ilustrasi minum air (pixabay.com/derneuemann)
Setidaknya 4.000 bahan kimia diketahui digunakan untuk membuat plastik (Environmental Science & Technology, 2019).
Temuan studi baru ini diharapkan bisa menjadi seruan bagi komunitas ilmiah untuk lebih memahami bagaimana berbagai jenis plastik berdampak pada kesehatan manusia.
Para ilmuwan telah lama berspekulasi bahwa partikel-partikel ini, baik terhirup atau tertelan, punya kemampuan untuk menimbulkan kerusakan signifikan pada tubuh. Masih belum jelas bagaimana itu bisa terjadi. Bisa karena tokisisitas intrinsiknya, atau partikel plastik tersebut bisa menjadi pembawa bahan beracun.
Bisphenol A (BPA), bahan kimia tambahan yang digunakan pada beberapa plastik, terbukti merupakan racun reproduksi dan perkembangan. Karena alasan ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) melarang BPA untuk botol bayi dan cangkir minum bayi pada akhir tahun 2012, tetapi BPA masih diperbolehkan dalam kemasan makanan dan minuman.
Sejak 2019, Indonesia melalui BPOM menetapkan batas migrasi BPA pada kemasan pangan berbahan polikarbonat sebanyak 0,6 ppm. Ambang ini wajib dipatuhi produsen AMDK yang menggunakan polikarbonat sebagai kemasan galon guna ulang.
Sel tubuh mampu menyerap plastik, terutama nanoplastik, menginternalisasi, dan membawanya ke dalam sel. Ada beberapa bukti adanya stres oksidatif, perubahan DNA, dan peradangan akibat interaksi sel dan partikel tersebut.
Stres oksidatif terjadi ketika terjadi ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan yang berfungsi menetralisir radikal bebas. Jika tidak dikendalikan, radikal bebas akan bereaksi dengan bahan kimia lain di dalam tubuh dan dapat merusak jaringan lemak, DNA, dan protein, sehingga menyebabkan penyakit. Misalnya diabetes dan kanker.
Sebagian besar penelitian mengenai dampak senyawa plastik terhadap kesehatan dilakukan pada hewan, bukan manusia. Meskipun beberapa penelitian pada manusia menemukan bahwa ftalat, salah satu bahan kimia paling umum yang digunakan untuk membuat plastik, dapat menyebabkan penambahan berat badan lebih banyak selama kehamilan dan meningkatkan risiko perempuan mengalami diabetes gestasional, tetapi penelitian ini belum membuktikan sebab dan akibat.
Para ilmuwan khawatir bahwa ftalat dan BPA merupakan pengganggu endokrin, yang berarti bahan kimia tersebut mengganggu hormon. Ini khususnya dapat berdampak pada perempuan. Menurut EPA, di(2-ethylhexyl) phthalate (DEHP), salah satu jenis ftalat yang paling banyak digunakan, kemungkinan bersifat karsinogen, tetapi penggunaannya tidak dibatasi seperti BPA.
Sebagian besar bukti yang ada saat ini bersifat tidak langsung. Namun, tidak berlebihan untuk berasumsi bahwa menelan partikel plastik bisa menimbulkan dampak kesehatan seperti halnya partikel lain, seperti yang ditemukan dalam polusi udara.
Nanoplastik berpotensi lebih menimbulkan kekhawatiran bagi kesehatan. Makin kecil partikelnya, makin besar kemungkinannya untuk masuk ke dalam sel dan menembus sawar darah-otak, dan partikel tersebut ada dalam sumber sehari-hari seperti air minum kemasan, dalam jumlah yang tampaknya lebih besar daripada partikel mikroplastik.
Informasi mengenai dampak plastik terhadap kesehatan masih terbatas karena para ilmuwan masih hanya sedikit mengetahui tentang partikel itu.
Sebagai contoh, dalam studi yang meneliti delapan kelas plastik yang umum digunakan dalam barang-barang rumah tangga (termasuk gelas yoghurt dan spons), para peneliti menemukan bahwa enam dari delapan produk mengandung bahan kimia beracun. Akan tetapi, dari total 1.400 senyawa yang terkandung dalam produk, tim peneliti hanya dapat mengidentifikasi 260 senyawa.
Plastik juga diketahui mampu menyerap benda lain. Jika berkontak dengan bahan organik atau logam, itu dapat melepaskan senyawa-senyawanya di dalam tubuh.
Manusia secara teratur terpapar dengan partikel plastik, bahkan bisa mengonsumsinya.
“Makanan dan minuman yang diproses secara berlebihan kemungkinan besar mengandung partikel plastik,” kata Stapleton.
Untuk mengurangi risiko paparan, ia merekomendasikan untuk beralih dari botol plastik sekali pakai ke botol logam atau kaca. Selain mengurangi risiko paparan plastik, wadah minum yang dapat digunakan kembali juga mengurangi jumlah botol yang digunakan, sehingga mengurangi limbah plastik.
Juga, kamu direkomendasikan untuk mengonsumsi teh dalam bentuk loose-leaf dibandingkan teh celup. Dan, gunakan wadah kaca saat menggunakan microwave.