Banjir yang melanda berbagai wilayah di Sumatra—dari Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat—dapat mengguncang kehidupan sehari-hari anak-anak. Rutinitas anak-anak dari mulai sekolah, bermain, hingga waktu makan sering terganggu akibat dampak banjir, termasuk relokasi ke tempat penampungan, keterbatasan staf dapur umum, dan ketidakpastian pangan.
Dalam kondisi seperti itu, gangguan makan bukan cuma “anak malas makan”. Dalam banyak kasus, itu dapat muncul sebagai food aversion, yakni penolakan atau kehilangan minat terhadap makanan tertentu, sering kali tanpa alasan fisik yang jelas.
Secara umum, pengalaman krisis seperti banjir bisa menciptakan lingkungan traumatis bagi anak. Rasa takut, cemas, dan perubahan besar dalam rutinitas sehari-hari berperan penting dalam perilaku makan mereka. Apa yang biasanya dimakan sehari-hari dapat berubah drastis ketika keluarga tergantung pada bantuan makanan darurat yang sering kali standar (jika tidak di bawah standar) tidak bervariasi, dan tidak selalu sesuai kebiasaan atau preferensi anak. Perubahan drastis ini berpotensi memicu penolakan atau bahkan trauma terhadap makanan yang sebelumnya ia sukai.
Dalam konteks bencana, masalah nutrisi anak bukan hanya soal kecukupan kalori, tetapi juga kualitas pola makan, emosi, dan pengalaman psikologis seputar makanan. Studi kajian gizi anak dalam krisis menunjukkan bahwa trauma situasional dan gangguan pola makan sering menjadi masalah panjang setelah bencana, terutama jika intervensi gizi yang komprehensif belum tersedia.
