5 Hal Mendasar yang Perlu Kamu Tahu tentang HSP, Bukan Baperan!
Ternyata kepribadian ini bersifat genetik
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Apakah kamu punya teman atau kenalan yang super sensitif? Misalnya, dia mudah tersinggung oleh ucapan yang tidak dia suka dan memasukkannya ke hati, atau mungkin mudah terganggu dengan suara bising?
Jangan salah sangka dan keburu kesal dulu. Nyatanya, itu bukan sekadar sensitif, baperan, atau ambekan lho. Ada orang-orang yang punya kondisi highly sensitive person (HSP), yang mana karakternya memang lebih sensitif daripada orang-orang pada umumnya.
Berikut ini adalah hal-hal yang mesti kamu tahu tentang HSP. Baca sampai habis, ya!
1. Bukan gangguan mental, melainkan karakter atau sifat manusia
HSP adalah sebutan umum bagi seseorang yang mempunyai karakter kepribadian sensory-processing sensitivity (SPS). Penemu istilah dan karakter tersebut adalah pasangan psikolog Elaine Aron dan Arthur Aron di tahun 1990.
Sebuah studi berjudul "Sensory Processing Sensitivity: Factors of the Highly Sensitive Person Scale and Their relationships to Personality and Subjective Health Complaints" dalam jurnal "Perceptual and Motor Skills" tahun 2006 menyebutkan bahwa Aron, dalam bukunya yang berjudul "The Highly Sensitive Person" (1996) memperkirakan bahwa seperlima populasi memiliki HSP terhadap berbagai variasi informasi maupun stimulan.
Pada tahun 2012, pasangan Aron dan rekan sejawatnya, Jadzia Jagiellowicz, menerbitkan studi berjudul "Sensory Processing Sensitivity: A Review in the Light of the Evolution of Biological Responsivity" yang dimuat dalam jurnal "Personality and Social Psychology Review". Di situ dikatakan bahwa SPS bersifat genetik dan ada sejak lahir.
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa lingkungan di masa awal kanak-kanak juga memengaruhi. Dilansir Psychology Today, berdasarkan buku "The Orchid and The Dandelion: Why Some Children Struggle and How All Can Thrive" yang ditulis oleh dokter spesialis anak W. Thomas Boyce, trauma psikologis dan kemalangan dapat menghambat perkembangan otak dan proses belajar serta perkembangan fisik serta mental di masa kanak-kanak yang bisa berlanjut selamanya.
Baca Juga: Banyak Manfaatnya, Ini 6 Hobi yang Bisa Meningkatkan Kesehatan Mental
Editor’s picks
Baca Juga: Ngeri! Ini 5 Akibat yang Akan Diterima Jika Terlalu Sering Marah-marah
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.