Sketsa Sederhana tentang Hidup: Perjalanan Pulang Suharti

Dunia dari pandangan seorang tua yang terasing zaman.

Suharti baru saja selesai menyabit rumput liar di sebidang tanah kosong yang berada di tengah kota kecil. Ia mengumpulkan rumput-rumput itu. Menjejalnya menjadi sebuah tumpukan sebesar drum minyak. Suharti mengikatnya di bagian belakang sepedanya yang reot  dengan susah payah. Peluh menetes deras di kening keriputnya setelah sekian lama berkutat dengan parang dan rerumputan. Tangan tuanya gemetaran merapikan rumput itu pada sepedanya.

Matahari tengah terik dan Suharti hendak pulang. Untuk menaiki spedanya dengan muatan rumput sebesar itu, Suharti kepayahan. Ia menggiring sepedanya menuju jalanan. Suharti menjaga rumput di belakang sepedanya agar tidak berjatuhan. Ia menyusuri tepian jalan. Kendaraan bermotor tidak banyak berlalulalang waktu itu. Tetapi dua atau tiga polisi nampak sigap berjaga di tiap persimpangan jalan. Suharti mengusahakan agar sepedanya berjalan pada tepian aspal jalan. Sebab bagian jalan yang tak beraspal belum dijadikan terotoar, juga berlubang.

Suharti sampai pada perempatan jalan. Ada lampu merah di situ. Suharti pun berhenti. Di seberang jalan, dua orang polisi tengah berdiri mengamati kondisi laluintas. Suharti melihat ke polisi itu. Terlihat ada segerombolan anak-anak kecil berpeci hitam lewat di hadapan kedua polisi. Anak yang berada di barisan paling depan langsung menghampiri sang polisi dan menyalaminya dengan takzim. Anak-anak yang lain juga mencium tangan kedua polisi.

Di dekat tempat kedua polisi itu berdiri, ada baliho besar di sana. Baliho dengan tampilan dua orang polisi tersenyum mengenakan seragam dan helm. Dan lampu jalan berganti hijau. Suharti kembali menggiring sepeda reotnya.

Ketika ia hampir mencapai tengah jalan, tiba-tiba dari arah kanannya, ngebut rerombongan pengendara motor dan mobil dengan bendera berwarna dan bernomor yang berkibar-kibar. Mereka memotong jalan bagi pengendara yang baru saja berjalan. Suharti berada dekat sekali dengan rombongan itu. Mobil polisi yang mengawal rombongan itu sempat menyenggol bagian rumput Suharti. Klakson mobil dan motor turut membuat Suharti tua gegap dan terjatuh bersama sepeda. Rumputnya berserakan di sana.

Seorang lelaki pengandara mobil yang ikut berhenti, langsung mendekat ke Suharti. Lelaki itu berpakaian rapi dan necis. Lelaki itu membantu Suharti berdiri. Orang lain kemudian mengangkatkan sepeda Suharti sambil mengembalikan rumput yang tercecer itu ke atas sepedanya.

“Nenek tidak apa-apa?”, kata lelaki itu. Suharti agaknya masih linglung. Ia dapat mengamati bahwa rombongan kendaraan itu telah berlalu.

“Iya, tidak apa-apa.”, jawabnya lirih.

“Apakah tadi itu mobil polisi?” “Yah begitu. Mari saya bantu menyebrangi jalan, nek.” Lelaki itu memapahnya menyeberangi perempatan jalan.

“Apakah Bapak, polisi?”, kata Suharti.

“Bukan. Mereka disana yang berseragam di baliho, itulah polisi.”

“Terima kasih banyak.” Suharti lalu melanjutkan perjalanan pulangnya.

Akibat kejadian tadi, Suharti merasa begitu letih. Suharti menepi sejenak di bawah pohon mahoni pinggir jalan. Ia menyenderkan sepedanya dekat pohon. Ia membuka botol lusuh minumannya yang terselip dekat jok sepedanya. Suharti minum. Rumahnya masih jauh dari sana.

