ilustrasi merasa bersalah (pexels.com/Alex Green)
Menurut terapis Raffi Bilek, konsumsi pornografi yang bermasalah tidak mengacu pada seberapa sering orang melihatnya, melainkan tentang kendali.
"Jika seseorang tidak dapat berhenti menonton film porno, meskipun dia menginginkannya dan telah mencoba, ini adalah masalah yang patut diperhatikan. Hal ini bisa saja terjadi walaupun aktivitas menonton porno itu tidak sering dilakukan," kata Raffi menjelaskan kepada Psych Central.
Selain itu, ada tanda-tanda lain yang bisa sebagai indikasi kalau konsumsi pornografi menjadi problematik:
- Memilih menonton konten pornografi dan lebih suka mengisolasi diri daripada bersosialisasi.
- Mengalami euforia saat menonton film porno, tapi diikuti perasaan bersalah.
- Mengalami kesulitan menyelesaikan kewajiban di tempat kerja, atau sekolah, karena menonton video porno.
- Mengambil risiko untuk melihat porno di tempat kerja agar tidak tertangkap pasangan di rumah.
- Membandingkan dan mengalami ketidakpuasan pada penampilan pasangan.
- Menghindari kontak fisik dan hubungan seks dengan pasangan.
- Disibukkan dengan pikiran seksual sepanjang hari dan tidak sabar untuk melihat visual baru di situs web dewasa.
- Memandang seks hanya sebagai hubungan fisik yang tidak melibatkan keintiman emosional.
- Mulai ingin mencari aktivitas seksual yang berbeda untuk memerankan apa yang dilihat dalam video bokep.
Ketika konsumsi porno sudah mengganggu kehidupan sehari-hari, saat itulah kamu harus waspada. Dalam banyak kasus, obsesi terhadap pornografi bisa membuat seseorang mengalami gejala kecemasan dan depresi.
Beberapa intervensi sangat dibutuhkan untuk mengatasi kecanduan pornografi, mulai dari mengevaluasi aktivitas digital, melakukan konseling dengan terapis hingga bergabung ke dalam grup program anti porn, masturbate, and orgasm (PMO).
Meski terdengar tidak berkaitan, tetapi penelitian telah menunjukkan hubungan yang kompleks antara menonton pornografi dengan depresi. Kedua hal itu memiliki kekuatan untuk saling memengaruhi melalui cara yang subjektif, berdasarkan pada riwayat kesehatan hingga latar belakang personal.
Pada akhirnya, kaitan antara pornografi dan depresi bukanlah hubungan yang menyenangkan, jadi perlu kebijaksanaan individu ketika ingin menggunakan konten pornografi untuk alasan apa pun.
Penulis: Dian Rahma Fika Alnina