TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Fakta Hydroxychloroquine, Obat COVID-19 yang Disebut Ampuh oleh Trump

Ada peringatan keras dari FDA mengenai obat ini

Berbagai Sumber

Hydroxychloroquine telah terdaftar sebagai salah satu obat untuk COVID-19 di Indonesia. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah memasukkannya ke dalam daftar rekomendasi obat untuk digunakan di seluruh rumah sakit yang menangani pasien yang terinfeksi virus corona. 

Di dunia internasional, hydroxychloroquine dikenal pula dengan nama Plaquenil. Obat ini menuai perhatian dunia karena presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyebutnya efektif untuk sembuhkan pasien COVID-19, walaupun belum ada bukti ilmiah valid yang mendukungnya. 

Lalu sebenarnya obat apakah ini? Seberapa efektif untuk menyembuhkan penderita COVID-19? Simak penjelasannya berikut ini!

1. Apa itu hydroxychloroquine?

patch.com

Mirip dengan chloroquine, hydroxychloroquine sebenarnya merupakan obat malaria yang mulai disetujui pemakaiannya sejak tahun 1955. Ia bekerja dengan cara membunuh parasit yang menyebabkan penyakit tersebut. Pada saat itu, hydroxychloroquine lebih diminati karena efek samping yang ditimbulkannya lebih sedikit daripada chloroquine

Tak hanya malaria, obat ini ternyata juga bisa digunakan untuk menangani pasien lupus dan rheumatoid arthritis. Keduanya tergolong dalam jenis penyakit autoimun, di mana sistem imun terlalu aktif hingga menyerang sel-sel sehat. 

2. Kenapa obat ini digunakan untuk menangani pasien COVID-19?

supplychaindigital.com

Pertanyaan inilah yang paling sering muncul. Kenapa obat yang biasa dipakai untuk menangani malaria diajukan untuk COVID-19? Padahal keduanya sangat berbeda. COVID-19 disebabkan oleh virus, sedangkan malaria berasal dari parasit. 

Ternyata ada beberapa studi yang mengatakan bahwa hydroxychloroquine dan chloroquine memiliki sifat antivirus yang bisa membasmi virus corona atau SARS-CoV-2. Salah satunya adalah studi dari American Academy of Opthalmology. Hasil temuan mengatakan bahwa hydroxychloroquine bahkan lebih efektif daripada chloroquine dalam mengurangi jumlah virus. 

Ia bekerja dengan cara memodifikasi sel-sel tubuh yang biasa diinfeksi oleh virus tersebut. Dengan begitu, terdapat sebuah barrier atau halangan ketika virus ingin masuk dan menginfeksi. 

Dari situlah muncul gagasan untuk menggunakan hydroxychloroquine untuk menangani pasien COVID-19. Sayangnya, penelitian yang digunakan selama ini tergolong vitro study, artinya pengujian baru dilakukan di luar tubuh manusia.

Baca Juga: Virus Corona Bermutasi? Ini 7 Gejala Tak Biasa COVID-19 dari WHO

3. Hydroxychloroquine menunjukkan hasil yang positif ketika diiringi dengan azitromisin

medpagetoday.com

Sejak disarankan untuk menjadi obat COVID-19, hydroxychloroquine diuji melalui sejumlah percobaan klinis. Salah satunya didokumentasikan dalam International Journal of Antimicrobial Agents. 

Uji klinis tersebut mengatakan bahwa hydroxychloroquine dapat bekerja dengan lebih efektif jika dipadukan dengan azitromisin. Ini merupakan antibiotik yang juga direkomendasikan oleh BPOM. Tercatat bahwa perpaduan antara kedua obat itu bisa mengurangi jumlah virus dalam tubuh secara signifikan.

Tak hanya itu, studi dalam skala kecil di Wuhan yang dipublikasikan oleh medRxiv menyatakan bahwa kondisi pneumonia pada pasien membaik setelah lima hari mengonsumsi hydroxychloroquine. Masih banyak uji klinis lainnya yang menemukan bahwa obat ini membuat kondisi pasien membaik. 

4. Sebuah uji klinis menemukan bahwa hydroxychloroquine bisa berakibat fatal pada sebagian pasien

reuters.com

Walaupun begitu, tak sedikit pula uji klinis yang mengatakan sebaliknya. Yang paling kontroversial adalah studi dari University of Carolina dan University of Viirginia di medRxiv pada April lalu. Perlu diketahui bahwa studi ini belum melalui tahap peer-review.

Studi itu meneliti 368 pasien. Sebanyak 97 orang menggunakan hydroxychloroquine, 158 tidak, sedangkan sisanya menggunakan hydroxychloroquine dan azitromisin. Hasilnya pun mengejutkan. 

Peneliti menemukan bahwa pasien yang mengonsumsi hydroxychloroquine memiliki tingkat kematian 27,8 persen. Sedangkan pasien yang tidak mengonsumsinya memiliki tingkat kematian 11,4 persen. 

“Pada studi ini, kami tidak menemukan bukti bahwa pemakaian hydroxychloroquine, baik dengan azitromisin atau tidak, mengurangi risiko penggunaan ventilator terhadap pasien COVID-19,” kata para peneliti. 

Sebagian studi menemukan adanya pengaruh positif dari hydroxychloroquine pada pasien. Namun menurut studi lain, ternyata obat ini justru bisa membahayakan. Ini berarti bahwa hydroxychloroquine masih perlu diuji dan dikaji lagi hingga kita menemukan kondisi apa yang membuatnya bereaksi positif dan negatif. 

5. Efek samping yang berpotensi ditimbulkan oleh hydroxychloroquine

guim.co.uk

Menurut pengalaman penggunaan dan studi yang telah dilakukan selama ini, hydroxychloroquine menimbulkan berbagai macam efek samping. Yang ringan dan yang paling umum terjadi adalah sakit kepala, pening, diare, kram perut, rambut rontok, hingga muntah-muntah. 

Sementara efek samping yang cukup berat berupa kerusakan retina. Dilansir dari Drugs.com, hal ini berpotensi terjadi ketika seseorang mengonsumsinya dalam jangka waktu yang lama dan dengan dosis yang tinggi. Maka dari itu, obat ini tidak bisa dikonsumsi tanpa resep dari dokter. 

6. Interaksi dengan obat lain

theconversation.com

Hal lain yang perlu diperhatikan ketika mengonsumsi hydroxychloroquine adalah potensinya untuk berinteraksi dengan obat lain. Jika ini terjadi, pasien akan mengalami efek samping yang tak diinginkan atau efektivitas obat menjadi berkurang. 

Dilansir dari Healthline, berikut ini daftar obat yang bisa berinteraksi dengan hydroxychloroquine:

  • Obat jantung: digoxin;
  • Obat diabetes: chlorpropamide, glizide, glimepiride, glyburide, dan repaglinide;
  • Obat aritmia;
  • Obat malaria seperti mefloquine;
  • Obat penekan sistem imun.

Baca Juga: Terapi Plasma Konvalesen di Indonesia, Harapan Besar Melawan COVID-19

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya