Jadi, apakah pikiran negatif repetitif dapat menyebabkan demensia? Pertama, kita harus tahu bahwa pikiran negatif mengarah pada depresi.
Menurut riset berjudul "Depression in Older Adults" yang dimuat dalam jurnal Annual Review of Clinical Psychology, selain menghalangi produktivitas dan hubungan sesama manusia, pikiran negatif mengakibatkan depresi. Hal inilah yang akan berbahaya bila tidak secepatnya ditangani.
Pada Juni 2020, sebuah penelitian berjudul "Repetitive negative thinking is associated with amyloid, tau, and cognitive decline" mengungkap hubungan antara pikiran negatif repetitif dengan penurunan fungsi kognitif.
Para peneliti tersebut mempelajari dua studi yang berjalan selama empat tahun dan melibatkan 360 peserta. Yang dipantau adalah tingkat pikiran negatif repetitif, depresi, waswas, dan penurunan fungsi kognitif.
Selain empat hal tersebut, dua studi tersebut juga mengukur kadar protein tau dan amiloid 113 peserta. Para peneliti menganggap penumpukan kedua protein tersebut berkontribusi pada munculnya demensia di masa depan.
Hasilnya mengejutkan! Pemimpin penelitian dari University College London, Natalie L. Marchant, mengatakan bahwa ada hubungan antara pikiran negatif repetitif dengan demensia. Makin sering seseorang berpikir negatif, makin dekat ia dengan demensia atau Alzheimer.
"Di sini, kami menemukan bahwa pola berpikir tertentu yang menyebabkan depresi dan waswas bisa menjadi alasan dasar mengapa seseorang lebih rentan terkena demensia. Bersama studi lain yang menghubungkan depresi dan waswas dengan risiko demensia, kami menyatakan bahwa pola berpikir negatif kronis dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko demensia," papar Marchant.
Meskipun begitu, perlu dicatat bahwa hubungan sebab akibat antara pikiran negatif dan demensia atau Alzheimer belum dapat dipastikan secara ilmiah. Selain itu, meskipun depresi dan waswas berpengaruh besar terhadap munculnya demensia, ternyata kedua gangguan psikologis tersebut tidak ada hubungannya dengan penumpukan protein tau dan amiloid pada otak.