Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi diskriminasi (pexels.com/Mikhail Nilov)

Seseorang yang mengalami diskriminasi akan mengalami perubahan cara otak dan usus berkomunikasi satu sama lain, menurut temuan sebuah studi baru. Gangguan ini, kata para peneliti, dapat mendorong perilaku yang meningkatkan risiko obesitas.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Mental Health pada 2 Oktober 2023 ini melibatkan lebih dari 100 peserta, sebagian besar perempuan, yang mengisi kuesioner untuk mengukur pengalaman diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.

Para peserta kemudian menjalani pemindaian otak dan diperlihatkan gambar makanan bergula dan berlemak, seperti kue dan es krim, serta gambar makanan rendah gula dan rendah lemak seperti buah dan salad. Mereka juga memberikan sampel tinja sehingga para peneliti dapat mempelajari mikrobioma usus.

Pada individu yang melaporkan mengalami diskriminasi tingkat tinggi, foto makanan tidak sehat dan berkalori tinggi memicu respons yang lebih besar di wilayah frontal-striatal. Bagian otak ini juga terlibat dengan motivasi dan kendali eksekutif.

Respons yang meningkat tersebut dapat membuat orang mengonsumsi gula dan makanan berlemak tinggi, kata para peneliti dilansir NBC News.

1. Orang yang tengah mengalami stres mendambakan gula

ilustrasi makanan manis (unsplash.com/乐融 高)

Gula bisa menyebabkan ketagihan dan sering kali didambakan oleh orang-orang yang mengalami stres, termasuk akibat diskriminasi, sebagai cara untuk memberikan kenyamanan, menurut Arpana Gupta, profesor kedokteran di UCLA David Geffen School of Medicine yang juga merupakan penulis senior dalam studi tersebut.

"Menariknya, ketika kita stres, kita mendambakan makanan ini. Kita memilih makanan ini untuk kenyamanan. Apa yang dapat dilakukan oleh penelitian kami adalah mampu menunjukkan hal ini pada tingkat otak, dan juga tingkat usus," ujarnya.

Pada tingkat usus, katanya, penelitian ini menemukan bahwa orang yang melaporkan tingkat diskriminasi yang lebih tinggi memiliki tingkat senyawa metabolit glutamat lebih tinggi. Senyawa ini berhubungan dengan peradangan dan stres oksidatif, yang dapat merusak sel dan DNA.

Metabolit glutamat dari usus juga berperan besar dalam fungsi otak. Terlalu banyak makanan dapat memengaruhi bagian otak yang berhubungan dengan kognisi, sehingga menyebabkan kesulitan mengendalikan nafsu makan dan respons terhadap makanan berkalori tinggi di antara orang-orang yang mengalami diskriminasi.

Kelebihan glutamat dalam tubuh juga dapat menyebabkan penumpukan lemak tubuh, terutama di daerah perut. Hal ini juga dapat meningkatkan keinginan seseorang terhadap makanan manis dan berlemak.

Selain menempatkan seseorang pada risiko obesitas, penelitian ini juga menemukan bahwa glutamat juga mungkin terlibat dalam mekanisme biologis di balik depresi dan gangguan terkait kecemasan. Namun, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengukur glutamat di otak secara lebih akurat.

2. Stres memengaruhi pola makan

Editorial Team

Tonton lebih seru di