Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Studi: Makanan Ultra Proses Ancam Kesehatan Anak dan Remaja

ilustrasi makanan ultra proses (unsplash.com/Li Lin)
ilustrasi makanan ultra proses (unsplash.com/Li Lin)
Intinya sih...
  • UPF merupakan produk berkalori tinggi, tinggi akan lemak tidak sehat, garam, dan gula. UPF telah menjadi bagian dari pola makan modern dan makin dikaitkan dengan gangguan mental, penyakit metabolik, dan obesitas.
  • Sebuah tinjauan studi menyebut bahwa kekurangan nutrisi tertentu akibat UPF, misalnya zat besi dan zink, bisa mengganggu perkembangan saraf dan fungsi kognitif pada anak.
  • Konsumsi UPF berlebihan selama kehamilan bisa memengaruhi perkembangan otak janin, terutama pada masa kritis kehamilan minggu ke-24 hingga ke-42.

Konsumsi makanan ultra proses (ultra-processed food/UPF) sejak masa awal kehidupan dapat mengganggu perkembangan kognitif dan meningkatkan risiko kesehatan mental jangka panjang, termasuk gangguan neurodevelopmental seperti attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan autism spectrum disorder (ASD), menurut sebuah studi.

Ulasan tersebut juga menggambarkan konsumsi berlebihan yang berpotensi menyebabkan kecanduan dan disfungsi dopamin. Meskipun tidak secara eksplisit menggambarkan ini sebagai perilaku makan yang mirip kecanduan, tetapi temuan studi ini menyoroti kebutuhan mendesak akan strategi kesehatan masyarakat yang menargetkan gizi ibu dan anak.

UPF: Praktis, terjangkau, tetapi rendah gizi dan berisiko bagi kesehatan

UPF merupakan produk berkalori tinggi, tinggi akan lemak tidak sehat, garam, dan gula. UPF telah menjadi bagian dari pola makan modern dan makin dikaitkan dengan gangguan mental, penyakit metabolik, dan obesitas.

Meskipun efeknya pada orang dewasa telah banyak didokumentasikan, tetapi UPF pada perkembangan otak selama tahap kehidupan yang rentan, seperti masa kanak-kanak awal, remaja, dan kehamilan, masih kurang dipahami.

Perkembangan dan penyebaran makanan praktis tersebut dimulai pada pertengahan abad ke-20, dengan produk seperti makanan beku dan pengenalan microwave yang meningkatkan popularitasnya.

Pada tahun 1980-an, kekhawatiran tentang dampak kesehatan mulai meningkat. Kemudian, pada 2009, sistem klasifikasi NOVA (dibuat untuk mengelompokkan makanan berdasarkan sejauh mana dan untuk tujuan apa suatu bahan pangan diolah) secara resmi mendefinisikan UPF, membedakannya dari makanan yang diolah secara minimal dan kelompok makanan utuh.

UPF diolah sedemikian rupa agar memiliki rasa lezat, harga terjangkau, dan daya simpan lama. Namun, UPF tergolong rendah gizi dan kerap mengandung bahan tambahan serta produk sampingan berbahaya dari proses pengolahan dan pengemasan.

Dampak UPF pada berat badan, penyakit kronis, dan otak anak

ilustrasi ibu hamil makan (pexels.com/Amina Filkins)
ilustrasi ibu hamil makan (pexels.com/Amina Filkins)

Penelitian berskala besar secara konsisten menunjukkan bahwa UPF berhubungan erat dengan penambahan berat badan dan obesitas pada semua kelompok usia. Pola makan yang kaya akan UPF juga meningkatkan risiko berbagai penyakit, seperti kanker tertentu, penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes tipe 2, sindrom metabolik, kolesterol tinggi, dan tekanan darah tinggi.

Pada ibu hamil, konsumsi UPF yang tinggi dikaitkan dengan preeklamsia, diabetes gestasional, serta hasil kehamilan yang kurang baik, misalnya bayi lahir dengan kelainan jantung bawaan atau lahir prematur.

