ilustrasi menstruasi (pexels.com/Cliff Booth)
Selama infeksi HIV kronis, perempuan mungkin mengalami perubahan kesehatan yang berbeda dari orang lain.
Meskipun dimungkinkan untuk tidak mengalami komplikasi apa pun untuk beberapa waktu, tetapi komplikasi tersebut pada akhirnya dapat berkembang—dan ada beberapa perubahan kesehatan terkait HIV selama infeksi HIV kronis yang spesifik pada perempuan. Apa saja?
1. Perubahan siklus menstruasi
Kalau mengidap HIV, kamu mungkin menyadari perubahan pada siklus menstruasi. Perempuan dengan HIV mungkin melewatkan menstruasi. Kamu mungkin juga mengalami pendarahan yang lebih ringan atau lebih berat daripada sebelum terinfeksi.
Perempuan dengan HIV juga lebih mungkin mengalami gejala sindrom pramenstruasi (PMS) yang lebih parah. Dilansir Office on Women's Health, gejala PMS antara lain:
- Payudara bengkak atau nyeri saat ditekan.
- Sembelit atau diare.
- Perasaan kembung atau mengandung gas.
- Kram.
- Sakit kepala atau sakit punggung.
- Sifat lekas marah.
- Tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit.
- Perubahan nafsu makan.
2. Peningkatan infeksi vagina
Perempuan dengan HIV lebih mungkin untuk mendapatkan infeksi jamur vagina atau vaginosis bakterialis dibanding perempuan tanpa HIV.
Infeksi jamur yang terjadi setidaknya empat kali setahun, yang berarti berulang, lebih sering terjadi pada perempuan dengan HIV lanjut.
Gejala infeksi jamur vagina meliputi:
- Gatal di dalam dan sekitar vagina.
- Sensasi terbakar, kemerahan, dan pembengkakan pada vagina dan vulva.
- Nyeri saat buang air kecil atau berhubungan seks.
- Rasa sakit.
- Keputihan yang kental, putih, dan tidak berbau.
Perempuan dengan HIV juga berisiko lebih tinggi terkena vaginosis bakterialis, kondisi saat keseimbangan normal bakteri di dalam vagina terganggu. Gejalanya antara lain:
- Keluarnya cairan putih atau abu-abu tipis dari vagina.
- Nyeri, gatal, atau sensasi terbakar di vagina.
- Bau seperti ikan yang kuat, terutama setelah berhubungan seks.
- Sensasi terbakar saat buang air kecil.
- Gatal di sekitar bagian luar vagina.
Infeksi jamur dan kasus vaginosis bakterialis ini mungkin tidak hanya terjadi lebih sering, tetapi mungkin juga lebih sulit diobati.
3. Infeksi menular seksual berulang
Kalau memiliki HIV, kamu tidak hanya berisiko lebih tinggi tertular infeksi menular seksual (IMS) tertentu, seperti herpes genital dan penyakit radang panggul, tetapi juga berisiko lebih besar untuk mengalami lebih banyak gejala penyakit ini.
Pada orang dengan HIV, IMS juga mungkin lebih sulit untuk diobati.
ilustrasi perempuan dengan ragam bentuk tubuh dan warna kulit (pexels.com/Anna Shvets)
4. Menopause dini
Perempuan dikatakan mengalami menopause apabila menstruasi tidak terjadi selama 12 bulan. Menurut Kementerian Kesehatan RI, menopause biasanya terjadi saat perempuan memasuki usia 45–55 tahun. Namun, perempuan dengan HIV cenderung memasuki menopause lebih cepat.
Waktu transisi menjelang menopause dan menopause itu sendiri ditandai dengan berbagai perubahan, termasuk timbulnya hot flash.
Hot flash adalah saat kamu tiba-tiba merasakan panas di bagian atas atau seluruh tubuh. Sensasi tersebut dapat berlangsung antara 30 detik hingga 10 menit dan dapat terjadi pada frekuensi yang berbeda-beda.
Perempuan dengan HIV biasanya mengalami hot flash yang lebih parah dibanding perempuan tanpa HIV.
5. Pengeroposan tulang yang lebih cepat
Orang dengan HIV mengalami keropos tulang lebih cepat daripada orang tanpa HIV. Namun, ini terutama berlaku untuk perempuan HIV positif.
Bahkan, tanpa HIV, perempuan cenderung kehilangan tulang lebih cepat daripada laki-laki karena perubahan hormonal yang terjadi setelah menopause.
6. Peningkatan risiko kanker serviks
Perempuan dengan HIV berisiko lebih tinggi terkena kanker serviks. Ini karena human papillomavirus (HPV) adalah penyebab paling umum dari kanker, dan perempuan dengan HIV lebih cenderung memiliki jenis HPV penyebab kanker.
Karena peningkatan risiko ini, disarankan agar perempuan dengan HIV mendiskusikan jadwal skrining Pap smear dengan dokter.
Misalnya, beberapa pedoman merekomendasikan untuk melakukan dua kali Pap smear pada tahun pertama setelah diagnosis, dengan satu Pap smear dilakukan setiap tahun setelah dua pemeriksaan pertama normal (Journal of Women's Health, 2013).