5 Tips Mudah Mengenali Makanan yang Mengandung Minyak Babi

Minyak babi belakangan jadi topik pembicaraan hangat di media sosial belakangan ini. Banyak hidangan menggoda yang tampak aman dari luar, padahal bisa saja mengandung unsur hewani tertentu yang tak semua orang konsumsi, termasuk minyak babi.
Masalahnya, tidak semua tempat makan secara terbuka mencantumkan bahan yang mereka gunakan. Hal ini membuat banyak orang merasa perlu lebih waspada, terutama jika punya pantangan makanan karena alasan agama, kesehatan, atau prinsip pribadi. Maka dari itu berikut lima hal yang bisa kamu perhatikan agar tidak salah pilih makanan saat berwisata kuliner.
1. Penjual menggunakan istilah khas saat menyebut bahan
Beberapa pedagang makanan di Indonesia kadang menggunakan istilah lokal atau asing yang tidak langsung menyebut “minyak babi” secara terang-terangan. Misalnya, istilah seperti lard, pork fat, atau bahkan “lemak hewani” kadang digunakan untuk menyamarkan bahan yang sebenarnya berasal dari babi. Hal ini sering dijumpai di toko roti, restoran Tionghoa, atau tempat makan yang terinspirasi dari kuliner luar negeri.
Mengenali istilah tersebut penting, apalagi jika kamu sedang berada di kota besar seperti Jakarta, Medan, atau Surabaya yang punya populasi multietnis. Waspadai juga menu dengan sentuhan klasik Eropa atau Asia Timur karena lebih berisiko menggunakan bahan ini. Bila ada menu dengan label fusion atau internasional, ada baiknya bertanya lebih dulu.
Penjual yang jujur tidak akan keberatan memberikan informasi soal bahan baku yang digunakan. Kejelian membaca kata-kata di daftar menu bisa jadi penyelamat sebelum makanan dipesan.
2. Warna dan tekstur makanan tampak terlalu mengilap
Makanan yang mengandung minyak babi biasanya punya tampilan yang sedikit berbeda dari makanan pada umumnya. Salah satu ciri paling umum adalah permukaannya terlihat sangat mengilap, cenderung berminyak tapi tidak terasa berat seperti jika dimasak dengan minyak sayur biasa. Warna makanan cenderung keemasan merata dan menggoda, tapi ada lapisan minyak yang tidak mudah hilang bahkan setelah didiamkan.
Tekstur makanan juga jadi petunjuk lain. Bila kamu melihat gorengan atau tumisan yang tampak lebih kering di luar tapi tetap lembap dan empuk di dalam, itu bisa jadi salah satu cirinya. Hal ini sering dijumpai pada mie goreng ala restoran tertentu atau makanan panggang seperti bakpao dan savoury pastry.
Makanan yang dimasak dengan minyak babi biasanya mempertahankan keharuman gurih yang lebih kuat dan khas, berbeda dengan aroma minyak kelapa atau minyak sawit.
3. Tempat makan tidak menyertakan label halal
Label halal bukan sekadar simbol, tapi penanda penting untuk menghindari makanan dengan kandungan minyak babi. Di Indonesia, label minyak babi bisa ditemukan di kemasan makanan kemasan maupun papan penanda restoran. Jika tempat makan tidak mencantumkan label halal, sebaiknya jangan langsung berasumsi bahwa semua makanannya aman untuk dikonsumsi.
Khusus di wilayah urban atau destinasi wisata populer, banyak restoran yang melayani berbagai jenis pelanggan dari latar belakang berbeda. Beberapa bahkan lebih menyesuaikan diri dengan selera internasional yang tidak menjamin kehalalan bahan. Oleh karena itu, pastikan untuk memperhatikan sertifikat atau keterangan resmi yang biasa terpajang di dekat kasir, pintu masuk, atau bagian belakang kemasan makanan.
4. Aroma makanan lebih gurih dari biasanya
Salah satu alasan minyak babi digunakan dalam kuliner adalah karena menghasilkan rasa gurih yang khas. Minyak babi punya aroma yang lebih tajam, hangat, dan mengingatkan pada olahan daging asap. Bahkan saat digunakan sedikit saja, aromanya bisa bertahan lama dan terasa menyatu dengan bahan lain dalam masakan. Ini jadi salah satu ciri yang bisa dikenali bahkan sebelum kamu mencicipinya.
Kalau kamu punya penciuman yang cukup tajam, kadang aroma tersebut langsung terasa saat makanan disajikan. Apalagi pada hidangan seperti nasi goreng, mie, atau tumisan sayur yang dimasak cepat dengan api besar. Aroma gurih ini terasa lebih ‘berat’ dibandingkan masakan biasa dan bisa membuat makanan terasa lebih ‘penuh’. Jika ragu, jangan ragu untuk bertanya langsung ke pelayan atau juru masaknya.
5. Resep tradisional mengadopsi budaya non-muslim
Banyak resep kuliner di Indonesia yang mengalami akulturasi budaya. Beberapa di antaranya berasal dari komunitas Tionghoa atau keturunan luar negeri lain yang menggunakan minyak babi sebagai bahan utama sejak dulu. Contoh paling umum adalah makanan seperti kue bakpia, lumpia, dan siomay yang pada versi aslinya menggunakan bahan tersebut untuk menambah rasa.
Meskipun sekarang sudah banyak versi modifikasi yang tidak menggunakan minyak babi, penting untuk tetap menelusuri akar dari resep tersebut. Restoran atau penjual yang masih mempertahankan resep keluarga biasanya tidak mengubah banyak bahan aslinya. Di sinilah pentingnya mengenal latar belakang makanan, bukan hanya dari tampilannya, tapi juga sejarah dan budaya yang membentuknya.
Menjelajahi ragam kuliner Indonesia memang selalu menyenangkan, tapi kewaspadaan terhadap bahan seperti minyak babi tetap perlu dijaga, terutama bagi yang memiliki batasan konsumsi tertentu. Tidak semua makanan menampakkan ciri khasnya secara langsung, jadi penting untuk memahami petunjuk-petunjuk halus di sekeliling kita. Semoga, informasi di atas bermanfaat bagi kamu terutama yang memang tidak mengonsumsi apapun yang mengandung babi.