ilustrasi seseorang menambahkan MSG ke dalam makanan (pexels.com/Gary Barnes)
"Kebanyakan makan micin, sih!"
Pernah diledek begitu? Ledekan ini ditujukan untuk mereka yang "lamban" dalam berpikir. Kemudian, hal itu diasosiasikan dengan kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengandung monosodium glutamat (MSG), salah satu garam turunan dari asam glutamat.
MSG dapat ditemukan hampir di semua jenis makanan, dari padat hingga cair, dan dari makanan utama (daging burger, sosis, mi instan, dan sebagainya), camilan (aneka keripik), hingga bumbu penyedap seperti saus dan kecap.
Ditemukan oleh Kikunae Ikeda (pendiri Ajinomoto) pada 1908, MSG dianggap memberikan rasa lezat nan gurih, atau umami.
Beberapa waktu yang lalu, sempat ramai tentang pengakuan beberapa orang yang mengalami pusing setelah mengonsumsi MSG. Namun, setelah dilakukan blind test, ternyata hanya histeria belaka.
Akan tetapi, pengaruh MSG terhadap angka timbangan sudah diteliti lewat beberapa penelitian.
Dilansir Reuters Health, seorang ahli gizi di University of North Carolina, AS, Ka He, mengatakan bahwa meskipun risiko kenaikan berat badan yang disebabkan oleh MSG bersifat ringan, implikasinya pada kesehatan masyarakat tak bisa diabaikan. Kenapa?
"Karena semua orang memakannya," kata He.
Kenapa MSG dapat menaikkan berat badan? Konsumsi MSG amat sarat di Tiongkok dan AS, tetapi perbandingan indeks massa tubuh rakyat kedua negara tersebut begitu jauh. He mengingatkan bahwa rakyat Tiongkok jauh lebih aktif daripada AS, oleh karena itu efeknya tidak terlalu kentara.
Dalam penelitiannya, He dan tim meneliti 10.095 warga Tiongkok selama 5,5 tahun. Pada bagian kesimpulan, He mengatakan bahwa mereka yang mengonsumsi MSG rata-rata 5 gram per hari memiliki risiko obesitas sebanyak 33 persen, dibandingkan mereka yang paling sedikit mengonsumsi MSG kurang dari setengah gram per hari.
He berhipotesis bahwa MSG mengganggu kinerja hormon leptin yang mengatur metabolisme dan nafsu makan tubuh. Terlalu banyak konsumsi MSG dikatakan menyebabkan resistansi leptin, membuat seseorang lebih berisiko mengalami obesitas.
Resistansi leptin menyusahkan tubuh untuk memproses energi yang didapat dari makanan yang dicerna. Alhasil, seberapa banyak kalori yang dicerna, rasanya tetap lapar.
Meski demikian, bersumber dari buku panduan Review Monosodium Glutamat How To Undertand It Properly edisi ke-4 dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), penelitian dari He dkk. mendapat kritik dari Shi dkk. dengan melakukan penelitian yang melibatkan 1.282 laki-laki dan perempuan Tiongkok, yang berpartisipasi dalam Studi Gizi Jiangsu.
Dalam penelitian tersebut, asupan MSG dan berat badan secara kuantitatif dinilai pada tahun 2002 dan ditindaklanjuti di tahun 2007. Temuannya, konsumsi MSG tidak berhubungan dengan penambahan berat badan secara signifikan setelah disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, berbagai faktor gaya hidup, dan asupan energi.
Dari temuan tersebut, disimpulkan bahwa ketika makanan lain atau pola diet dicatat, maka tidak ada hubungan antara konsumsi MSG dengan kenaikan berat badan.
Hasil penelitian Shi dkk. tersebut tampaknya sama dengan hasil temuan oleh Vi Thi Thu Hien dkk. yang dimuat dalam jurnal Public Health Nutrition tahun 2012. Penelitian tersebut bertujuan untuk menentukan prevalensi dan mencari faktor-faktor yang berhubungan dengan kelebihan berat badan (overweight), terutama memastikan ada atau tidaknya hubungan antara pemberian MSG sebagai penguat rasa terhadap kejadian overweight di Vietnam.
Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode survei dengan jumlah partisipan sebanyak 1.528 orang berusia ≥ 20 tahun yang dipilih secara acak. Pada penelitian itu didapat bahwa overweight disebabkan oleh faktor usia, wilayah tempat tinggal, pekerjaan yang panjang, aktivitas fisik dan asupan kalori, karbohidrat, lemak jenuh dan protein hewani. Hasil penelitian tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara konsumsi MSG terhadap overweight.