ilustrasi virus corona SARS-CoV-2 (wikimedia.org/NIAID)
Jika bukan hewan, teori selanjutnya menduga bahwa Omicron bersirkulasi di daerah yang rendah pengawasan sebelum bermutasi dan merebak. Dokter Nadia membantah teori tersebut, dan mengatakan bahwa salah satu faktor risiko terbesar dari munculnya varian Omicron ini adalah upaya protokol kesehatan yang diabaikan.
"Jadi, pada waktu SARS-CoV-2 menular atau menginfeksi, virus akan beradaptasi dengan manusia tersebut. Kenapa dia tertular? Karena tidak ada prokes, tidak divaksinasi, dan daya tahannya jadi berkurang karena kondisi tersebut," dr. Nadia menjelaskan.
Trevor juga tidak setuju dengan teori tersebut. Jika kemungkinannya seperti itu, maka versi awal Omicron harus menyebar dengan sangat luas sebelum "meledak" di Afrika bagian selatan. Kalaupun begitu, varian Omicron seharusnya sudah keburu terdeteksi.
Di sisi lain, epidemiolog dari University of KwaZulu-Natal yang ikut pertama kali menemukan Omicron, Richard Lessells, justru setuju dengan skenario tersebut. Ia mencatat bahwa ada beberapa kawasan di Afrika di mana pengecekan COVID-19 belum memadai.
Selain itu, Omicron juga menunjukkan hasil berbeda di tes polymerase chain reaction (PCR). Oleh karena itu, saat Richard dan timnya menerima PCR yang aneh tersebut dan mengurutkan genomnya, mereka menemukan varian Omicron.
"Ada titik buta yang amat besar hingga kita bisa kecolongan sebuah virus yang sudah berevolusi dalam hitungan bulan," kata Richard.