ilustrasi laki-laki mengalami depresi (pexels.com/Alena Darmel)
Sebuah studi menemukan bahwa banyak orang dengan depresi juga memiliki tingkat sirkulasi vitamin D yang rendah dalam darahnya (Current Drug Targets, 2018). Dari hasil penelitian ini, para ahli meyakini ada kemungkinan kedua faktor tersebut saling berkaitan.
Penelitian lain menunjukkan bahwa rendahnya kadar vitamin D selama kehamilan berhubungan dengan depresi pascapersalinan (Advanced Biomedical Research, 2020).
Demikian pula, para peneliti telah menemukan kemungkinan hubungan antara depresi dan rendahnya kadar vitamin D pada penderita asam urat, cedera tulang belakang kronis, stroke, dan multiple sclerosis.
Selain itu, penelitian juga menunjukkan berbagai kelompok orang mengalami perbaikan gejala depresi setelah mereka mulai mengonsumsi suplemen vitamin D.
Studi lainnya mengamati bahwa vitamin D mengatur ekspresi gen untuk salah satu enzim penting tirosin hidroksilase, yang terlibat dalam sintesis dopamin dan norepinefrin (Annals of General Psychiatry, 2022). Neurotransmitter ini terkenal karena perannya dalam depresi dan gangguan mood.
Vitamin D juga merangsang reseptor di wilayah otak yang berkaitan dengan pengaturan emosi dan perilaku, seperti sistem limbik, korteks, dan otak kecil. Ini juga merangsang pelepasan neurotropin, yang memiliki peran penting dalam regulasi perkembangan saraf.
Namun, potensi manfaat tersebut belum sepenuhnya jelas. Sebuah penelitian besar yang melibatkan lebih dari 18.000 orang dengan depresi menemukan bahwa mengonsumsi 2.000 IU vitamin D per hari selama 5 tahun tidak menyebabkan perbedaan skor depresi yang signifikan dibandingkan dengan mengonsumsi plasebo (JAMA, 2020).
Karena temuannya sangat beragam, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengetahui kaitan antara kekurangan vitamin D dan depresi. Juga, bagaimana mengonsumsi suplemen vitamin D dapat memengaruhi gejala depresi.