Selain itu, UPF sering menggantikan makanan bergizi tinggi, sehingga menyebabkan kekurangan zat gizi mikro (seperti zat besi atau zink) yang sangat penting pada masa pertumbuhan pesat dan pematangan saraf janin. Studi mengaitkan konsumsi UPF berlebih dengan risiko hiperaktivitas, gangguan fokus, depresi, dan kecemasan, yang dampaknya bisa kumulatif dan bertahan seumur hidup.

Sebuah tinjauan studi menyebut bahwa kekurangan nutrisi tertentu akibat UPF, misalnya zat besi dan zink, bisa mengganggu perkembangan saraf dan fungsi kognitif pada anak. Penelitian pada hewan juga menemukan bahwa konsumsi lemak trans selama kehamilan dapat memicu peradangan pada hipokampus (bagian otak yang penting untuk memori) dan berdampak pada penurunan daya ingat anak.

Pengaruh UPF terhadap otak dan kebiasaan makan

UPF sering menjadi pilihan karena alasan keterbatasan waktu, skill memasak, atau bujet. Keluarga berpenghasilan rendah, orang tua tunggal, atau rumah tangga dengan dua orang tua bekerja sering mengandalkan makanan praktis ini. Program makan di sekolah pun sering memperkuat kebiasaan ini.

Gaya hidup modern seperti urbanisasi, kebiasaan ngemil, sering makan di luar, kurang tidur, dan iklan yang agresif membuat paparan UPF makin tinggi. Remaja adalah kelompok yang paling banyak mengonsumsinya, meski kebiasaan ini biasanya menurun seiring bertambahnya usia. Namun, konteks budaya juga berpengaruh. Di Jepang, makan siang sekolah yang berfokus pada gizi terbukti membantu mengurangi ketergantungan pada UPF.

Kebiasaan makan diatur oleh sistem homeostatik (kebutuhan energi) dan hedonik (rasa senang). Jalur dopamin di otak (dari area ventral tegmental ke striatum dan korteks prefrontal) mendorong respons kesenangan yang kuat ketika makan UPF yang rasanya enak, sering kali menekan sinyal kenyang alami. Paparan UPF berulang bisa membuat jalur kesenangan ini terlalu sensitif, sehingga kebiasaan makan berlebih makin sulit dikontrol. Beberapa peneliti menyebut fenomena ini sebagai “reward dysfunction” atau kebiasaan makan berlebihan yang sulit dikendalikan, mirip kecanduan.

Bagian otak seperti hipotalamus, amigdala, hipokampus, dan korteks insular berperan besar dalam menggabungkan sinyal metabolik, ingatan, dan emosi untuk menentukan pilihan makan. Jika sirkuit ini terganggu, risikonya meningkat untuk masalah seperti ADHD, autisme, dan perilaku makan berlebihan.

Trimester ketiga kehamilan dan masa kanak-kanak dini adalah fase yang sangat penting — kurang gizi pada masa ini bisa mengubah pembentukan sinaps dan proses mielinisasi secara permanen. Masa remaja juga termasuk fase rentan kedua: area otak seperti prefrontal cortex dan sistem dopamin mesolimbik masih berkembang, sehingga remaja lebih peka pada makanan tinggi kesenangan dan stres emosional. Paparan UPF berulang selama fase ini bisa memperkuat jalur kesenangan di otak dan melemahkan kemampuan menahan diri.

Lingkungan obesogenik (ketersediaan UPF, iklan masif, dan screen time berlebih) membentuk preferensi rasa untuk makanan manis, gurih, dan tinggi kalori. Konsumsi UPF sejak kecil dapat memicu inflamasi kronis, obesitas yang menetap, gangguan metabolik, hingga risiko gangguan mental di masa dewasa. Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa masalah makan seperti avoidant/restrictive food intake disorder (ARFID) dapat dipengaruhi oleh sifat sensorik UPF, meskipun hubungan sebab-akibat langsungnya masih belum pasti. Karena itu, membatasi konsumsi UPF pada ibu hamil, anak, dan remaja sangat penting untuk memutus rantai penyakit akibat pola makan buruk lintas generasi.

