ilustrasi anak-anak korban perang (pixabay.com/ArmyAmber)
Berdasarkan data dari UNICEF, sekitar 18 juta anak telah tumbuh di zona perang, 2 juta meninggal, 6 juta cacat permanen, dan 1 juta menjadi yatim piatu.
Terpisah dari orang tua adalah salah satu pengalaman menegangkan bagi anak-anak yang terdampak perang. Kehilangan orang tua bisa membuat anak takut dan putus asa. Selain itu, mereka berisiko kehilangan sumber daya seperti makanan, air, dan tempat tinggal yang aman.
Anak-anak tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan memiliki masa kecil yang menyenangkan. Alih-alih, mereka terpaksa tumbuh di lingkungan yang keras dan harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri atau adik-adiknya (jika ada).
Anak bergantung pada perhatian, empati, dan perhatian orang dewasa yang menyayanginya. Keterikatan mereka sering kali terputus pada masa perang karena kehilangan orang tua, kesibukan orang tua yang berlebihan dalam melindungi dan mencari penghidupan bagi keluarga, dan ketidaktersediaan emosi dari orang tua yang depresi atau perhatiannya terganggu. Anak tersebut mungkin mendapat pengasuhan pengganti dari seseorang yang tidak sepenuhnya merawatnya, seperti kerabat atau panti asuhan (Croatian Medical Journal, 2006).
Dampak buruk pada masa kanak-kanak dapat memberikan dampak yang lebih buruk terhadap lintasan hidup anak-anak dibandingkan orang dewasa. Misalnya, anak-anak yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan selama perang, anak-anak yang terpaksa pindah ke area pengungsian, di mana mereka harus menunggu bertahun-tahun dalam keadaan yang menyedihkan agar dapat melanjutkan kehidupan normal, jika memang hal itu terjadi.
Bayangkan seorang anak yang cacat dalam perang; mereka mungkin, selain kehilangan anggota tubuh, penglihatan, atau kapasitas kognitif, kehilangan kesempatan bersekolah dan kehidupan sosial. Seorang anak perempuan yang diperkosa mungkin dipinggirkan oleh masyarakatnya dan kehilangan kesempatan untuk menikah. Jauh setelah perang berakhir, kehidupan mereka tidak akan pernah mencapai potensi seperti sebelum terjadinya perang.
Sejumlah anak-anak yang terkena dampak perang kehilangan seluruh perlindungan orang dewasa—“anak-anak tanpa pendamping (unaccompanied children)”—sebutan bagi mereka dalam situasi pengungsi.