8 Dampak Perang pada Anak-anak, Mentalnya Terguncang!

Menimbulkan trauma sampai merenggut nyawa

Perang adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Dampaknya luar biasa, seperti menghancurkan hubungan antar negara, memerosotkan ekonomi, merusak bangunan, menewaskan hewan, hingga membunuh penduduk yang tidak bersalah.

Jika berhasil selamat dari perang sekalipun, korban masih dihantui dengan ketakutan dan trauma. Salah satu kalangan yang paling rentan ketika terjadi perang atau konflik bersenjata adalah anak-anak.

Perang berdampak pada anak-anak sama seperti dampaknya terhadap orang dewasa, tetapi juga dalam cara yang berbeda-beda (Croatian Medical Journal, 2006).

Berikut ini beberapa dampak perang pada anak-anak.

1. Direkrut paksa menjadi anggota kelompok bersenjata pada usia yang sangat muda

Menurut United Nations Children's Fund (UNICEF), perekrutan anak-anak dalam kelompok bersenjata biasanya sifatnya paksaan, walau ada yang sukarela karena alasan tertentu. Mereka bisa dimanfaatkan sebagai pejuang, mata-mata, pembawa pesan, juru masak, kuli, hingga sasaran eksploitasi seksual.

Antara tahun 2005–2020, diperkirakan lebih dari 93.000 anak-anak direkrut oleh pihak-pihak yang berkonflik, walau jumlah sebenarnya diyakini lebih tinggi. Mereka tersebar di 30 negara, mulai dari Myanmar, Sudan, hingga Afghanistan.

Mengutip dari laman Eldis, diperkirakan terdapat puluhan ribu anak muda di bawah usia 18 tahun yang bertugas di milisi di sekitar 60 negara.

Dilansir BORGEN Magazine, anak-anak menghadapi kekejaman dan kerusakan emosional. Sering kali, mereka tidak diterima kembali oleh komunitas asalnya dan terpaksa tumbuh besar tanpa kasih sayang keluarganya.

Bahkan, studi yang dilakukan oleh Ed Bayer pada tahun 2007 pada tentara anak di Kongo dan Uganda, sebanyak 80–90 persen telah melihat seseorang dibunuh atau dipukuli, 54 persen dipaksa membunuh seseorang, dan 28 persen diperkosa. Pada usia semuda itu, mereka telah mengalami hal yang sangat berat!

2. Mengalami trauma berat karena kehilangan orang tua atau anggota keluarga lain

8 Dampak Perang pada Anak-anak, Mentalnya Terguncang!ilustrasi anak-anak korban perang (pixabay.com/ArmyAmber)

Berdasarkan data dari UNICEF, sekitar 18 juta anak telah tumbuh di zona perang, 2 juta meninggal, 6 juta cacat permanen, dan 1 juta menjadi yatim piatu.

Terpisah dari orang tua adalah salah satu pengalaman menegangkan bagi anak-anak yang terdampak perang. Kehilangan orang tua bisa membuat anak takut dan putus asa. Selain itu, mereka berisiko kehilangan sumber daya seperti makanan, air, dan tempat tinggal yang aman.

Anak-anak tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan memiliki masa kecil yang menyenangkan. Alih-alih, mereka terpaksa tumbuh di lingkungan yang keras dan harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri atau adik-adiknya (jika ada).

Anak bergantung pada perhatian, empati, dan perhatian orang dewasa yang menyayanginya. Keterikatan mereka sering kali terputus pada masa perang karena kehilangan orang tua, kesibukan orang tua yang berlebihan dalam melindungi dan mencari penghidupan bagi keluarga, dan ketidaktersediaan emosi dari orang tua yang depresi atau perhatiannya terganggu. Anak tersebut mungkin mendapat pengasuhan pengganti dari seseorang yang tidak sepenuhnya merawatnya, seperti kerabat atau panti asuhan (Croatian Medical Journal, 2006).

Dampak buruk pada masa kanak-kanak dapat memberikan dampak yang lebih buruk terhadap lintasan hidup anak-anak dibandingkan orang dewasa. Misalnya, anak-anak yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan selama perang, anak-anak yang terpaksa pindah ke area pengungsian, di mana mereka harus menunggu bertahun-tahun dalam keadaan yang menyedihkan agar dapat melanjutkan kehidupan normal, jika memang hal itu terjadi.

Bayangkan seorang anak yang cacat dalam perang; mereka mungkin, selain kehilangan anggota tubuh, penglihatan, atau kapasitas kognitif, kehilangan kesempatan bersekolah dan kehidupan sosial. Seorang anak perempuan yang diperkosa mungkin dipinggirkan oleh masyarakatnya dan kehilangan kesempatan untuk menikah. Jauh setelah perang berakhir, kehidupan mereka tidak akan pernah mencapai potensi seperti sebelum terjadinya perang.

Sejumlah anak-anak yang terkena dampak perang kehilangan seluruh perlindungan orang dewasa—“anak-anak tanpa pendamping (unaccompanied children)”—sebutan bagi mereka dalam situasi pengungsi.

3. Mereka rentan mengalami PTSD

Tumbuh dalam kondisi perang membuat anak-anak memiliki beban psikologis yang sangat berat. Bahkan, tidak sedikit yang mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Bayer melakukan studi terhadap mantan pejuang anak di Kongo dan Uganda. Mereka yang pernah diculik kelompok bersenjata 33 persen di antaranya mengalami PTSD. Sementara itu, anak yang tumbuh di zona perang namun tidak pernah diculik hanya 8 persen yang memiliki PTSD.

Bahkan, mereka yang pernah menjadi tentara lebih dari sebulan yang dipaksa berperang atau menjarah desa, 48 persen di antaranya mempunyai gejala PTSD. Ini adalah bukti bahwa peperangan sangat traumatis bagi anak-anak, terutama jika mereka terdampak langsung.

Kekerasan fisik, seksual, dan emosional yang dialami anak-anak menghancurkan dunia mereka. Perang merusak fondasi kehidupan anak-anak, menghancurkan rumah, memecah komunitas, dan melenyapkan kepercayaan mereka terhadap orang dewasa, dilansir BORGEN Magazine.

4. Tidak sedikit yang mengalami depresi, bahkan sampai bunuh diri

8 Dampak Perang pada Anak-anak, Mentalnya Terguncang!ilustrasi anak dilanda kesedihan (unsplash.com/Lucas Metz)

Setelah melihat dan mengalami hal-hal yang mengerikan, tidak sedikit anak yang mengembangkan depresi. Lebih dari setengah anak-anak yang diculik mengalami depresi sedang hingga berat, mengacu pada studi oleh Vinck di Uganda.

Spesifiknya, dari seluruh anak-anak yang diculik, 16 persen di antaranya mengalami depresi. Bahkan, 34 persen memutuskan untuk mengakhiri hidupnya alias bunuh diri!

Jika mereka diculik lebih dari sebulan, tingkat depresi dan bunuh diri menjadi lebih tinggi, yaitu sekitar 24 persen yang mengalami depresi dan 37 persen memilih bunuh diri.

Salah satu efek terbesar yang terlihat adalah hilangnya harapan. Begitu anak-anak merasa putus asa, mereka benar-benar menyerah. Mereka mungkin tidak mengambil langkah-langkah untuk membangun masa depan yang konstruktif.

Contohnya datang dari anak-anak yang berasal dari Rwanda. Sebanyak 60 persen di antaranya kehilangan keinginan untuk menciptakan masa depan yang stabil setelah genosida.

Baca Juga: War Anxiety, Kenali Gejala dan Cara Mengelolanya

5. Anak-anak juga rentan terhadap serangan panik dan gangguan kecemasan

Anak-anak yang terpapar perang lebih rentan terkena serangan panik, gangguan kecemasan, mimpi buruk, dan mengompol. Orang dewasa (yang dulunya terdampak perang saat masih anak-anak) lebih mungkin didiagnosis dengan gangguan kecemasan, depresi, pikiran bunuh diri, dan menyakiti diri sendiri (International Journal of Epidemiology, 2018).

