Tuhan, Gelapkah Duniaku?

Refleksi kehidupan seorang gadis cacat yang ternyata masih jauh lebih beruntung karena memiliki nikmat sehat.

Sudah jatuh tertimpa tangga begitulah kiranya kondisiku sekarang. Aku dilahirkan untuk keluarga miskin yang tinggal dipinggiran kota. Lingkungan tempat tinggal yang kumuh kotor dan bau sudah bertahun-tahun kurasakan sejak aku dilahirkan dibumi. Kini usiaku sudah menginjak remaja, 17 tahun lebih tepatnya. Di usia yang sebesar ini aku masih sering merepotkan orng tuaku.

Untuk berjalanpun orangtuaku masih harus sering membantuku karena keadaanku yang tidaklah sempurna atau bisa disebut “cacat fisik”. Aku terlahir sebagai bayi premature yang cacat, mata sebelah kananku tidak berfungsi semestinya. Kenyataan yang sungguh pahit memang seumur hidup harus beraktifitas hanya dengan sebelah mata saja, disisi lain kehidupan orang tuaku juga memperparah keadaan ini. Bapakku hanyalah seorang tukang becak sedangkan ibu hanya buruh cuci dikompleks perumahan dekat kampungku.

Sebenarnya sakitku ini masih bisa sedikit ditolong andai saja aku terlahir dari keluarga berada, namun kembali kenyataan pahit ini harus aku terima ,aku hanya Si Miskin yang harus pasrah pada keadaan. Orang tuaku juga tak mampu membiayai sekolahku sehingga aku harus putus sekolah ketika masih dibangku kelas dua sekolah dasar. Kini aku sudah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cacat, beragam hujatan dan hinaan sudah menjadi menu wajib bagiku setiap berinteraksi dengan lingkungan sekitarku yang walaupun kumuh masih didominasi oleh orang-orang berfisik sempurna.

Kebiasaanku sehari-hari hanya membantu ibu mencuci baju-baju milik orang kompleks yang dititipkan pada ibu. Setelah pekerjaan mencuci dan menyeterika selesai Aku dan ibu segera mengantarnya ke rumah pelanggan. “Fitri gimana setrikaanya udah rampung?” aku menyahut pertanyaan ibu ” Ini bentar lagi kelar Bu”. Pekerjaanpun rampung dan saatnya aku mengantarkan baju-baju ini ,namun kali ini ibu tidak bisa ikut mengantar jadi hanya aku saja yang pergi ke kompleks.

Dengan mengayuh sepeda aku bergegas menuju kompleks yang jaraknya tidak kurang dari satu kilo meter dari rumahku. Kuantarkan satu persatu baju milik pelanggan cucian ibuku. Dan baju yang terakhir ini milik Bu Nani dalam pikiranku “siapa yaaa? aku tak tau dimana rumahnya”, karena kebingunggan aku bertanya pada satpam kompleks dan ternyata Bu Nani adalah penghuni baru dikompleks ini “pantesan aku nggak pernah tau” batin hatiku, akupun bergegas menuju rumahnya.

Setelah sampai pada alamat yang ditunjukkan oleh pak Satpam aku mulai mencocokkan ciri-ciri rumah dihadapanku  ini dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh pak Satpam dan ternyata benar inilah rumah yang dimaksud. Aku mulai memasuki halamannya yang luas dan asri .tampak sejuk dan rimbun. Tiba-tiba muncul anak kecil dari dalam rumah dengan membawa ember ditangannya “Byuuurrrrr” ember berisi air itu disiramkannya padaku tanpa basa-basi, aku berteriak kaget “Aaaauuuuu” lalu anak kecil itu malah berlari ke dalam rumah meninggalkanku sambil berteriak memanggil ibunya “Mama………mama…ada hantu bermata satu mau masuk kerumah kita”.

Rupanya anak kecil itu anak Bu Nani yang menyangka aku aku adalah hantu ditengah hari bolong yang sedang berkeliaran, mendengar teriakan anaknya Bu Nani langsung keluar rumah memastikan keadaan yang terjadi diluar. Begitu Bu Nani melihatku Dia langsung memeluk erat anaknya yang ketakutan itu dan bertanya padaku “Siapa kamu? Mau apa kesini” akupun menjawab “Saya Fitri bu, anaknya Bu Sri yang ibu titipin cucian,saya kesini mau mengantarkan cucian ini”, sambil menyerahkan plastik berisi cucian, ”Astaga…….. kamu anaknya Bu Sri, maafkan anak saya yaa udah buat kamu basah kuyup gini” ”iya bu saya maklum kog kalu adek ini takut sama saya, yaudah saya balik dulu yaa bu” percakapan pun berakhir.

Sesampainya aku dirumah ibu sedang menyiapkan menu makan siang untukku dan Bapak yang memang sudah pulang dari narik becak. Melihatku yang pulang dengan basah kuyup orang tuaku langsung bertanya serentak” kenapa Fit?? Kehujanan dimana? perasaan hari ini cuaca terang” tanpa pikir panjang aku menyahut “Abis nyebur empang pak…bu” semakin bertanya-tanya saja mereka namun pertanyaan mereka selanjutnya tak ku hiraukan lagi dan aku cepat-cepat melangkah menuju sumur untuk membersihkan badan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Fitri ayo buruan makan, keburu abis loh makanannya” suara ibuku terdengar, “iya Bu ” lalu aku bergegas menuju dapur kecil yang nampak tak layak disebut sebagai dapur. Menu hari ini tak jauh beda dengan hari-hari biasanya hanya nasi aking yang sudah diolah kembali oleh ibuku, hanya saja ditambah krupuk udang pemberian pelanggan becak Bapak, “Gimana kerupuknya? Maknyyuuusss kan” sambil menunjukkan jari jempolnya “siiipp dachh pak”.

Keluargaku memang jarang makan-makanan yang enak-enak ,jangankan krupuk udang untuk membeli nasi aking dari tetangga saja kami sering tak mampu karena gaji bapak dan ibu yang tak tetap, sedangkan aku hanya bisa pasrah pada nasib karena dengan kondisiku ini aku tidak mungkin diterima bekerja layaknya orang normal.

Minggu berikutnya aku kembali harus mengantar pakaian kerumah Bu Nani. Dan kembali lagi aku bertemu dengan anaknya Bu Nani yang pernah mengguyurku dengan air waktu itu, aku takut kejadian yang lalu ketika anak kecil itu mengguyurku dengan air se-ember terulang lagi maka kulangkahkan kakiku dengan penuh waspada menuju halaman rumah Bu Nani.

“Permisi bu….saya mau mengantar cucian” nampaknya tak ada orang dirumah ini karena berulang kali aku memanggil tak ada satupun jawaban. Aku memutuskan untuk pulang biar besok saja aku kembali lagi mengantarkannya, saat aku mulai berbalik langkah ada tangan kecil yang menghentikan langkahku.

Tangan itu mengenggam lembut telapak tanganku dan ternyata itu anak Bu Nani yang kemarin lalu dia mengajakku kehalaman belakang rumahnya. “Lhoooo Fitri udah dari tadi ya? Maaf ibu sedang berkebun jadi nggak tau kalo kamu datang” katanya begitu melihat kehadiranku “iya bu saya kira tadi nggak ada orang makanya saya mau balik pulang, ehhhh….tiba-tiba adek ini mengajak saya kesini” “iya Putri tadi sempat denger suara orang makanya dia buru-buru keluar” kata Bu Nani lagi padaku.

Karena keasyikan ngobrol dengan Bu Nani aku sampai tidak tau waktu. Ditengah obrolan itu bu Nani menceritakan keadaan hidupnya begitupun dengan aku, aku juga bercerita tentang keadaan mataku yang cacat ini pada bu Nani. Dan setelah kami mengobrol cukup lama akupun tau keadaan anak Bu Nani satu-satunya yaitu Putri yang ternyata menderita sakit kanker darah, kata Bu Nan penyakit itu mematikan dan menurut vonis dokter Putri hanya bisa bertahan hidup sampai umurnya lima tahun saja. Bu Nani adalah seorang single parents yang ditinggal suaminya meninggal dua tahun lalu.

Hidupnya makin menyedihkan ditambah dengan vonis dokter bahwa anaknya yang paling dicintainya dan satu-satunya akan meninggal sebentar lagi tinggal menunggu waktu saja karena penyakit Putri sudah menginjak stadium akhir. Bu Nani beberapa kali sempat meneteskan air mata namun dia mencoba tegar agar anaknya yang masih berusia empat tahun itu tidak ikut bersedih. Setelah tahu keadaan Putri dari cerita Bu Nani dihalaman belakang akupun mulai merenung dalam perjalanan pulang.

Ternyata aku masih lebih beruntung dari pada Putri yang sudah divonis dokter akan meninggal pada beberapa bulan kedepan, walaupun fisikku yang tak sempurna ini sering jadi bahan hujatan orang aku harus tetap bersyukur. Beberapa bulan setelah itu aku mendapat kabar duka bahwa anak bu Nani meninggal sebulan yang lalu dan dimakamkan di kampung halaman bu Nani, aku sempat shock dan tak percaya bahwa gadis kecil itu secepat ini meninggalkan kejamnya dunia.

Aku sadar dan mulai mensyukuri segala kekurangan ku ini. Kesempurnaan hanya milik Tuhan, kita diberi kekurangan untuk belajar selalu mensyukuri segala nikmat yang ada. Miskin bukan alasan untuk tertinggal, selama fisik masih sehat, mungkin terlahir miskin adalah salah satu takdir terbaik karena aku bisa berjuang lebih keras dibanding siapapun untuk sukses kelak. Duniaku tak pernah gelap ketika aku yakin Tuhan sayang padaku melebihi siapapun.

yuli dewi Photo Writer yuli dewi

i have no special talent, i'm just passionately curious

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya