[CERPEN-AN] Tembok Ratapan

"Kumohon, keluarkan aku dari duniaku sendiri"

Aku introvert. Dan aku membenci diriku. Masa kecilku tidak menyenangkan. Sama sekali tidak menarik. Aku sering menangis sendirian di kamar, sementara di luar, ada pesta pora berlangsung meriah. Banyak orang yang cekikikan. Tertawa terbahak. Bersenda gurau. Penuh lawak. Saling lempar makanan, kemudian terdengar suara derap kaki berlari. Saling berkejaran. Kemudian terjatuh. Terbahak lagi. Semakin lama semakin gerah rasanya kamarku. Telingaku juga panas. 

Kapan pestanya selesai? Sampai air mataku kering dan aku terlelap karena kelelahan, pesta itu akan terus berlanjut, tanpa diriku. 

Aku ini anak tengah. Satu-satunya perempuan. Sudah pendiam dari lahir. Oh bukan, aku salah. Aku menjadi pendiam sejak menginjak remaja. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, dan kalian tidak berwenang untuk tahu alasannya. Why? Ya, karena aku pendiam. Introvert. Kalian pasti tahu ciri khas introvert itu seperti apa, yup tepat! Tertutup.

Aku tipe tertutup yang sempurna. Nyaris tak tercela. Tidak ada celah bagi siapa pun untuk masuk ke ranah pribadiku. Tak terkecuali orang tua dan orang-orang yang berpesta di luar sana. Semua orang di sekitarku tahu, malah sadar, bahwa aku sedang membangun tembok besar yang tinggi. Tidak ada seorang pun yang bisa merobohkan tembok besar itu. Dan aku semakin hanyut dalam kesendirian.

Sekarang usiaku beranjak 26 tahun. Usia yang matang untuk menikah. Tetapi seperti yang kukatakan tadi, aku tidak ingin merobohkan tembok besar. Tidak akan ada celah kepada siapapun untuk masuk. Aku ingin menghabiskan waktu sendirian saja. Selamanya. Titik.

“Kamu tidak bisa seegois itu!” 

“Aku tahu ini egois. Tapi siapa yang peduli? Ini hidupku, Ra!”

Rara sepupuku menghela nafas. Sudah setengah jam kami berargumen. Sama sekali tidak ada keputusan pasti. Aku tetap tidak ingin dijodohkan. Siapa pun orangnya, mau sekaya, seganteng, atau sebaik apa pun pria itu, aku takkan mau menikah.

“Oke, terserah kamu, aku pun sudah capek tahu. Kamu pikir aku mau jadi negosiator kamu dan keluarga kita? Eh, sama sekali ogah. Tapi asal kamu tahu saja ya, pria ini, pria yang akan dijodohkan denganmu sekarang. Adalah pria yang aku dan sepupu-sepupu lainnya inginkan. Kamu akan menyesal tidak menerimanya!”

“Kalau gitu untuk kamu saja Ra, kamu menginginkan lelaki itu kan? Tuh, sana ambil, aku mah mau sendirian saja, nggak mau menikah. BIARKAN AKU SENDIRIAN!”

Aku kalap dan berteriak. Ada deru nafas yang tertahan. Tidak beraturan. Tanda emosiku benar-benar tinggi. Perjodohan ini membuatku muak. Rasanya menggelikan jika Rara dan sepupuku yang lain juga menginginkan pria yang dimaksud. Apa hebatnya?

Jika pria itu hebat, kenapa diberikan untukku? Bukankah selama ini aku barang usang yang tidak dipedulikan? Bukankah selama ini aku bagian yang hilang dari keluarga besar Trihamodjo? 

Aku mengerti bahwa aku salah. Tetapi kalian harus tahu satu rahasia kecil, agar kalian juga mengerti dan paham, apa masalahku sekarang. Sebenarnya banyak orang yang tahu tentang rahasia ini. Tidak terkecuali para pemburu berita. 

Sekitar lima belas tahun yang lalu. Deretan mobil berjejer di depan rumah. Gerombolan manusia berkamera membidik lensanya ke arah dalam rumah. Pembantu, sopir, dan satpam sudah berbuih menjelaskan kepada mereka.

