Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Filosofi Kolak yang Belum Kamu Tahu

she.id
she.id

Puasa di bulan Ramadan tanpa kolak ibarat pacaran tanpa status, seperti taman tak ada bunga, bak sayur asem tanpa garam. Makanan manis, gurih dan menyegarkan yang banyak diburu orang menjelang buka puasa ini memang seperti makanan wajib yang harus ada di meja makan. Keberadaannya seperti oase di padang tandus mampu mengobati dahaga bagi para penikmatnya setelah seharian berpuasa.

Di balik manis dan gurihnya rasa sebuah kolak, pernahkah kamu sedikit saja merenung, sebenarnya bagaimana awal mula dan sejarah dikenalnya makanan kolak?

Tak banyak yang tahu memang, kolak awal mulanya sering dijadikan media oleh para ulama untuk menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Loh, kok bisa? Bisa, penyebaran Islam dengan media kolak, pada saat itu, dianggap sebagai cara paling sederhana karena menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat.

Kata ‘kolak’ sendiri sebenarnya berasal dari kata ‘Khalik’ yang artinya Sang Pencipta. Pencipta alam beserta isinya. Dan kata kolak sendiri banyak diartikan sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Bahan-bahan kolaknya pun, ternyata memiliki makna dan filosofi tersendiri. Pisang kepok, yang diplesetkan dengan kata ‘kapok’ diartikan sebagai perilaku menyesali perbuatan dosa dan kekhilafan atau bertobat. Sementara ubi jalar atau ketela yang dalam bahasa Jawa kerap disebut dengan ‘telo pendem’ memiliki makna memendam atau mengubur kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat di masa lalu dan tidak mengulanginya lagi di masa mendatang.

Sebenarnya, di zaman dulu, kolak disajikan pada saat bulan Ruwah dengan maksud untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, Sang Pencipta alam semesta. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, sajian nikmat ini berlanjut hingga bulan Ramadhan, dan sekarang menjadi santapan favorit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia ketika berbuka puasa.

Dari sebuah kolak, kamu sudah bisa mengambil hikmah dari filosofinya, untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Khalik, meninggalkan segala kesalahan dan memperbaikinya dengan tujuan mengharap ridho Illahi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Yogie Fadila
EditorYogie Fadila
Follow Us