Studi: Perceraian Picu Risiko Inflamasi pada Laki-laki

Dampak perceraian juga memengaruhi kesehatan tubuh

Manusia adalah makhluk sosial, kita butuh satu sama lain agar hidup lebih bermakna. Namun, tak jarang hubungan antara manusia retak dan berakhir dengan perpisahan. Bukan hanya pada mental, berbagai penelitian juga telah menyingkapkan dampak negatif perpisahan dan hidup menyendiri pada kondisi fisik.

Meski begitu, hubungan antara kesendirian, perpisahan, dan kondisi tubuh masih abu-abu. Sebuah penelitian terbaru di Denmark menunjukkan dalamnya hubungan antara ketiga variabel tersebut. Mari simak fakta selengkapnya!

1. Melibatkan hampir 5.000 partisipan yang kandas dalam percintaan dan hidup menyendiri

Studi: Perceraian Picu Risiko Inflamasi pada Laki-lakiilustrasi pria bersedih (unsplash.com/Francisco Gonzalez)

Dimuat dalam jurnal Journal of Epidemiology & Community Health pada 10 Januari 2022, para peneliti di University of Copenhagen meneliti hubungan apakah putus cinta atau perceraian dan hidup dalam kesendirian memengaruhi tingkat inflamasi tubuh. 

Mengambil data Copenhagen Aging dan Midlife Biobank, penelitian bertajuk "Do partnership dissolutions and living alone affect systemic chronic inflammation?" ini mencakup data 4.835 partisipan berusia 48-62 tahun. Data tersebut dibagi menjadi dua tipe:

  • Sebanyak 4.612 partisipan (3.170 laki-laki dan 1.442 perempuan): mencakup informasi tentang jumlah putus cinta atau perceraian.
  • Sejumlah 4.835 partisipan (3.336 laki-laki dan 1.499 perempuan): mencakup informasi tentang jumlah tahun hidup dalam kesendirian.

2. Mengapa IL-6 dan CRP?

Studi: Perceraian Picu Risiko Inflamasi pada Laki-lakiilustrasi inflamasi (healthcoach.clinic)

Para peneliti mengambil sampel darah dari para partisipan. Sampel darah tersebut adalah ukuran dari kadar interleukin-6 (IL-6) dan protein C-reaktif (CRP). Mengapa kedua senyawa tersebut? IL-6 dan CRP adalah dua senyawa yang terlibat dalam respons inflamasi alami sebagai proteksi tubuh.

Permasalahannya adalah jika respons inflamasi tersebut membandel, yaitu saat sel darah putih menyerang jaringan tubuh lain. Naiknya kadar IL-6 dan CRP mengakibatkan berbagai komplikasi medis, dari meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular, menurunkan kinerja kognitif dan fisik, serta meningkatkan risiko kematian.

Baca Juga: Studi: Isolasi Sosial dan Kesepian Bikin Tubuh Meradang

3. Hasil: laki-laki yang hidup sendiri dan putus cinta lebih merana

Studi: Perceraian Picu Risiko Inflamasi pada Laki-lakiilustrasi laki-laki yang sedih akibat putus cinta (pexels.com/Viajero)

Setelah disesuaikan dengan variabel lainnya, para peneliti Denmark menemukan bahwa pada laki-laki, putus cinta atau perceraian dan durasi tahun hidup sendiri terkait dengan peningkatan biomarker inflamasi lebih parah dibanding laki-laki yang tidak mengalami putus cinta atau perceraian atau hidup sendiri selama kurang dari 1 tahun.

Peningkatan intensitas inflamasi terjadi pada kelompok laki-laki yang mengalami putus cinta atau perceraian paling sering (lebih dari dua kali). Mereka dikatakan memiliki kadar biomarker inflamasi 17 persen lebih tinggi. Selain itu, laki-laki yang hidup sendiri lebih dari 7 tahun menderita inflamasi yang lebih tinggi, yaitu 12 persen.

"Karena tingginya inflamasi dihubungkan dengan meningkatnya mortalitas dan kematian dari sejumlah penyakit kronis, studi kami menunjukkan... potensi mekanisme yang berhubungan," ujar salah satu pemimpin penelitian dari University of Copenhagen, Prof. Rikke Lund.

Jadi, apakah putus cinta atau hidup sendiri langsung berbahaya untuk kesehatan? Tidak juga. Namun, kombinasi hidup sendiri dan putus cinta beberapa kali ditemukan lebih berisiko terhadap peningkatan biomarker inflamasi pada kaum adam.

4. Mengapa tidak berlaku untuk kaum hawa?

Studi: Perceraian Picu Risiko Inflamasi pada Laki-lakiilustrasi perempuan dan cinta (pexels.com/Hassan OUAJBIR)

Uniknya, para peneliti tidak melihat efek yang sama pada kelompok perempuan. Oleh karena itu, temuan ini menunjukkan perbedaan bahwa laki-laki lebih dirugikan oleh kandasnya percintaan dan/atau hidup menyendiri. Mengapa bisa?

Para peneliti berhipotesis bahwa hubungan percintaan hanya memberi sedikit khasiat pada perempuan, sehingga putus cinta tidak memberikan dampak yang signifikan. Kedua, berbagai riset menemukan respons inflamasi besar pada laki-laki muda dibanding perempuan, hal yang kemungkinan terus berlangsung hingga usia lanjut.

Akan tetapi, para peneliti mengatakan bahwa jumlah partisipan perempuan dalam studi tidak sepadan dengan laki-laki. Akibatnya, hubungan inflamasi dan putus cinta atau perceraian pada perempuan tidak terlihat dengan jelas.

5. Kelebihan dan kekurangan studi

Studi: Perceraian Picu Risiko Inflamasi pada Laki-lakiilustrasi pasangan yang bertengkar (unsplash.com/Afif Kusuma)

Dari penelitian ini, salah satu kelebihannya adalah sampel partisipan yang besar. Data dari Copenhagen Aging dan Midlife Biobank berjalan selama sekitar 26 tahun, yaitu dari 1986 hingga 2021.

Namun, para peneliti juga mencatatkan beberapa kekurangan dalam penelitian tersebut, yaitu:

  • Bias seleksi: Beberapa partisipan yang tidak menyelesaikan kuesioner atau mengikuti tes darah mungkin merepresentasikan kelompok dengan riwayat perceraian atau putus cinta yang lebih frekuen.

  • Konsekuensi maksimal yang tak tercatat jelas: Usia rata-rata partisipan hanya 54,5 tahun.

  • Faktor berat badan: Para partisipan laki-laki memiliki indeks massa tubuh (BMI) yang lebih besar dari perempuan, faktor yang bisa meningkatkan inflamasi sistemik di luar faktor putus cinta atau perceraian dan hidup sendiri.
Studi: Perceraian Picu Risiko Inflamasi pada Laki-lakiilustrasi putus cinta (pexels.com/Vera Arsic)

Selanjutnya, Prof. Lund mengatakan bahwa penelitian selanjutnya akan berfokus pada bagaimana faktor memiliki anak bisa memengaruhi hubungan antara perceraian atau putus cinta dan inflamasi. Sementara buah hati bisa menjadi harapan untuk kesehatan mental dan fisik, apakah hal tersebut berlaku jika bahtera rumah tangga sudah karam?

"Hal ini mungkin berlaku jika ada kontak positif antara anak dan orang tua tunggal. Namun, ada potensi bahwa memiliki anak malah memperparah efek negatif dari perceraian atau malah anak-anak menjadi bagian dari konflik," ujar Prof. Lund kepada Medical News Today.

Selain itu, ia juga berharap studi selanjutnya bisa merekrut lebih banyak partisipan perempuan. Dengan begitu, koneksi inflamasi pada perempuan yang mengalami putus cinta atau perceraian atau hidup sendiri bisa tersingkap lebih jelas.

Baca Juga: Studi: Makan Sendirian Gak Baik untuk Kesehatan Jantung

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya