8 Dampak Perang pada Anak-anak, Mentalnya Terguncang!

Situasi antara Rusia dan Ukraina sedang memanas. Kabar terbaru adalah Kiev (ibu kota sekaligus kota terpadat di Ukraina) diserang dengan rudal jelajah atau balistik pada Jumat pagi (25/2/2022). Ukraina mengatakan bahwa korban tewas jumlahnya lebih dari 40 orang dari pihak tentara dan 10 orang warga sipil.
Perang adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Dampaknya luar biasa, seperti menghancurkan hubungan antar negara, memerosotkan ekonomi, merusak bangunan, menewaskan hewan, hingga membunuh penduduk yang tidak bersalah.
Jika berhasil selamat dari perang sekalipun, korban masih dihantui dengan ketakutan dan trauma. Salah satu kalangan yang paling rentan ketika terjadi perang atau konflik bersenjata adalah anak-anak. Seperti apa dampak perang pada anak-anak?
1. Direkrut paksa menjadi anggota kelompok bersenjata pada usia yang sangat muda
Menurut United Nations Children's Fund (UNICEF), perekrutan anak-anak dalam kelompok bersenjata biasanya sifatnya paksaan, walau ada yang sukarela karena alasan tertentu. Mereka bisa dimanfaatkan sebagai pejuang, mata-mata, pembawa pesan, juru masak, kuli, hingga sasaran eksploitasi seksual.
Antara tahun 2005-2020, diperkirakan lebih dari 93.000 anak-anak direkrut oleh pihak-pihak yang berkonflik, walau jumlah sebenarnya diyakini lebih tinggi. Mereka tersebar di 30 negara, mulai dari Myanmar, Sudan, hingga Afghanistan.
Dilansir BORGEN Magazine, anak-anak menghadapi kekejaman dan kerusakan emosional. Seringkali, mereka tidak diterima kembali oleh komunitas asalnya dan terpaksa tumbuh besar tanpa kasih sayang keluarganya.
Bahkan, studi yang dilakukan oleh Ed Bayer pada tahun 2007 pada tentara anak di Kongo dan Uganda, sebanyak 80–90 persen telah melihat seseorang dibunuh atau dipukuli, 54 persen dipaksa membunuh seseorang, dan 28 persen diperkosa. Pada usia semuda itu, mereka telah mengalami hal yang sangat berat!
2. Mengalami trauma berat karena kehilangan orang tua atau anggota keluarga lain
Berdasarkan data dari UNICEF, sekitar delapan belas juta anak telah tumbuh di zona perang, dua juta meninggal, enam juta cacat permanen, dan satu juta menjadi yatim piatu. Menurut Ed Cairns dari University of Ulster, Irlandia Utara, terpisah dari orang tua adalah salah satu pengalaman menegangkan bagi anak-anak yang terdampak perang.
Kehilangan orang tua bisa membuat anak takut dan putus asa. Selain itu, mereka berisiko kehilangan sumber daya seperti makanan, air, dan tempat tinggal yang aman.
Anak-anak tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan memiliki masa kecil yang menyenangkan. Alih-alih, mereka terpaksa tumbuh di lingkungan yang keras dan harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri atau adik-adiknya (jika ada).
3. Mereka rentan mengalami PTSD
Tumbuh dalam kondisi perang membuat anak-anak memiliki beban psikologis yang sangat berat. Bahkan, tidak sedikit yang mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Bayer melakukan studi terhadap mantan pejuang anak di Kongo dan Uganda. Mereka yang pernah diculik kelompok bersenjata 33 persen di antaranya mengalami PTSD. Sementara itu, anak yang tumbuh di zona perang namun tidak pernah diculik hanya 8 persen yang memiliki PTSD.
Bahkan, mereka yang pernah menjadi tentara lebih dari sebulan yang dipaksa berperang atau menjarah desa, 48 persen di antaranya mempunyai gejala PTSD. Ini adalah bukti bahwa peperangan sangat traumatis bagi anak-anak, terutama jika mereka terdampak langsung.
"Kekerasan fisik, seksual, dan emosional yang dialami anak-anak menghancurkan dunia mereka. Perang merusak fondasi kehidupan anak-anak, menghancurkan rumah, memecah komunitas, dan melenyapkan kepercayaan mereka terhadap orang dewasa," ungkap Graca Machel, politisi Mozambik, dalam laman BORGEN Magazine.
4. Tidak sedikit yang mengalami depresi, bahkan sampai bunuh diri
Setelah melihat dan mengalami hal-hal yang mengerikan, tidak sedikit anak yang mengembangkan depresi. Lebih dari setengah anak-anak yang diculik mengalami depresi sedang hingga berat, mengacu pada studi oleh Vinck di Uganda.
Spesifiknya, dari seluruh anak-anak yang diculik, 16 persen di antaranya mengalami depresi. Bahkan, 34 persen memutuskan untuk mengakhiri hidupnya alias bunuh diri!
