Salah satu vektor (hewan yang menjadi perantara menularnya penyakit) arbovirus yang paling umum adalah Aedes aegypti, yang dapat menyebarkan demam kuning, demam berdarah, chikungunya, dan Zika.
Akibat perdagangan budak di Afrika dan meningkatnya globalisasi, penyebaran A. aegypti berkembang secara dramatis sepanjang abad ke-15 hingga ke-19. Hal ini mengakibatkan banyak epidemi demam berdarah yang menyebar ke seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Utara pada abad ke-18 dan ke-19.
Penemuan pertama bahwa nyamuk dapat menjadi vektor patogen pada manusia adalah penemuan penularan cacing filaria oleh nyamuk oleh Sir Patrick Manson pada 1878.
Pada tahun 1881, Carlos Finlay, seorang dokter dan ilmuwan Kuba, berhipotesis bahwa agen etiologi yang bertanggung jawab atas demam kuning mungkin dibawa oleh nyamuk, dan teori ini dibuktikan kebenarannya oleh Mayor Walter Reed yang, pada tahun 1900, membuat pengamatan pertama bahwa virus pada manusia, virus demam kuning (YFV), dapat ditularkan melalui nyamuk.
Konsep dan istilah penularan virus “yang ditularkan melalui artropoda/arthropod-borne” pertama kali diperkenalkan ke bidang virologi pada tahun 1942, dan seiring dengan dipublikasikannya penemuan-penemuan perintis, istilah virus yang ditularkan melalui artropoda, atau arbovirus, terus berkembang.
Penemuan besar berikutnya terjadi pada tahun 1906, ketika demam berdarah diketahui ditularkan oleh A. aegypti, sehingga demam berdarah dan demam kuning menjadi dua penyakit pertama yang diketahui disebabkan oleh virus.
Setelah itu, muncullah penemuan ensefalitis bawaan caplak atau (tick-borne encephalitis) pada tahun 1936 dan virus West Nile pada tahun 1937.
Karena peningkatan jaringan transportasi global, adaptasi vektor artropoda ke perkotaan, peningkatan penyebaran nyamuk akibat perubahan iklim dan kegagalan dalam membendung wabah nyamuk, arbovirus telah berkembang pesat.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebelum tahun 1970 hanya sembilan negara yang mengalami epidemi demam berdarah yang serius, tetapi penyakit ini kini menjadi endemik di lebih dari 100 negara.
Walaupun kemunculan arbovirus meningkat di seluruh dunia, tetapi satu arbovirus telah menjadi perhatian khusus dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 1947, virus Zika pertama kali diidentifikasi pada monyet; lima tahun kemudian penyakit itu ditemukan pada manusia. Selama beberapa dekade berikutnya, penyebaran Zika meluas, tetapi tidak ada wabah dan hanya 14 kasus Zika pada manusia yang tercatat. Karena kurangnya kasus, virus ini tidak menjadi perhatian secara keseluruhan hingga tahun 2007, ketika terjadi wabah besar di Pulau Yap di Pasifik.
Pada tahun-tahun berikutnya, penyelidikan intensif dilakukan terhadap wabah besar di empat Kepulauan Pasifik lainnya. Setelah wabah besar pada tahun 2015 di Brasil, kejadian mikrosefali (cacat lahir yang mana kepala bayi jauh lebih kecil dari biasanya) meningkat tajam. Tak lama setelah wabah, diumumkan bahwa Zika dikaitkan dengan peningkatan mikrosefali dan gangguan neurologis lainnya.