ilustrasi obat osteoporosis (freepik.com/prostooleh)
Jika kamu ditawarkan terapi obat oleh dokter, itu berarti risiko tulangmu patah cukup tinggi sehingga tulang akan mendapat manfaat dari obat. Sebelum merekomendasikan obat, dokter mempertimbangkan banyak hal, seperti:
Seberapa besar kemungkinan tulangmu patah tanpa pengobatan.
Jenis terapi yang paling sesuai (tablet, suntikan, atau infus).
Apakah kamu pernah menjalani terapi obat tulang sebelumnya.
Kondisi kesehatan lain yang kamu miliki.
Obat-obatan lain yang sedang kamu konsumsi.
Ketersediaan jenis pengobatan di rumah sakit atau klinik tempatmu berobat.
Preferensi kamu terhadap pengobatan.
Ada berbagai pilihan terapi untuk osteoporosis dan tulang rapuh, tetapi tidak semuanya cocok untuk setiap orang. Misalnya, ada tablet yang harus diminum setiap hari, yang mungkin terasa merepotkan bagi sebagian orang. Beberapa obat hanya diberikan jika terapi lain sudah dicoba atau tidak cocok. Di beberapa daerah, aturan setempat juga membatasi jenis obat yang bisa diresepkan dokter.
Secara garis besar, obat-obatan ini bekerja dengan dua cara, yaitu memperlambat hilangnya massa tulang dan menjaga kekuatan rangka atau merangsang pertumbuhan tulang baru. Kedua mekanisme ini pada akhirnya bertujuan meningkatkan kekuatan tulang dan mengurangi risiko patah tulang.
Berikut ini jenis obat yang tersedia:
Bisfosfonat merupakan kelompok obat terbesar untuk osteoporosis, dengan beberapa jenis yang sudah lama digunakan, termasuk alendronat yang diperkenalkan pada tahun 1995 dan risedronat pada tahun 2000. Obat-obatan ini bekerja memperlambat hilangnya massa tulang, sehingga membantu menjaga kekuatan rangka.
Dalam praktik medis, bisfosfonat sering menjadi pilihan pertama yang diresepkan dokter sebagai lini awal pengobatan osteoporosis. Cara pemberiannya ada dua: diminum dalam bentuk tablet (oral) atau melalui infus intravena, tergantung kebutuhan dan kondisi pasien.
Raloksifen mulai digunakan pada tahun 1997 sebagai obat dari kelompok selective estrogen receptor modulator (SERM). Obat ini ditujukan untuk perempuan pascamenopause dengan osteoporosis, dengan manfaat ganda: menurunkan risiko patah tulang sekaligus mengurangi risiko kanker payudara invasif.
Pada masa pascamenopause, kadar estrogen menurun sehingga proses pengeroposan tulang (resorpsi) berlangsung lebih cepat dibanding pembentukan tulang baru. Akibatnya, massa tulang berkurang dan tulang menjadi rapuh. Raloksifen membantu menyeimbangkan proses ini, sehingga kepadatan tulang tetap terjaga lebih lama.
Denosumab mulai digunakan pada tahun 2010. Obat ini merupakan antibodi sintetis yang bekerja secara khusus menetralkan sel-sel tulang yang bertugas menyerap dan merombak tulang (osteoklas). Dengan menghambat pembentukan osteoklas, proses pengeroposan tulang dapat ditekan.
Hasilnya, kepadatan tulang meningkat, kekuatan dan struktur tulang tetap terjaga, serta risiko patah tulang akibat osteoporosis berkurang secara signifikan.
Analog paratiroid merupakan terapi yang sangat efektif untuk osteoporosis berat, bekerja mirip dengan hormon paratiroid alami (PTH) yang berperan dalam menjaga kepadatan tulang. Obat dalam kelompok ini termasuk teriparatid yang diperkenalkan pada tahun 2002 dan abaloparatid pada tahun 2017.
Berbeda dengan obat yang hanya memperlambat pengeroposan, analog paratiroid bersifat anabolik, yang artinya merangsang pembentukan tulang baru. Hasilnya, kepadatan tulang dapat meningkat secara signifikan, sehingga kekuatan tulang lebih terjaga dan risiko patah tulang berkurang.
Romosozumab mulai digunakan pada tahun 2019 dan merupakan obat terbaru yang dikembangkan untuk menangani osteoporosis berat. Obat ini adalah antibodi monoklonal sintetis yang bekerja dengan menetralkan protein tertentu pada jalur metabolisme tulang, yaitu sclerostin.
Pendekatan baru ini memungkinkan tubuh memproduksi lebih banyak sel pembentuk tulang (anabolik), sehingga kepadatan tulang dapat meningkat dengan cepat. Hasilnya, kekuatan tulang lebih terjaga dan risiko patah tulang akibat osteoporosis dapat berkurang secara signifikan.
Saat memasuki masa menopause, laju pengeroposan tulang meningkat tajam. Hal ini terjadi karena kadar estrogen dalam tubuh menurun drastis. Padahal, estrogen berperan penting melindungi tulang. Ketika perlindungan ini hilang, risiko osteoporosis pun meningkat.
Kondisi kekurangan estrogen juga bisa dialami oleh orang yang lebih muda, misalnya pada kasus hipoestrogenisme, dan dapat menyebabkan hilangnya massa tulang.
Dulu, terapi estrogen sering diberikan untuk mencegah pengeroposan lebih lanjut, baik pada perempuan pascamenopause maupun mereka yang kekurangan hormon ini. Namun, seiring waktu ditemukan bahwa terapi estrogen membawa risiko tambahan, seperti kanker payudara, stroke, serangan jantung, dan penggumpalan darah. Karena itu, penggunaannya kini jarang direkomendasikan, kecuali bila juga diperlukan untuk mengatasi gejala menopause lain, misalnya hot flash, yang mengganggu kualitas hidup.
Bagaimana jika tidak diobati?
Jika kamu memutuskan untuk tidak menjalani pengobatan dengan obat, tulang kemungkinan akan makin melemah seiring waktu. Artinya, risiko patah tulang akan meningkat.
Bagi sebagian orang, mungkin tidak pernah terjadi patah tulang sama sekali. Namun, bagi yang lain, bisa saja mengalami beberapa kali patah tulang sepanjang hidup. Karena setiap orang memiliki tingkat risiko yang berbeda, penting untuk benar-benar memahami kondisi diri sendiri dan membuat keputusan yang paling tepat untukmu.