pexels.com/Karolina Grabowska
Ketika kamu minum obat, obat akan melalui beberapa proses sebelum akhirnya kamu mendapatkan manfaatnya. Obat harus diserap di saluran cerna, diedarkan melalui pembuluh darah, lalu dimetabolisme di hati sebelum dikeluarkan melalui ginjal dan organ sekresi lainnya.
Dalam tahapan tersebut, faktor gen memegang pengaruh yang cukup besar untuk obat dapat menghasilkan manfaat yang semestinya.
Ilmu farmakogenomik sangat berdampak pada keputusan pemberian obat oleh dokter. Beberapa efek samping yang dihasilkan obat tidak lepas dari peran genetik seseorang. Obat yang seharusnya bermanfaat, malah bisa tidak memberikan hasil apa pun, atau bahkan menimbulkan efek buruk bagi tubuh.
Saat ini, sudah banyak informasi terkait pengaruh genetik terhadap berbagai jenis obat. Mari kita ambil satu contoh obat, omeprazole, obat yang sering digunakan untuk sakit mag.
Omeprazole semestinya berguna untuk menurunkan asam lambung, sehingga mag berhenti. Di dalam hati, obat ini dimetabolisme oleh enzim CYP2C19. Pada buku "Goodman and Gillman's The Pharmacological Basis of Therapeutics", dikatakan bahwa pada orang-orang yang mengalami defisiensi enzim CYP2C19, mereka akan mengalami reaksi berbeda ketika meminum obat ini. Alih-alih mag berhenti, lambung malah jadi luka dan menyebabkan ulkus peptikum (ulkus lambung).
Contoh kasus lainnya dapat dilihat dari obat kodein, yaitu obat pereda batuk. Menurut jurnal "Current Topics in Medicinal Chemistry", pada orang-orang yang mengalami defisiensi enzim CYP2D6, meminum obat ini akan membuat efektivitas obat menurun. Hal ini membuat obat tidak bekerja secara optimal dan mengurangi manfaatnya.