TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Fakta seputar Pengembangan Vaksin HIV Berbasis mRNA

Uji klinis tahap awal vaksin HIV berbasis mRNA akan dimulai

ilustrasi virus HIV (nfid.org)

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang merusak sel-sel dalam sistem kekebalan dan melemahkan kemampuan tubuh dalam melawan infeksi dan penyakit umum.

Sementara itu, acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah nama yang digunakan untuk menggambarkan sejumlah infeksi dan penyakit yang berpotensi mengancam jiwa yang terjadi ketika sistem kekebalan telah rusak parah oleh virus HIV.

Pengobatan HIV/AIDS adalah dengan terapi antiretroviral (ARV), direkomendasikan untuk semua orang yang terinfeksi HIV. Ini tidak menyembuhkan infeksi HIV, tetapi membuatnya menjadi kondisi kronis yang dapat dikendalikan, serta mengurangi risiko penyebaran virus ke orang lain.

Hingga kini belum ada vaksin HIV. Dilansir WebMD, kesulitan kandidat vaksin yang telah diuji para orang sejauh ini adalah tidak satu pun dari mereka yang menghasilkan antibodi penetralisir luas (bnAbs) terhadap HIV, yang merupakan antibodi yang diproduksi oleh sistem kekebalan inang yang memiliki kemampuan untuk memblokir HIV di sel target.

Kabar baiknya, uji klinis tahap awal vaksin HIV berbasis mRNA dimulai bulan pada September 2021, menurut data studi yang diunggah di laman United States National Institutes of Health Clinical Trial.

1. Uji klinis akan dilakukan oleh Moderna

ilustrasi vaksin Moderna (clinicaltrialsarena.com)

Dilansir Healthline, perusahaan farmasi dan biotek Moderna dikabarkan akan memulai uji klinis pada manusia untuk dua vaksin HIV berbasis mRNA baru pada 19 September 2021.

Vaksinnya sendiri akan menggunakan teknologi yang dikembangkan oleh Moderna, teknologi yang sama yang digunakan untuk vakin COVID-19. Uji klinis ini, yang didasarkan pada penleitian sebelumnya oleh International AIDS Vaccine Initiative (IAVI) dan Scripps Research, akan uji tahap pertama. Tujuan akhirnya adalah untuk merangsang sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi penetralisir yang luas yang menargetkan beberapa strain HIV.

Uji klinis ini diperkirakan akan berlangsung hingga Mei 2023.

2. Menargetkan beberapa jenis HIV

ilustrasi virus HIV (avert.org)

Pada COVID-19, vaksin mRNA dapat melatih sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan protein spike dan mencegah virus menginfeksi sel.

Menurut keterangan dari National Institutes of Health, HIV juga memiliki protein spike yang dikenal sebagai Env atau protein amplop. Bentuk protein ini bervariasi di antara berbagai jenis virus, sehingga lebih sulit untuk ditargetkan dengan antibodi.

“Antibodi terhadap satu virus–terhadap satu spike HIV–tidak akan memblokir spike HIV lainnya,” kata William Schief, PhD, seorang profesor dan ahli imunologi di Scripps Research, dalam video YouTube yang dirilis oleh Scripps.

“Kita harus mendapatkan antibodi yang mengikat tambalan spesifik pada spike yang tidak banyak berubah,” katanya.

Pada awal 1990-an, para ilmuwan pertama kali mengisolasi antibodi penetralisir secara luas yang menargetkan area protein amplop HIV yang tidak berubah, atau dilestarikan ini. Antibodi tambahan telah diidentifikasi sejak saat itu.

Namun, beralih dari vaksin ke antibodi penetralisir secara luas membutuhkan beberapa langkah. Schief dan rekan-rekannya di Scripps dan IAVI mengembangkan kandidat vaksin yang merangsang sistem kekebalan untuk menghasilkan sel-sel prekursor yang diperlukan untuk memulai proses ini.

Hasil yang dirilis awal tahun ini dari uji klinis fase 1 menunjukkan bahwa 97 persen peserta yang menerima vaksin menunjukkan respons imun yang diinginkan. Dari sini, para peneliti berharap penelitian dapat mengarah pada penetralan antiobodi terhadap HIV secara luas.

3. Mengapa menggunakan teknologi mRNA?

ilustrasi vaksin (pexels.com/rethaferguson)

Teknologi messenger RNA atau mRNA mengandung cetak biru untuk membuat protein tertentu. Vaksin mRNA mengirimkan instruksi ini ke sel, yang kemudian menghasilkan protein.

Dalam uji coba fase 1 menggunakan teknologi Moderna, vaksin mRNA akan membawa instruksi untuk protein yang merangsang sistem kekebalan dengan cara yang sama seperti uji coba yang dilakukan Scripps dan IAVI sebelumnya.

Uji coba ini akan melibatkan 56 orang sehat tanpa HIV, dan akan menguji dua versi kandidat vaksin. Dua kelompok orang akan menerima campuran dari dua kandidat vaksin, dan dua kelompok lainnya akan menerima satu atau yang lain.

Para peneliti akan melihat apakah vaksin menghasilkan respons imun yang diinginkan– sel-sel prekursor kekebalan–dan apakah ada masalah keamanan.

Ini hanyalah langkah pertama dari beberapa uji klinis, sehingga perlu beberapa waktu sebelum para ilmuwan mengetahui apakah pendekatan ini dapat mencegah infeksi HIV. 

4. Tes dan pengobatan HIV masih sangat penting

ilustrasi obat-obatan (unsplash.com/Christina Victoria Craft)

Meskipun teknologi mRNA memang tampak menjanjikan, tetapi selama beberapa dekade terakhir, menemukan vaksin yang aman dan efektif untuk mencegah HIV sangat menantang dan butuh waktu.

Terakhir kabar mengecewakan datang dari uji klinis vaksin HIV yang menggunakan teknologi yang sama dengan vaksin adenovirus (Ad26) COVID-19 Johnson & Johnson.

Studi yang dinamakan "Imbokodo" ini melibatkan sekitar 2.600 perempuan di Afrika bagian selatan yang berisiko tinggi terinfeksi HIV. Hasilnya, vaksin tersebut hanya memiliki khasiat 25 persen, jauh dari target sebesar 50 persen.

Peneliti menyebut bahwa HIV adalah virus yang memerlukan tingkat respons kekebalan yang lebih tinggi untuk mencapai perlindungan efektif. Uji coba vaksin HIV kedua yang menguji rejimen vaksin yang berbeda pada populasi yang berbeda akan dilanjutkan.

Sementara menunggu ditemukannya vaksin HIV, penularan dan infeksi HIV tetap bisa dilakukan dengan tes dan pengobatan. Selain terapi ARV untuk orang-orang dengan HIV, kini pun sudah tersedia obat pre-exposure prophylaxis (PrEP), yaitu obat pencegah penularan infeksi bagi orang-orang yang berisiko tinggi tertular HIV dari hubungan seks atau penggunaan narkotika suntik.

Menurut UNAIDS, sekitar 37 orang di dunia hidup dengan HIV. Pada tahun 2020, sebanyak 1,5 juta orang tertular virus ini.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya