TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Risiko Stroke Perempuan dengan Endometriosis Mungkin Lebih Tinggi

Ditemukan memiliki risiko 34 persen lebih besar kena stroke

ilustrasi rekan kerja. (pexels.com/Alexander Suhorucov)

Perempuan dengan endometrosis mungkin memiliki risiko stroke yang lebih tinggi. Ini dilaporkan lewat penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Stroke pada Oktober 2022 lalu.

Temuan ini berpotensi berdampak pada banyak perempuan. Di Indonesia, data insidensi dan prevalensi endometriosis belum dapat dipastikan karena kurangnya studi. Namun, ada laporan dari RSUD dr. Soetomo, Surabaya, yang menyatakan bahwa endometriosis terjadi pada 13,6–69 persen perempuan yang mengalami infertilitas.

Temuan studi ini menunjukkan bahwa penyedia layanan kesehatan perlu melihat kesehatan perempuan secara keseluruhan, termasuk peningkatan tekanan darah, kolesterol tinggi, dan faktor baru stroke lainnya, tidak hanya gejala khusus yang terkait dengan endometriosis, seperti nyeri panggul atau infertilitas, seperti nyeri panggul atau infertilitas.

Baca Juga: 5 Cara Mengatasi Stres bagi Pejuang Endometriosis

Menganalisis data dari 112.056 perempuan berusia antara 25 dan 42 tahun

ilustrasi perempuan dengan endometriosis (pexels.com/Alexander Suhorucov)

Secara keseluruhan, penelitian tentang endometriosis dan stroke sangat terbatas. Inilah yang mendorong Leslie V. Farland, Sc.D., dari University of Arizona, Amerika Serikat (AS) dan rekan untuk melihat bagaimana endometriosis dapat memengaruhi risiko stroke—terutama karena penelitian sebelumnya dari timnya mengamati hubungan antara endometriosis dan peningkatan risiko titik akhir penyakit kardiovaskular termasuk hipertensi, kolesterol tinggi, dan infark miokard.

Untuk penelitian tersebut, Farland dan tim menganalisis data dari 112.056 perempuan berusia antara 25 dan 42 tahun, yang terdaftar dalam Nurses' Health Study II—salah satu investigasi terbesar terhadap faktor risiko penyakit kronis utama pada perempuan. Dari lebih dari 100.000 perempuan, sebanyak 5.244 memiliki diagnosis klinis endometriosis.

Para peneliti menganalisis data yang dikumpulkan setiap 2 tahun selama periode 28 tahun, mencari perancu lain atau faktor risiko stroke, antara lain asupan alkohol, indeks massa tubuh (IMT), penggunaan kontrasepsi oral, dan pola makan. Di antara semua peserta, 893 perempuan mengalami stroke selama waktu tersebut.

Perempuan yang didiagnosis dengan endometriosis ditemukan memiliki risiko 34 persen lebih besar terkena stroke, dibandingkan dengan perempuan yang tidak memiliki endometriosis; dan risiko stroke terbesar dikaitkan dengan perempuan yang menjalani histerektomi dan/atau ooforektomi (39 persen) dan mereka yang menerima terapi hormon pascamenopause (16 persen). Para peneliti tidak menemukan hubungan antara endometriosis dan stroke pada faktor lain seperti usia, riwayat infertilitas, IMT, atau status menopause.

Perawatan tertentu dapat menyebabkan risiko lebih tinggi

ilustrasi endometriosis (healthdirect.gov.au)

Tidak sepenuhnya jelas mengapa endometriosis dapat meningkatkan risiko stroke, dan Farland mencatat bahwa penelitian tersebut tidak mengeksplorasi alasan hubungannya—hanya menemukan tautan. Studi berjudul "Laparoscopically Confirmed Endometriosis and Risk of Incident Stroke: A Prospective Cohort Study" ini juga tidak dapat mengurai risiko terkena berbagai jenis stroke, seperti stroke iskemik dan stroke hemoragik.

Namun, para peneliti punya beberapa teori.

"Itu mungkin merupakan kombinasi peradangan, peningkatan risiko faktor risiko penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi dan kolesterol tinggi, dan kemungkinan usia menopause yang lebih dini, yang disebabkan oleh operasi ginekologi," kata Farland mengutip Health.

Karena sebagian besar stroke di antara perempuan dengan endometriosis terjadi pada mereka yang menjalani prosedur operasi atau terapi hormon, kemungkinan besar itu adalah faktor, tetapi ini juga tidak jelas mengapa. Para peneliti berteori bahwa meskipun perawatan dimaksudkan untuk mengurangi gejala dan peradangan, tetapi prosedur dan perawatan itu sendiri juga dapat meningkatkan risiko stroke.

"Ada keadaan ketika histerektomi dan/atau ooforektomi adalah pilihan terbaik, tetapi kami juga perlu memastikan bahwa pasien menyadari potensi risiko kesehatan yang terkait dengan prosedur ini," kata penulis studi senior Stacey Missmer, ScD, seorang profesor kebidanan, ginekologi, dan biologi reproduksi dari Michigan State University College of Human Medicine, AS, dalam sebuah rilis.

Ia juga mengatakan bahwa penelitian lain juga menunjukkan bahwa histerektomi dikaitkan dengan peningkatkan risiko stroke bahkan jika tidak ada riwayat endometriosis.

Meskipun penelitian sebelumnya yang menghubungkan histerektomi dan/atau ooforektomi tidak melihat penyebabnya, tetapi para ahli percaya bahwa menopause, yang dipicu oleh prosedur, yang dapat berdampak pada risiko stroke.

Data terbatas pada apakah histerektomi saja berdampak pada kesehatan jantung. Namun data yang ada, yang dipublikasikan dalam jurnal Menopause tahun 2010, menunjukkan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular seperti penyakit jantung dan stroke terkait ooforektomi yang mengakibatkan menopause yang disebabkan oleh operasi (surgical menopause).

Perbedaan antara histerektomi saja dan histerektomi dan/atau ooforektomi adalah hal yang penting. Histerektomi saja seharusnya tidak berpengaruh pada produksi hormon; tetapi histerektomi dengan ooforektomi, atau ooforektomi saja, akan memengaruhi kadar hormon, karena ovarium adalah sumber utama produksi estrogen dalam tubuh.

Histerektomi bila dikombinasikan dengan ooforektomi bilateral dapat meningkatkan risiko stroke, terutama pada pasien yang lebih muda yang operasinya akan mengakibatkan menopause dini, mengutip Health. Namun, histerektomi itu sendiri tanpa pengangkatan ovarium tidak memiliki peningkatan risiko yang sama—dan itu karena histerektomi seharusnya tidak memengaruhi status hormonal perempuan, karena itu sepenuhnya bergantung pada fungsi ovarium.

Terapi hormon pascamenopause—atau terapi penggantian hormon—juga dapat memengaruhi kadar hormon. Ada peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan stroke pada perempuan yang menjalani terapi penggantian hormon, khususnya kombinasi kombinasi estrogen-progesteron. Namun, secara keseluruhan para ahli tidak memahami risiko ini dengan hasil kesehatan jangka panjang. Penelitian lebih banyak diperlukan.

Baca Juga: Studi: Endometriosis Tingkatkan Risiko Menopause Dini

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya