Bikin Resah, Ini 5 Mitos Seputar Vaksin yang Perlu Diluruskan Faktanya
.jpg)
Saat ini, vaksin menjadi salah satu cara paling efektif untuk mencegah tertularnya berbagai penyakit berbahaya. Bahkan, di beberapa negara, vaksin menjadi sebuah keharusan bagi warganya.
Sayangnya, masih ada segelintir orang yang mengkhawatirkan keamanan vaksin, bahkan hal ini telah mengembangkan berbagai mitos dan kesalahpahaman tentang vaksinasi. Akhirnya, ini membuat sejumlah orang cenderung menolak vaksinasi. Padahal, vaksinasi bukan hanya penting bagi individu tapi juga bisa menjadi tolok ukur kesejahteraan negara.
Supaya kamu tidak terpengaruh oleh mitos yang berkembang seputar vaksinasi, yuk kita kupas tuntas berbagai mitos seputar vaksin dan fakta yang sebenarnya.
1. Mitos: Kekebalan alami lebih baik daripada kekebalan yang didapat dari vaksin

Dalam beberapa kasus, kekebalan alami, yang berasal saat individu benar-benar tertular penyakit dan jatuh sakit, dapat menghasilkan kekebalan yang lebih kuat terhadap penyakit daripada vaksinasi. Kendati demikian, risiko dari pendekatan ini jauh lebih besar daripada manfaat relatifnya.
Misalnya, jika kamu ingin mendapatkan kekebalan terhadap campak dengan tertular penyakit, kamu akan menghadapi 1 dari 500 kemungkinan kematian akibat penyakit ini, menurut badan kesehatan CDC. Sebaliknya, jumlah individu yang mengalami reaksi alergi parah akibat vaksin MMR, kurang dari satu dari satu juta.
2. Mitos: Kebersihan dan sanitasi yang lebih baiklah sebenarnya yang bertanggung jawab atas penurunan infeksi, bukannya vaksin

Sanitasi yang lebih baik, nutrisi, dan pengembangan antibiotik memang banyak membantu mengurangi tingkat penyebaran penyakit. Tetapi, peran vaksin tetap tidak dapat disangkal.
Salah satu contohnya adalah campak di Amerika Serikat. Menurut data CDC, ketika vaksin campak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963, tingkat infeksi kala itu ada di angka sekitar 400 ribu kasus setahun. Pada tahun 1970, tingkat infeksi campak menurun drastis di angka sekitar 25 ribu kasus, meskipun kebiasaan higienis dan sanitasi tidak banyak berubah.
Contoh lain adalah penyakit Hib. Menurut data CDC, tingkat kejadian penyakit ini turun drastis dari 20.000 pada tahun 1990 menjadi sekitar 1.500 pada tahun 1993, setelah pengenalan vaksin.
3. Mitos: Alih-alih mencegah penyakit, vaksin justru dapat menginfeksi individu dengan penyakit

Setelah pemberian vaksin, individu memang dapat mengalami gejala ringan yang menyerupai gejala penyakit yang ingin mereka cegah. Sayangnya, masih banyak orang yang salah paham dan mengira bahwa gejala ini menandakan infeksi. Tapi yang sebenarnya adalah, penerima vaksin mengalami respons kekebalan tubuh terhadap vaksin.
Memang, menurut WHO, pernah tercatat satu kasus di mana vaksin pernah menyebabkan penyakit. Ini adalah oral polio vaccine (OPV) yang tidak lagi digunakan di Amerika Serikat. Sejak saat itu, vaksin telah digunakan dengan aman selama beberapa dekade dan mengikuti peraturan ketat badan pengawas obat dan makanan di berbagai negara.
4. Mitos: Vaksin mengandung bahan kimia yang bersifat racun yang tidak aman

Banyak isu tentang penggunaan formaldehida, merkuri, atau aluminium dalam vaksin yang membuat banyak orang mengkhawatirkan keamanan vaksin, bahkan hingga menolak vaksinasi. Memang benar bahwa bahan kimia ini bersifat toksis bagi tubuh manusia pada tingkat tertentu. Akan tetapi, komposisi senyawa tersebut dalam vaksin jumlahnya sangatlah sedikit dan tentunya sudah melewati pengujian dan pengawasan yang ketat.
Bahkan, FDA mengungkapkan fakta bahwa sistem metabolisme kita sendiri memproduksi formaldehida pada tingkat yang lebih tinggi dan tidak ada bukti ilmiah bahwa merkuri, formaldehida, maupun aluminium dalam vaksin dapat berbahaya.
5. Mitos: Vaksin menyebabkan autisme

Menurut situs kesehatan Public Health, kekhawatiran yang meluas bahwa vaksin meningkatkan risiko autisme berawal dari penelitian tahun 1997 yang diterbitkan di jurnal The Lancet, yang menyatakan bahwa vaksin campak, gondok, rubella (MMR) meningkatkan autisme pada anak-anak di Inggris.
Akan tetapi, makalah ini sepenuhnya didiskreditkan karena kesalahan prosedural yang serius, konflik kepentingan keuangan yang tidak diungkapkan, dan pelanggaran etika. Akhirnya, peneliti yang bertanggung jawab atas publikasi tersebut kehilangan lisensi medisnya dan papernya ditarik dari The Lancet.
Sayangnya, hipotesis tersebut terlanjur ditanggapi dengan serius oleh masyarakat. Bahkan, beberapa studi besar lainnya telah dilakukan dan tak satu pun yang dapat membuktikan hubungan antara vaksin apa pun dan kemungkinan mengembangkan autisme.
Beberapa penelitian telah mengidentifikasi gejala autisme pada anak jauh sebelum mereka menerima vaksin MMR. Bahkan, penelitian yang lebih baru memberikan bukti bahwa autisme berkembang di dalam rahim, jauh sebelum bayi lahir atau menerima vaksinasi.
Patut diakui, vaksin adalah pilar besar pengobatan modern. Jika kita menengok beberapa abad lalu, sebelum vaksinasi ditemukan, kehidupan sangatlah ganas akibat berbagai penyakit, seperti campak, cacar, batuk rejan, atau rubella. Beruntung, setelah vaksin ditemukan, berbagai penyakit ini dapat dicegah sepenuhnya hanya dengan suntikan sederhana. Jadi, sangat tidak tepat jika orang sampai orang menganggap vaksin berbahaya mengingat berapa banyak kematian dan penyakit yang telah dicegah oleh vaksin.