Ada beberapa pohon rindang di situ. Dan ada beberapa orang mengerumuni pohon yang tak jauh dengan pohon dimana Suharti beristirahat. Satu di antara mereka membawa tali, palu, dan paku. Yang lain mendekap beberapa batang bambu. Ada juga yang membawa beberapa lembar spanduk bergambar sesosok orang serta beberapa lembar stiker.

Setelah sekian lama, akhirnya orang-orang tadi sampai pada pohon tempat Suharti masih beristirahat. Suharti melihat mereka datang. Suharti dapat melihat spanduk bergambar itu. Suharti melihat gambar itu berlatar orang-orang kere seperti dirinya tengah berkumpul memegang kantong plastik. Seorang laki-laki necis tampil maksimal dalam spanduk itu. Di kiri dan atasnya ada kata-kata dan nomor berukuran besar.

“Ayo, pasang spaduk itu di situ”, kata salah seorang sambil menunjuk pohon yang dimaksud. Yang lain langsung bergegas. Lalu Suharti mendengar samar-samar obrolan dari orang-orang itu yang menyanjung-nyanjung bila jalanan yang sudah bagus sekarang ini adalah bikinan seseorang yang mereka sebut sebagai Bupati.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Suharti mengambil sepedanya yang terparkir. Orang yang memerintah tadi membantu Suharti memindahkan sepedanya. Sebelum melanjutkan perjalanan pulang, Suharti bertanya kepadanya.

“Apakah Bapak, Bupati?”

“Bukan. Orang yang di sepanduk yang berbaju bagus, itulah Bupati.”,kata orang itu.

“Terima kasih banyak.” Suharti lalu melanjutkan perjalanan pulangnya.

Kali ini, Suharti tiba lagi di perempatan jalan. Ada lampu merah di situ. Suharti berhenti sejenak. Di seberang jalan, terpampang baliho berukuran besar. Memuat gambar beberapa orang berbaju bagus dan terlihat seragam.

Beberapa laki-laki berseragam dan mengenakan rompi berwarna kuning, seketika menghampiri Suharti. Dan saat lampu jalan berganti hijau, orang-orang itu membantu Suharti menyebrangi perempatan jalan. Suharti berjalan sambil menjaga rumputnya. Saat itu, ia samar-samar mendengar mereka bicara tentang orang-orang hebat yang telah menyuarakan hati nurani rakyat kecil selama ini. Orang-orang itu menyebutnya sebagai Wakil Rakyat.

“Apakah Bapak, Wakil Rakyat?”, tanya Suharti.

“Bukan. Mereka yang di gambar itu berbaju bagus dan selalu menebar senyum, itulah wakil rakyat”, kata laki-laki itu.

“Terima kasih banyak.” Suharti lalu melanjutkan perjalanan pulangnya. Suharti telah berjalan sekian jauh dan sepeda reotnya digiringnya semakin pelan. Rumahnya telah dekat dari situ.

Suharti harus berjalan jauh untuk dapat merumput. Ada dua ekor kambing peninggalan suaminya yang harus ia beri makan. Sementara lahan rumput di sekitar rumah gubuknya telah tiada. Pembangunan mulai menggerayangi kota kecil itu. Mereka yang berkepentingan tidak peduli lahan subur diganti dengan pabrik-pabrik aspal, pabrik semen, ruko-ruko, dan gudang-gudang. Melalui artefak-artefak pembangunan itu, Suharti terus berjalan pulang. Suharti melihat ke arah rumputnya yang terikat di belakang sepedanya. Suharti berhenti sejenak.

“Apakah Bapak, rumput?”

“Bukan. Mereka yang hijau segar di baliho, spanduk, gambar, stiker, dan papan iklan, itulah rumput!”.

 

Praya, 23 Juli 2016  

 


Umar Mubdi lahir di Praya, 25 Juni 1995. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Aktif menulis artikel dan opini di berbagai media serta aktif di Komunitas Mahkamah UGM.

Umar Mubdi Photo Writer Umar Mubdi

Kandidat Master of Arts di Collegium Civitas, Warsaw

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya