesin kapal. Kita akan membersihkan sisa-sisa yang ditinggalkan badai itu."

"Siap, Kek."

Kamu dan kedua cucumu membersihkan sisa-sisa badai dengan peralatan seadanya. Ranting, plastik, dan lain-lain. Sungguh, semakin kotor saja laut ini, pikirmu.

Ketika hari dimana kedua cucumu harus kembali ke daratan, kamu mendaratkan kapalmu ke pelabuhan. Ketika kedua cucumu telah berpamitan dan dijemput oleh orang tua mereka, kamu mulai kembali berlayar. Namun pikiranmu bukan hanya pelayaran ikan biasa.

"Aku akan menjadi penyapu laut. Jika sampah semakin sedikit, semakin banyak ikan yang datang. Aku akan menghabiskan sisa umurku untuk itu." Kamu bertekad ketika melihat ke khatulistiwa. Kemudian berlayar di bawah matahari dan rembulan, untuk air yang lebih bersih dan harapan yang lebih baik.

***

By tanganair

tanganair Photo Writer tanganair

Saya seorang seniman dan sastrawan eksperimental yang menyukai hal aneh dan berbanding terbalik.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya