Berbicara soal fake smile, Hoshael mengiyakan bahwa penelitian ini membuktikan kalau senyum bisa memengaruhi emosi. Namun, berbicara manfaat praktis fake smile terhadap kesehatan mental, belum bisa diterapkan begitu saja.
"Apakah fake smile bisa disarankan? Saya rasa itu bukan pendekatan yang pas ... Ketika seseorang punya masalah emosi atau masalah yang pelik sehingga membuatnya bergelut secara emosional, fake smile bukan solusi praktis," papar Hoshael.
Menurutnya, fake smile bisa membawa kebahagiaan kalau yang melakukannya sadar bahwa ia sedang tersenyum. Namun, jika seseorang terlalu tenggelam dalam emosi dan tak sadar akan senyumnya, maka fake smile tetap tidak berkhasiat apa-apa.
Jadi, apakah senyum yang murni lebih baik? Tentu saja. Akan tetapi, Hoshael meluruskan bahwa bak vitamin yang tak bisa mencegah semua penyakit, maka senyum pun tak bisa serta-merta "menggantikan emosi".
"Saat kita senyum, hari jadi terasa lebih baik. Ini tidak perlu saran saintifik. Kamu jadi merasa senang dan nyaman, sementara orang lain juga menjadi nyaman dengan keramahan yang ditunjukkan oleh senyuman," kata Hoshael.
ilustrasi menangis (pexels.com/Alex Green)
Dengan fake smile, seseorang ingin terlihat bahagia meski keadaan bercerita sebaliknya. Hoshael mengatakan bahwa penyangkalan emosi bukanlah solusi permanen. Jadi, bukan fake smile yang ia permasalahkan, melainkan saat ini dilakukan untuk "membohongi" emosi sendiri.
“Kalau sedang kesal [atau sedih], bertingkahlah sesuai emosi,” kata Hoshael.
Jika senyum palsu digunakan untuk menyangkal emosi, dampak negatif bukan hanya terhadap pelakunya karena lingkungan sekitar pun tahu bahwa yang dipasang di wajah adalah senyuman palsu.
Meski begitu, tak jarang seseorang tak memiliki waktu untuk mengelola atau memahami emosinya sendiri. Jika begitu, Hoshael menyarankan untuk memang tetap tersenyum.
"Ini bisa berhasil, saat kondisi jauh dari ideal untuk mengelola emosi negatif," tambah Hoshael.