Konsumsi UPF berlebihan selama kehamilan bisa memengaruhi perkembangan otak janin, terutama pada masa kritis kehamilan minggu ke-24 hingga ke-42. Proses penting seperti pembentukan sinaps, mielinisasi, dan jalur sinyal neurotransmiter bisa terganggu akibat peradangan, stres oksidatif, perubahan epigenetik, dan gangguan mikrobioma usus.

Kekurangan zat gizi seperti asam lemak rantai panjang, zink, zat besi, dan protein akibat pola makan tinggi UPF bisa berdampak pada pengaturan emosi, memori, dan kemampuan berpikir anak. Dampaknya bisa bertahan lama dan meningkatkan risiko gangguan perkembangan seperti ADHD dan autisme. Beberapa komponen UPF, seperti nanopartikel (misalnya titanium dioksida) dan zat aditif tertentu, bisa melewati sawar darah otak dan berpotensi mengganggu memori dan proses belajar. Paparan bisfenol juga dapat mengganggu jalur dopamin dan serotonin di otak yang sedang berkembang.

Tinjauan ini juga menyoroti pentingnya hubungan usus-otak, di mana perubahan mikrobioma usus akibat UPF dapat menurunkan produksi neurotransmitter penting seperti serotonin dan brain-derived neurotrophic factor (BDNF) yang berperan besar dalam perkembangan kognitif dan pengaturan suasana hati.

Apa saja yang tergolong UPF?

Memahami bagaimana suatu makanan diolah hingga menjadi UPF bisa membantu kamu lebih sadar dan berusaha mengurangi konsumsinya. Cara mudahnya adalah dengan membaca label kemasan dengan teliti agar bisa memilih produk dengan bahan tambahan seminimal mungkin.

Beberapa contoh makanan yang tergolong UPF, antara lain:

  • Minuman bersoda.

  • Keripik kentang aneka rasa.

  • Nuget ayam beku siap goreng.

  • Sosis instan dan hot dog.

  • Mi instan dengan bumbu perasa.

  • Roti putih komersil yang tahan lama.

  • Permen kenyal atau permen lolipop aneka rasa.

  • Minuman energi.

  • Kopi susu botolan siap minum.

  • Minuman teh kemasan manis dengan perasa tambahan.

  • Biskuit isi krim dan wafer aneka rasa.

  • Donat beku siap panggang atau goreng.

  • Makanan cepat saji beku.

  • Yogurt manis berperisa dengan topping aneka warna.

Paparan berulang terhadap UPF, mulai dari masa janin hingga dewasa, dikaitkan dengan berbagai konsekuensi neurokognitif, dari gangguan fungsi otak hingga peningkatan risiko demensia saat usia lanjut.

Beberapa mekanisme yang mendasari dampak ini termasuk perubahan fungsi dopamin, gangguan koneksi usus-otak, serta perubahan jaringan saraf akibat peradangan. Karena efeknya bisa muncul sejak dini dan terus berkembang, langkah pencegahan sejak kehamilan dan masa kanak-kanak sangat penting untuk meminimalkan risiko tersebut.

Peran pembuat kebijakan pun krusial, mulai dari membatasi ketersediaan UPF, memperbaiki label kemasan agar lebih jelas, hingga mendorong industri untuk memperbaiki komposisi produknya. Para profesional kesehatan juga perlu terus mengedukasi masyarakat untuk memilih pola bernutrisi dan makanan segar yang minim proses, demi mendukung perkembangan otak dan menjaga kesehatan kognitif jangka panjang.

Referensi

Gaia Mottis, Pratheba Kandasamey, and Daria Peleg-Raibstein, “The Consequences of Ultra-processed Foods on Brain Development During Prenatal, Adolescent and Adult Stages,” Frontiers in Public Health 13 (June 23, 2025), https://doi.org/10.3389/fpubh.2025.1590083.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us