Kenapa Teh di Sunda Tawar tapi Teh di Jawa Manis? Ini 5 Faktanya!

Kalau kamu jalan-jalan ke Jawa Barat dan pesan teh di warung makan, kemungkinan besar yang kamu dapatkan adalah teh tawar. Tapi kalau kamu ke Jawa Tengah atau Jawa Timur, teh yang disajikan justru manis. Ini bukan kebetulan atau sekadar selera pribadi, tapi ada alasan kuat di balik perbedaan ini.
Kebiasaan minum teh di masing-masing daerah ini ternyata sebenarnya dipengaruhi oleh banyak faktor. Perbedaan ini sebenarnya menarik buat dibahas karena teh adalah minuman yang hampir semua orang di Indonesia konsumsi.
Tapi kenapa kebiasaan minum teh bisa begitu berbeda antara dua wilayah yang masih satu pulau? Yuk, kita kupas tuntas kenapa teh di Sunda lebih suka disajikan tawar, sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih akrab dengan teh manis.
1. Faktor produksi teh dan gula yang berbeda
Sebuah kebiasaan sering kali berakar dari potensi daerahnya, baik dari segi sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Hal ini juga berlaku dalam kebiasaan minum teh.
Jawa Barat terkenal sebagai daerah yang paling banyak menghasilkan daun teh dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebun-kebun teh banyak ditemukan di dataran tinggi seperti Cisarua, Ciwidey, hingga Subang. Dengan melimpahnya produksi teh, orang Sunda terbiasa menikmati teh dalam bentuk paling alami, yaitu tanpa tambahan gula, sehingga rasa asli tehnya lebih terasa.
Sebaliknya, Jawa Tengah dan Jawa Timur punya posisi sebagai penghasil gula terbesar di Indonesia, terutama sejak zaman kolonial Belanda. Daerah seperti Sragen, Karanganyar, Klaten di Jawa Tengah serta Situbondo, Bondowoso, dan Kediri di Jawa Timur adalah pusat produksi gula pasir. Dengan ketersediaan gula yang melimpah, masyarakat di wilayah ini terbiasa menambahkan gula ke dalam teh mereka. Ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan sejak zaman dulu, ketika gula menjadi komoditas utama yang selalu ada di rumah.
2. Pengaruh budaya dan filosofi kehidupan
Masyarakat Sunda memiliki filosofi hidup yang lebih sederhana dan dekat dengan alam. Ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk dalam cara menikmati makanan dan minuman. Dalam budaya Sunda, teh tidak hanya sekadar minuman, tetapi juga bagian dari keseharian yang harus dinikmati apa adanya. Karena itu, mereka lebih suka teh tawar tanpa campuran lain yang bisa mengubah rasa aslinya.
Sementara itu, di Jawa Tengah dan Jawa Timur, filosofi hidupnya cenderung berbeda. Orang Jawa lebih sering mengutamakan keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan, termasuk dalam rasa makanan dan minuman. Manis dalam budaya Jawa melambangkan keramahan, kehangatan, dan kebersamaan. Makanya, teh manis sering dihidangkan sebagai bentuk sambutan yang hangat bagi tamu atau sebagai pelengkap saat bersantai bersama keluarga.
3. Pengaruh tradisi dan kebiasaan sehari-hari
Di daerah Sunda, kebiasaan minum teh lebih sering dikaitkan dengan ritual sederhana, seperti menikmati segelas teh panas di pagi atau sore hari tanpa tambahan pemanis. Banyak rumah makan Sunda juga otomatis menyajikan teh tawar sebagai minuman gratis yang menemani makanan. Hal ini karena masyarakat Sunda terbiasa menikmati teh sebagai minuman penyegar setelah makan tanpa mengubah rasa hidangan utama mereka.
Sebaliknya, di Jawa Tengah dan Jawa Timur jauh berbeda. Di Jawa teh manis sering dijadikan suguhan wajib di berbagai acara, mulai dari pertemuan keluarga, hajatan, hingga sekadar menjamu tamu yang datang ke rumah. Bahkan di warung makan dan angkringan, teh manis sudah menjadi standar, dan jarang sekali orang meminta teh tawar kecuali secara khusus.
4. Dampak dari kebiasaan sejarah dan pengaruh kolonial
Sejarah juga punya peran besar dalam kebiasaan ini. Pada zaman kolonial, perkebunan teh banyak berkembang di Jawa Barat, tetapi hasil tehnya lebih banyak diekspor ke luar negeri. Masyarakat lokal akhirnya terbiasa mengonsumsi teh tanpa tambahan apapun karena memang itulah yang tersedia. Selain itu, masyarakat Sunda lebih memilih untuk menikmati teh dalam bentuk murni sebagai bagian dari gaya hidup alami mereka.
Sementara itu, di Jawa Tengah dan Jawa Timur, produksi gula meningkat pesat pada abad ke-19 berkat sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Belanda. Hal ini membuat gula lebih mudah diakses oleh masyarakat setempat. Karena gula selalu tersedia, minum teh dengan tambahan gula menjadi kebiasaan yang bertahan hingga sekarang.
5. Preferensi rasa dan gaya hidup modern
Selain faktor sejarah dan budaya, selera masyarakat juga turut mempengaruhi kebiasaan ini. Orang Sunda umumnya lebih suka rasa yang ringan dan segar, sehingga teh tawar lebih cocok dengan preferensi mereka. Selain itu, kesadaran akan gaya hidup sehat juga membuat teh tawar lebih banyak dipilih karena dianggap lebih alami dan bebas gula tambahan.
Di sisi lain, masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih terbiasa dengan rasa manis dalam makanan dan minuman mereka. Bahkan, beberapa orang merasa teh tanpa gula kurang nikmat. Gaya hidup yang lebih santai dan suka berkumpul juga membuat teh manis menjadi pilihan yang lebih cocok untuk menemani obrolan panjang dengan keluarga atau teman.
Perbedaan kebiasaan minum teh antara Sunda dan Jawa bukan sekadar masalah selera, tapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Jadi, kalau kamu ke Jawa Barat dan disajikan teh tawar, jangan heran. Begitu juga kalau kamu ke Jawa Tengah atau Jawa Timur dan mendapati teh yang disajikan sudah manis. Itu semua adalah bagian dari warisan budaya yang sudah berlangsung turun-temurun.
Menarik kan bagaimana segelas teh bisa menceritakan begitu banyak hal tentang sejarah dan kebiasaan masyarakat?
Referensi:
"Current status of Indonesian tea industry". World Green Tea Association. Diakses pada Februari 2025
"Global Tea Breeding: Achievements, Challenges and Perspectives". Springer Science & Business Media. Diakses pada Februari 2025
"Indonesian Teas: Key Regions and Iconic Varieties" Alveus. Diakses pada Februari 2025
"History of Tea in Indonesia" Chai House. Diakses pada Februari 2025