ilustrasi sakit kepala migrain (freepik.com/KamranAydinov)
Ada beberapa faktor di balik alasan kenapa perempuan dan laki-laki mengalami serangan migrain secara berbeda. Ini mencakup hormon, genetika, cara gen tertentu diaktifkan atau dinonaktifkan (epigenetika), dan lingkungan.
Semua itu berperan dalam membentuk struktur, fungsi, dan kemampuan adaptasi otak dalam menghadapi migrain. Hormon estrogen dan progesteron, melalui mekanisme berbeda, berperan dalam mengatur banyak fungsi biologis. Mereka memengaruhi berbagai bahan kimia di otak dan mungkin berkontribusi terhadap perbedaan fungsional dan struktural di wilayah otak tertentu yang terlibat dalam perkembangan migrain.
Selain itu, hormon seks dapat dengan cepat mengubah ukuran pembuluh darah, yang dapat menyebabkan serangan migrain.
Pada masa kanak-kanak, baik anak laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk mengalami migrain. Diperkirakan sekitar 10 persen dari semua anak akan mengidapnya suatu saat nanti, dilansir publikasi StatPearls. Namun, ketika anak perempuan mencapai masa pubertas, kemungkinan mereka terkena migrain meningkat.
Hal ini disebabkan oleh fluktuasi kadar hormon seks, terutama estrogen, yang terkait dengan masa pubertas, meskipun hormon lain termasuk progesteron mungkin juga terlibat.
Beberapa remaja perempuan mengalami migrain pertama pada saat siklus menstruasi pertama mereka. Namun, migrain sering kali paling umum dan intens dialami saat masa reproduksi dan masa subur perempuan (BMJ, 2008).
Dilansir American Migraine Foundation, diperkirakan sekitar 50 hingga 60 persen perempuan penderita migrain mengalami migrain menstruasi. Migrain ini biasanya terjadi pada hari-hari menjelang atau selama menstruasi, ketika penurunan kadar estrogen dapat memicu migrain (The Journal of Headache and Pain, 2012). Migrain saat menstruasi bisa lebih parah dan berlangsung lebih lama dibandingkan migrain pada waktu lain.