Sebelum mulainya Perang Dunia II (PD2) pada tahun 1939, kasus rabies di Indonesia berkisar di Jawa Barat, Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan. Untuk mencegah penyebaran rabies, pemerintahan Hindia Belanda merilis peraturan Ordonansi Hondsdolheid terkait rabies sejak tahun 1926 yang juga diperkuat oleh Staatsblad 1926 Nomor 451 dan 452.
Selanjutnya, selama Indonesia dikuasai oleh Jepang, situasi daerah tertular rabies tidak diketahui secara pasti. Baik upaya pencegahan dan penanggulangan rabies tidak jalan saat pendudukan Jepang, karena upaya lebih ditekankan pada peperangan.
Setelah merdeka dari Jepang pada 1945, kasus rabies terus dicari dan ditemukan menyebar ke pelosok negeri. Sayangnya, hingga saat ini, kasus rabies masih bisa ditemukan di Indonesia.
Salah satu alasan utama mengapa rabies dapat menyebar dengan pesat dalam beberapa dekade terakhir adalah karena masa inkubasi rabies yang cukup lama, dari sekitar dua bulan hingga dua tahun. Di Indonesia, penyebaran rabies didominasi oleh anjing (98 persen).
Saat ini ada 26 provinsi yang menjadi endemis rabies dan 11 provinsi yang bebas rabies. Sebelas provinsi tersebut adalah: Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Kalimantan Barat sebenarnya telah berhasil mencapai bebas Rabies berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 885/Kpts/PD.620/8/2014 tentang Pembebasan Rabies Provinsi Kalimantan Barat tanggal 14 Agustus 2014, tetapi pada 19 Oktober 2014 dilaporkan terjadi kasus kematian akibat rabies pada manusia di kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang.