- Paparan langsung pada kejadian mengancam nyawa
Risiko Trauma Air pada Anak yang Terdampak Banjir

- Banjir dan pengungsian meningkatkan risiko gangguan mental pada anak, termasuk ketakutan spesifik terhadap air.
- Trauma air bisa muncul sebagai gejala stres pascatrauma, fobia air, kecemasan berlebih, mimpi buruk, atau perilaku menghindar. Penyebabnya multifaktorial.
- Pencegahan efektif bergantung pada respons psikososial cepat: perlindungan anak, stabilisasi rutinitas, komunikasi penuh empati, aktivitas penyembuhan, dan akses dukungan kesehatan mental dan psikososial.
Banjir bukan hanya merendam atau merusak rumah dan jalan. Bagi banyak anak, banjir juga menenggelamkan rasa aman sehari-hari. Di sejumlah wilayah Indonesia, hujan lebat dan luapan sungai memaksa keluarga mengungsi, meninggalkan barang, sekolah, dan rutinitas yang selama ini memberi rasa aman. Kondisi seperti ini membuat pengalaman banjir menjadi memori traumatis bagi anak yang belum punya alat batin untuk memproses kejadian seperti itu.
Trauma terhadap air—yang kita sebut di sini “trauma air”—bisa muncul dalam bermacam wujud, seperti takut mendekati sungai, panik saat mendengar suara hujan deras, atau mimpi buruk berkaitan dengan tenggelam.
Bentuknya bukan selalu fobia yang jelas, sering kali tersembunyi di balik perubahan perilaku, kesulitan tidur, atau penurunan konsentrasi di sekolah. Penelitian tentang dampak bencana alam pada anak menunjukkan bahwa paparan banjir meningkatkan prevalensi gangguan stres pascatrauma (PTSD), kecemasan, dan depresi pada populasi anak.
Karena banjir kadang memaksa keluarga tinggal lama di pengungsian, masalah ini tidak serta-merta hilang dengan surutnya air. Tanpa intervensi yang tepat, yang melibatkan pengasuh, pengelola pengungsian, dan layanan kesehatan mental komunitas, jejak emosi akibat banjir bisa menetap lama dan memengaruhi perkembangan anak. Dibutuhkan dukungan psikososial berkelanjutan bagi anak yang terkena bencana iklim dan perpindahan.
Penyebab anak-anak yang terdampak banjir dapat mengalami trauma air

Ada beberap faktor penyebab anak-anak yang terdampak banjir dapat mengalami trauma air, seperti:
Anak yang menyaksikan atau mengalami sendiri detik-detik mengerikan—seperti air yang mendadak naik, orang terjebak, atau kehilangan anggota keluarga—mengalami beban emosional besar. Paparan langsung ini merupakan salah satu faktor utama munculnya gejala PTSD atau kecemasan berat setelah banjir. Studi pascabencana menunjukkan prevalensi PTSD yang meningkat di antara korban banjir, termasuk anak-anak.
Bentuknya bisa berupa mimpi buruk berulang, kilas balik (flashback), ketakutan intens saat dekat air, atau kecemasan yang muncul tanpa pemicu jelas. Perilaku menghindar (tidak mau mandi, menolak bermain di dekat air) sering muncul sebagai bentuk perlindungan diri.
- Kehilangan dan ketidakpastian (harta, rumah, sekolah, dan lain-lain)
Selain takut terhadap air itu sendiri, trauma juga bisa berasal dari kehilangan rutinitas, teman, sekolah, atau barang-barang berharga. Ketidakpastian masa depan—misalnya kapan kembali rumah, bagaimana kondisi orang tua—memperpanjang stres kronis yang membuat anak rentan terhadap gangguan emosional. Penelitian tentang bencana menunjukkan bahwa perpindahan dan kehilangan dukungan sosial memperburuk efek psikologis pada anak.
Bentuknya bisa berupa penarikan diri, penurunan prestasi belajar, mudah marah, menangis tanpa penyebab yang jelas, atau ketergantungan berlebihan pada pengasuh.
- Gangguan pada pola perawatan dan pengasuhan
Orang tua yang mengalami trauma, kehilangan, atau kelelahan akibat kondisi pengungsian cenderung kurang responsif secara emosional. Ketika pengasuhan terganggu, anak kehilangan cermin aman untuk mengekspresikan emosi, dan ini memperbesar risiko trauma menjadi masalah jangka panjang. Studi menunjukkan hubungan kuat antara kesehatan mental orang tua pascabencana dan kondisi psikologis anak.
Tanda-tandanya bisa berupa kecemasan yang "ditularkan", kesulitan tidur, atau perilaku regresif pada anak (misalnya mengompol, kembali pada kebiasaan bayi).
- Pemicu sensorik dan media
Suara hujan deras, sirene, atau berita tentang banjir berikutnya bisa memicu reaksi kecemasan berulang pada anak yang pernah trauma. Hal-hal ini berfungsi sebagai “pemicu” yang mengingatkan kembali pengalaman buruk. Paparan berulang terhadap pengingat seperti itu tanpa adanya proses pendukung dapat mempertahankan atau memperburuk gejala.
Tanda-tandanya dapat meliputi panik, mual, ingin segera lari atau bersembunyi ketika hujan mulai turun, atau menolak meninggalkan rumah.
Apa yang bisa dilakukan pengasuh atau orang tua untuk mencegah trauma air pada anak?

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pengasuh atau orang tua untuk mencegah trauma air pada anak:
- Stabilisasi dan keamanan fisik
Prioritaskan rasa aman: tempat tidur yang konsisten di pengungsian, pakaian hangat, dan makanan teratur.
Rasa aman fisik adalah dasar agar anak bisa mulai memproses emosi. Layanan darurat dan pengelola pengungsian harus menempatkan keluarga dengan anak pada area yang relatif tenang dan terlindungi. Stabilisasi kebutuhan dasar sebagai langkah awal yang penting.
- Rutinitas dan keteraturan
Kembalikan rutinitas sederhana, seperti waktu makan, waktu tidur, aktivitas belajar atau bermain secepat mungkin. Rutinitas memberi prediktabilitas dan kontrol yang menenangkan bagi anak. Sekolah darurat atau ruang permainan di pengungsian juga berperan besar memulihkan normalitas.
- Komunikasi yang jelas dan sesuai usia
Bicara dengan bahasa yang mudah dimengerti tentang apa yang terjadi. Hindari menggunakan detail yang menakutkan. Dengarkan cerita anak tanpa menghakimi, beri label pada perasaan mereka (misalnya: “aku tahu kamu takut, itu wajar”), dan berikan kepastian yang nyata (misalnya: “kita aman sekarang dan kita bersama”). Teknik ini membantu regulasi emosi anak. Direkomendasikan untuk menggunakan komunikasi empatik sebagai kunci intervensi psikososial awal.
- Bermain dan ekspresi kreatif
Bermain merupakan bahasa anak: melalui permainan mereka memproses pengalaman traumatis. Sediakan kegiatan bermain aman, menggambar, bernyanyi, atau bercerita terstruktur yang memungkinkan mereka mengekspresikan ketakutan secara simbolik dan diproses bersama pengasuh. Studi kualitatif tentang anak pascabencana menemukan permainan terstruktur sebagai alat kuat untuk pemulihan.
- Pantau tanda-tanda yang mengkhawatirkan dan cari rujukan jika perlu
Jika ketakutan terhadap air sangat intens (misalnya panik setiap kali hujan), muncul gejala PTSD yang menetap, regresi fungsi sehari-hari, atau adanya gejala depresi dan isolasi panjang, segera cari dukungan profesional kesehatan mental.
Sistem rujukan dari pos kesehatan/puskesmas atau organisasi kemanusiaan di lokasi pengungsian penting untuk deteksi dini.
Trauma air pada anak pascabanjir adalah fenomena nyata dan kompleks yang dapat lahir dari paparan ancaman nyata, kehilangan, gangguan rutinitas, dan gangguan pengasuhan.
Bentuknya bisa bermacam-macam, dari fobia terhadap air hingga tanda-tanda stres pascatrauma yang lebih luas. Dukungan awal yang hangat, rutinitas yang konsisten, permainan sebagai medium ekspresi, dan akses ke layanan dukungan kesehatan mental dan psikososial dapat mencegah masalah emosional menjadi kronis.
Penting diingat bahwa penanganan efektif bukan hanya tugas orang tua. Diperlukan juga peran dari komunitas, penyelenggara pengungsian, sekolah, dan layanan kesehatan. Dengan intervensi yang tepat waktu dan berorientasi anak, jejak trauma akibat banjir bisa diperpendek sehingga anak-anak kembali merasa aman dan berkembang sebagaimana mestinya.
Referensi
Douglas, F. E., et al. "Effectiveness of mental health and psychosocial support interventions in humanitarian settings: a systematic review." World Health Organization, 2025. Diakses Desember 2025.
Meltzer, G. Y., et al. “The effects of cumulative natural disaster exposure on child and adolescent mental health.” PMC (2021). Diakses Desember 2025.
Golitaleb, M., et al. “Prevalence of Post-traumatic Stress Disorder After Flood.” PMC (2022). Diakses Desember 2025.
International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC)/PS Centre. "Mental health and psychosocial impacts of flooding." 2023. Diakses Desember 2025.
UNICEF Innocenti. "Children Displaced in a Changing Climate." 2023. Diakses Desember 2025.
ReliefWeb. “Children at Highest Risk, Humanitarian Access Remain Severed: Floods Devastate Communities Across Sumatra.” December 9, 2025. Diakses Desember 2025.
Schürr, A., et al. “Mental health in adolescents after experiencing a flood: qualitative study.” PMC (2023). Diakses Desember 2025.


