Banyak anak yang membeku ketakutan hanya dengan mendengar suara baling-baling helikopter atau pesawat. Bahkan, ada anak yang otomatis mengangkat tangannya ke udara sebagai isyarat menyerah ketika melihat kamera jurnalis karena mengira itu senapan.

6. Mereka sangat mungkin melanjutkan siklus kekerasan di masa depan

8 Dampak Perang pada Anak-anak, Mentalnya Terguncang!ilustrasi kekerasan (pexels.com/Alex Green)

Kita sering mendengar ungkapan bahwa korban bisa menjadi pelaku. Karena kekerasan disajikan di depan matanya berulang-ulang, lama-kelamaan ia akan menormalisasinya.

Belum lagi ketika misalnya anak-anak diculik oleh kelompok bersenjata, lalu diberi makan dan diperlakukan dengan baik. Anak-anak (yang masih polos) akan menganggap mereka 'bukan orang jahat' dan mungkin akan menjustifikasi perbuatannya, termasuk tindak kekerasan yang dilakukan.

Mengutip dari BORGEN Magazine, paparan kekerasan pada usia muda membuatnya tampak normal seiring waktu. Menurutnya, ini menempatkan kaum muda dalam risiko untuk melanjutkan siklus kekerasan.

7. Anak-anak tidak bisa lagi mengenyam pendidikan yang layak

Menurut laporan UNICEF pada tahun 2017, sekitar 27 juta anak ada di zona konflik tidak bersekolah. Anak perempuan 2,5 kali lebih mungkin putus sekolah daripada anak laki-laki.

Padahal, anak-anak dan remaja dengan tingkat pendidikan rendah rentan dieksploitasi. Berdasarkan survei yang dilakukan pada anak-anak yang bermigrasi dari Mediterania Tengah ke Eropa, remaja tanpa pendidikan sama sekali 90 persen di antaranya dieksploitasi. Sementara itu, yang sempat mengenyam pendidikan dasar "hanya" 77 persen yang dieksploitasi.

Universal Declaration of Human Rights menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan, sementara kegagalan untuk menyediakan kesempatan belajar bagi anak-anak memiliki konsekuensi besar bagi individu dan negara.

8. Paling parah, anak-anak rentan diperkosa dan dibunuh

8 Dampak Perang pada Anak-anak, Mentalnya Terguncang!ilustrasi anak korban perang (UNICEF/Souleiman)

Anak-anak yang hidup di zona perang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Mereka rentan dianiaya, menjadi korban kawin paksa, perbudakan atau perdagangan manusia, diperkosa, dan bentuk eksploitasi seksual lainnya.

Menyitir data dari UNICEF, antara tahun 2005–2020, setidaknya 14.200 anak menjadi korban kekerasan seksual oleh pihak-pihak yang berkonflik. Sebanyak 97 persen korban kekerasan seksual dari tahun 2016 sampai 2020 berjenis kelamin perempuan.

Yang terparah, anak-anak bisa dibunuh! Pembunuhan itu bisa karena ditarget langsung maupun tidak langsung. Kematian mungkin disebabkan oleh baku tembak, terkena ranjau darat atau alat peledak, hingga tewas ketika rumahnya dihancurkan dalam suatu operasi militer.

Antara tahun 2005–2020, lebih dari 104.100 anak-anak tewas atau cacat akibat konflik bersenjata. Kebanyakan korban tewas akibat serangan udara yang cepat dan membabi buta sehingga mereka tidak sempat menyelamatkan diri.

Itulah dampak negatif perang terhadap anak-anak, baik dari segi fisik maupun psikis. Semoga segala bentuk perang atau konflik bersenjata segera berakhir.

Baca Juga: 1 Anak Meninggal per 43 Detik akibat Pneumonia

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto
  • Delvia Y Oktaviani

Berita Terkini Lainnya