Mengalami Diskriminasi Bisa Meningkatkan Risiko Obesitas

Stres akibat diskriminasi menyebabkan sugar craving

Seseorang yang mengalami diskriminasi akan mengalami perubahan cara otak dan usus berkomunikasi satu sama lain, menurut temuan sebuah studi baru. Gangguan ini, kata para peneliti, dapat mendorong perilaku yang meningkatkan risiko obesitas.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Mental Health pada 2 Oktober 2023 ini melibatkan lebih dari 100 peserta, sebagian besar perempuan, yang mengisi kuesioner untuk mengukur pengalaman diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.

Para peserta kemudian menjalani pemindaian otak dan diperlihatkan gambar makanan bergula dan berlemak, seperti kue dan es krim, serta gambar makanan rendah gula dan rendah lemak seperti buah dan salad. Mereka juga memberikan sampel tinja sehingga para peneliti dapat mempelajari mikrobioma usus.

Pada individu yang melaporkan mengalami diskriminasi tingkat tinggi, foto makanan tidak sehat dan berkalori tinggi memicu respons yang lebih besar di wilayah frontal-striatal. Bagian otak ini juga terlibat dengan motivasi dan kendali eksekutif.

Respons yang meningkat tersebut dapat membuat orang mengonsumsi gula dan makanan berlemak tinggi, kata para peneliti dilansir NBC News.

1. Orang yang tengah mengalami stres mendambakan gula

Mengalami Diskriminasi Bisa Meningkatkan Risiko Obesitasilustrasi makanan manis (unsplash.com/乐融 高)

Gula bisa menyebabkan ketagihan dan sering kali didambakan oleh orang-orang yang mengalami stres, termasuk akibat diskriminasi, sebagai cara untuk memberikan kenyamanan, menurut Arpana Gupta, profesor kedokteran di UCLA David Geffen School of Medicine yang juga merupakan penulis senior dalam studi tersebut.

"Menariknya, ketika kita stres, kita mendambakan makanan ini. Kita memilih makanan ini untuk kenyamanan. Apa yang dapat dilakukan oleh penelitian kami adalah mampu menunjukkan hal ini pada tingkat otak, dan juga tingkat usus," ujarnya.

Pada tingkat usus, katanya, penelitian ini menemukan bahwa orang yang melaporkan tingkat diskriminasi yang lebih tinggi memiliki tingkat senyawa metabolit glutamat lebih tinggi. Senyawa ini berhubungan dengan peradangan dan stres oksidatif, yang dapat merusak sel dan DNA.

Metabolit glutamat dari usus juga berperan besar dalam fungsi otak. Terlalu banyak makanan dapat memengaruhi bagian otak yang berhubungan dengan kognisi, sehingga menyebabkan kesulitan mengendalikan nafsu makan dan respons terhadap makanan berkalori tinggi di antara orang-orang yang mengalami diskriminasi.

Kelebihan glutamat dalam tubuh juga dapat menyebabkan penumpukan lemak tubuh, terutama di daerah perut. Hal ini juga dapat meningkatkan keinginan seseorang terhadap makanan manis dan berlemak.

Selain menempatkan seseorang pada risiko obesitas, penelitian ini juga menemukan bahwa glutamat juga mungkin terlibat dalam mekanisme biologis di balik depresi dan gangguan terkait kecemasan. Namun, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengukur glutamat di otak secara lebih akurat.

Baca Juga: 6 Makanan yang Bisa Bantu Cegah Obesitas, Cocok untuk Diet

2. Stres memengaruhi pola makan

Mengalami Diskriminasi Bisa Meningkatkan Risiko Obesitasilustrasi makan-makan (unsplash.com/alexhaney)

Penelitian juga menunjukkan hubungan antara stres dan makanan. Orang cenderung mencari makanan yang berkalori tinggi dan berlemak selama masa stres, padahal faktanya, saat orang stres, tubuh mereka menyimpan lebih banyak lemak dibandingkan saat mereka sedang santai (Obesity Reviews, 2001).

Selain itu, dilansir Johns Hopkins Medicine, studi menunjukkan bahwa perempuan dengan tingkat stres kronis yang tinggi cenderung melakukan emotional eating. Selain respons psikologis terhadap stres, mungkin juga terdapat respons fisiologis.

Selama peristiwa stres, tubuh melepaskan kortisol, hormon yang membantu tubuh melindungi dirinya sendiri. Namun, jika kadar kortisol meningkat dalam jangka waktu lama, seperti saat terjadi stres yang berulang dan terus-menerus, ini dapat menyebabkan peningkatan konsumsi makanan, penyimpanan lemak, dan penambahan berat badan.

Stres tidak hanya dapat meningkatkan asupan makanan seseorang secara keseluruhan, tetapi juga memengaruhi jenis makanan yang dimakan. Secara umum, stres memicu lebih banyak konsumsi makanan yang menggugah selera dan padat kalori—seperti cokelat, es krim, keripik kentang, dan junk food berlemak.

Faktanya, stres terutama dikaitkan dengan mengonsumsi makanan yang mengandung gula. Menurut beberapa penelitian, hingga 70 persen orang melaporkan mengonsumsi lebih banyak makanan manis ketika mereka mengalami tingkat stres yang tinggi, mengutip dari Everlywell.

3. Apakah ras berperan?

Mengalami Diskriminasi Bisa Meningkatkan Risiko Obesitasilustrasi diskriminasi/pexels.com/@daniel-reche-718241/

Studi baru ini tidak melihat hubungan antara diskriminasi dan ras atau etnis. Namun, penelitian Gupta sebelumnya menemukan perbedaan dalam cara otak dan naluri merespons diskriminasi, tergantung pada ras dan etnis individu.

Dalam studi tahun 2022, Gupta dan rekan-rekannya melaporkan bahwa di antara individu berkulit hitam dan Hispanik, diskriminasi dikaitkan dengan perubahan di otak yang terkait dengan penanggulangan psikologis dan peningkatan peradangan. Sementara pada orang kulit putih, diskriminasi dikaitkan dengan kecemasan, tetapi bukan peradangan. Di antara populasi Asia, penelitian ini menemukan adanya hubungan antara diskriminasi dan perubahan perilaku (Biological Psychiatry, 2023).

Cara terbaik untuk mengatasi risiko temuan studi ini adalah dengan melawan diskriminasi melalui perubahan kebijakan.

“Aku rasa diskriminasi tidak akan hilang. Jadi, apa yang perlu kita lakukan untuk sementara ini adalah melakukan hal-hal lain yang dapat membantu kita mengatasi diskriminasi dengan lebih baik," tutur Gupta.

Dia menyarankan agar masyarakat mengambil pendekatan multi-cabang dengan mengelola stres dan menyadari kebiasaan makan. Mengonsumsi makanan antiinflamasi dan probiotik juga dapat membantu menjaga kesehatan usus.

Inovasi dalam bidang kedokteran, misalnya obat, dapat membantu mengendalikan kebiasaan makan. Meskipun sangat sulit untuk mengubah perilaku manusia, tetapi penting untuk mengatasi faktor-faktor penentu sosial dalam kesehatan, yang dapat menyebabkan kesenjangan dalam layanan kesehatan, pemberian layanan, dan akses.

Baca Juga: Mengenal Hormon Leptin, Bisa Jadi Penyebab Obesitas dan Pubertas Dini

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya