Sindrom Frey pertama kali dipublikasikan dalam literatur medis pada tahun 1853 oleh Baillarger. Kemudian, dijelaskan lebih rinci oleh Dr. Lucja Frey, seorang ahli saraf dari Polandia pada tahun 1923 yang menggambarkannya sebagai sindrom saraf auriculotemporal.
Disebut demikian, karena sindrom Frey terjadi akibat adanya kerusakan atau cedera pada saraf auriculotemporal, yaitu saraf yang memasok persarafan di area sekitar wajah dan kelenjar parotis (kelenjar ludah terbesar yang terletak tepat di bawah telinga di kedua sisi wajah, yang bertugas mengeluarkan air liur untuk membantu mencerna dan melembapkan makanan).
Melansir Verywell Health, pelepasan air liur dari kelenjar parotis dimediasi oleh busur kompleks yang melibatkan saraf auriculotemporal. Namun, ketika saraf tersebut rusak, serabut saraf parasimpatis dari saraf auriculotemporal beregenerasi secara abnormal.
Regenerasi abnormal tersebut menyebabkan saraf parasimpatik tumbuh di sepanjang serat simpatik, sehingga saraf parasimpatik yang biasanya berperan memerintahkan kelenjar parotis untuk memproduksi air liur jadi berkembang memerintah kelenjar keringat untuk memproduksi keringat dan pembuluh darah untuk melebar, yang mana fungsi ini biasa dilakukan oleh saraf simpatis.
Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan seseorang mengeluarkan keringat berlebih dan kemerahan saat dirangsang dengan makanan tertentu, terutama makanan yang menghasilkan saliva yang kuat, seperti makanan asam, pedas, atau asin.