Jika mereka diculik lebih dari sebulan, tingkat depresi dan bunuh diri menjadi lebih tinggi, yaitu sekitar 24 persen yang mengalami depresi dan 37 persen memilih bunuh diri.
Editor’s picks
"Salah satu efek terbesar yang saya lihat setiap hari adalah hilangnya harapan. Begitu anak-anak merasa putus asa, mereka benar-benar menyerah. Mereka tidak mengambil langkah-langkah untuk membangun masa depan yang konstruktif," tutur Michael Wessells, seorang psikolog.
Contohnya datang dari anak-anak yang berasal dari Rwanda. Sebanyak 60 persen di antaranya kehilangan keinginan untuk menciptakan masa depan yang stabil setelah genosida.
Baca Juga: 7 Jenis Kanker yang Paling Sering Dialami Anak-anak
5. Anak-anak juga rentan terhadap serangan panik dan gangguan kecemasan
Anak-anak yang terpapar perang lebih rentan terkena serangan panik, gangguan kecemasan, mimpi buruk, dan mengompol. Menurut studi yang diterbitkan dalam International Journal of Epidemiology tahun 2018, orang dewasa (yang dulunya terdampak perang saat masih anak-anak) lebih mungkin didiagnosis dengan gangguan kecemasan, depresi, pikiran bunuh diri, dan menyakiti diri sendiri (self-harm).
Banyak anak yang membeku ketakutan hanya dengan mendengar suara baling-baling helikopter atau pesawat. Bahkan, ada anak yang otomatis mengangkat tangannya ke udara sebagai isyarat menyerah ketika melihat kamera jurnalis karena mengira itu senapan.
6. Mereka sangat mungkin melanjutkan siklus kekerasan di masa depan
Kita sering mendengar ungkapan bahwa korban bisa menjadi pelaku. Karena kekerasan disajikan di depan matanya berulang-ulang, lama-kelamaan ia akan menormalisasinya.
Belum lagi ketika misalnya anak-anak diculik oleh kelompok bersenjata, lalu diberi makan dan diperlakukan dengan baik. Anak-anak (yang masih polos) akan menganggap mereka 'bukan orang jahat' dan mungkin akan menjustifikasi perbuatannya, termasuk tindak kekerasan yang dilakukan.
Ed Cairns mengatakan dalam BORGEN Magazine bahwa paparan kekerasan di usia muda membuatnya tampak normal seiring berjalannya waktu. Menurutnya, ini menempatkan kaum muda dalam risiko untuk melanjutkan siklus kekerasan.
7. Anak-anak tidak bisa lagi mengenyam pendidikan yang layak
Menurut laporan UNICEF tertanggal 18 September 2017, sekitar 27 juta anak ada di zona konflik tidak bersekolah. Anak perempuan 2,5 kali lebih mungkin putus sekolah daripada anak laki-laki.
Padahal, anak-anak dan remaja dengan tingkat pendidikan rendah rentan dieksploitasi. Berdasarkan survei yang dilakukan pada anak-anak yang bermigrasi dari Mediterania Tengah ke Eropa, remaja tanpa pendidikan sama sekali 90 persen di antaranya dieksploitasi. Sementara itu, yang sempat mengenyam pendidikan dasar 'hanya' 77 persen yang dieksploitasi.
Universal Declaration of Human Rights menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan, sementara kegagalan untuk menyediakan kesempatan belajar bagi anak-anak memiliki konsekuensi besar bagi individu dan negara.
8. Paling parah, anak-anak rentan diperkosa dan dibunuh
Anak-anak yang hidup di zona perang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Mereka rentan dianiaya, menjadi korban kawin paksa, perbudakan atau perdagangan manusia, diperkosa, dan bentuk eksploitasi seksual lainnya.
Menyitir data dari UNICEF, antara tahun 2005–2020, setidaknya 14.200 anak menjadi korban kekerasan seksual oleh pihak-pihak yang berkonflik. Sebanyak 97 persen korban kekerasan seksual dari tahun 2016 sampai 2020 berjenis kelamin perempuan.
Yang terparah, anak-anak bisa dibunuh! Pembunuhan itu bisa karena ditarget langsung maupun tidak langsung. Kematian mungkin disebabkan oleh baku tembak, terkena ranjau darat atau alat peledak, hingga tewas ketika rumahnya dihancurkan dalam suatu operasi militer.
Masih mengutip UNICEF, antara tahun 2005–2020, lebih dari 104.100 anak-anak tewas atau cacat akibat konflik bersenjata. Kebanyakan korban tewas akibat serangan udara yang cepat dan membabi buta sehingga mereka tidak sempat menyelamatkan diri.
Nah, itulah dampak negatif perang terhadap anak-anak, baik dari segi fisik maupun psikis. Semoga segala bentuk perang atau konflik bersenjata segera berakhir.
Baca Juga: Anak-anak yang Dipaksa Menjadi Vegan Berisiko Mengalami Malnutrisi?