Studi yang dipimpin oleh tim peneliti dari Institute for Systems Biology (ISB) ini membagi peserta ke dalam empat kategori:
Konstipasi: Buang air besar hanya 1–2 kali seminggu.
Low-normal: 3–6 kali seminggu
High-normal: 1–3 kali sehari (zona Goldilocks)
Diare: lebih dari 4 kali buang air besar encer sehari.
Temuan studi, secara umum, mereka yang melaporkan buang air besar lebih jarang cenderung perempuan, berusia lebih muda, dan memiliki indeks massa tubuh (IMT) yang lebih rendah. Namun, bahkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, orang dengan konstipasi atau diare menunjukkan keterkaitan dengan masalah kesehatan yang mendasarinya.
Bakteri yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan bagian atas lebih umum ditemukan dalam sampel tinja dari peserta yang mengalami diare. Sementara itu, sampel darah mereka menunjukkan biomarker yang terkait dengan kerusakan hati.
Sampel tinja dari orang dengan buang air besar lebih jarang memiliki kadar bakteri yang lebih tinggi terkait dengan fermentasi protein. Hal ini merupakan bahaya yang diketahui dari konstipasi.
Kata Johannes Johnson-Martinez, pemimpin studi, jika tinja terlalu lama berada di usus, mikroba akan menghabiskan semua serat makanan yang tersedia, yang kemudian difermentasi menjadi asam lemak rantai pendek yang bermanfaat. Setelah itu, ekosistem beralih ke fermentasi protein, yang menghasilkan beberapa toksin yang dapat masuk ke aliran darah.
Benar saja, beberapa produk sampingan ini ditemukan dalam sampel darah pasien-pasien ini. Yang paling terlihat adalah metabolit yang disebut indoksil-sulfat, produk fermentasi protein yang diketahui dapat merusak ginjal. Tim peneliti berpendapat bahwa ini merupakan bukti potensial adanya hubungan sebab akibat antara frekuensi buang air besar dan kesehatan secara keseluruhan.
Partisipan studi yang buang air besarnya “pas” (tidak terlalu sering dan tidak terlalu jarang) melaporkan makan lebih banyak serat, minum lebih banyak air, dan berolahraga lebih rutin. Sampel tinja mereka juga mengandung banyak bakteri yang membantu memfermentasi serat.
Studi ini juga mengeksplorasi hubungan antara frekuensi buang air besar dengan kecemasan dan depresi, yang menunjukkan bahwa riwayat kesehatan mental berkaitan dengan seberapa sering seseorang buang air besar.
Secara keseluruhan, studi ini menunjukkan bagaimana frekuensi buang air besar dapat memengaruhi semua sistem tubuh, dan bagaimana frekuensi buang air besar yang abnormal dapat menjadi faktor risiko penting dalam perkembangan penyakit kronis. Wawasan ini dapat menginformasikan strategi untuk mengelola frekuensi buang air besar, bahkan pada populasi yang sehat, untuk mengoptimalkan kesehatan dan kesejahteraan.
Referensi
Johannes P. Johnson-Martínez et al., “Aberrant Bowel Movement Frequencies Coincide With Increased Microbe-derived Blood Metabolites Associated With Reduced Organ Function,” Cell Reports Medicine 5, no. 7 (July 1, 2024): 101646, https://doi.org/10.1016/j.xcrm.2024.101646.
"Timing is Everything: ISB Study Finds Link Between Bowel Movement Frequency and Overall Health." Institute for Systems Biology. Diakses Juli 2025.
"Your Poop Schedule Says a Lot About Your Overall Health, Suggests Study." Science Alert. Diakses Juli 2025.