“Tidak ada Cut Nyak Merlita di sini.”

“Tuan?”

“Tidak ada juga.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Bukan wartawan namanya jika mudah menyerah begitu saja. Mereka ingin lebih. Sesuatu yang pasti dan waw. Berita penuh bombastis yang menjual. Sekadar merekam batang hidung mama saja mereka sudah puas. Bisa dinaikkan berita, ‘Cut Nyak Merlita Masih Wara Wiri di Rumah Mertuanya’

Aku saat itu baru menginjak remaja. Pulang sekolah dijemput oleh sopir. Wajahku kusut. Batinku tersiksa. Pekerjaan mama sudah merenggut masa remajaku. Tidak ada teman yang benar-benar setia. Mereka mengolok-olok mamaku. Orangtua dari teman-teman pun banyak yang berbisik-bisik di dekatku,

“Tuh, dia anak hasil perceraian, kasihan ya, mama dan papanya berantem terus di tv. Duh nggak kebayang, deh jika di rumah.”

“Dengar-dengar sih, pernah dilempari gelas, sampai terluka katanya.”

“Ya, di berita tadi katanya mau divisum. Ih brutal amat sih suaminya. Sama perempuan saja berani.”

“Anaknya kira-kira ikut siapa ya?” 

“Ya, ikut mamanya lah, kan yang jahat papanya. Atau dia pulang saja ke Aceh, keluarga mamanya kan disana semua. Di infotainment sih, Cut Nyak katanya susah ditemui. Menghilang begitu saja.”

“Nggak konsisten banget sih jadi artis, habis berantem di tv eh sekarang main ngilang gitu aja.”

“Kayaknya itu trik deh, biar filmnya laku. Dikejar-kejar wartawan biar makin terkenal gitu.”

"Duh, kalau gitu drama banget ya hidupnya! Hahahaha."

Aku sudah berlari menjauh. Menutup telingaku rapat-rapat. Hari itu terakhir kalinya aku ke sekolah. 

“Kamu mau homeschooling?” Kakek menawarkan sesuatu yang kuidam-idamkan selama ini. Setelah dua minggu tidak sekolah dan memilih mogok, kakek mencari solusi yang menurutku itulah terbaik. Aku akan bersekolah di rumah saja. Terlepas dari gonjang-ganjing prahara rumah tangga orang tua sendiri. Aku akan menciptakan duniaku sendiri.

Sampai aku dewasa pun, dunia itu tetap menjadi milikku. Bahkan abang dan adikku tidak bisa mendekatiku. Mereka memilih mengurus urusan masing-masing. Membiarkan saudarinya lebih dalam lagi terpekur dalam kesendirian. Dan aku sangat menikmatinya. 

“Dia adalah orang yang memanggilmu si manis. Kamu ingat? Di hari mama dan papamu bercerai, dia ada di sampingmu. Memberimu permen jelly yang kamu habiskan seluruhnya. Pria itu bukan orang lain. Dia yang membuatmu tersenyum riang, bermain bersama kita saat kecil dulu, berebutan mobil dengan Bang Fachrul, mengobati luka adikmu, dan dia selalu memanggilmu si manis. Panggilan yang tidak dia berikan untukku, dan sepupu kita yang lain. Pria itu sudah kembali.”

Tersentak, aku bangun dari mimpiku. Rara benar. Aku akan menyesal jika melewati momen terbaik dalam hidupku. Mengenal pria yang tidak seperti papa. Mengenal teman yang tidak seperti teman-teman di sekolahku dulu. Mengenal seorang anak manusia yang kembali pulang untuk menjemputku. Aku akan merobohkan tembok itu sekarang.

Tolong bantu aku, kumohon, aku tidak ingin menghabiskan waktuku sendiri.

Luka itu akan sembuh, luka batin itu harus sembuh. Kumohon, menikahlah denganku...***

Aceh, 18 April 2019

yenny anggraini Photo Verified Writer yenny anggraini

Berusaha menjadi lebih baik

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya