UPF sering menjadi pilihan karena alasan keterbatasan waktu, skill memasak, atau bujet. Keluarga berpenghasilan rendah, orang tua tunggal, atau rumah tangga dengan dua orang tua bekerja sering mengandalkan makanan praktis ini. Program makan di sekolah pun sering memperkuat kebiasaan ini.
Gaya hidup modern seperti urbanisasi, kebiasaan ngemil, sering makan di luar, kurang tidur, dan iklan yang agresif membuat paparan UPF makin tinggi. Remaja adalah kelompok yang paling banyak mengonsumsinya, meski kebiasaan ini biasanya menurun seiring bertambahnya usia. Namun, konteks budaya juga berpengaruh. Di Jepang, makan siang sekolah yang berfokus pada gizi terbukti membantu mengurangi ketergantungan pada UPF.
Kebiasaan makan diatur oleh sistem homeostatik (kebutuhan energi) dan hedonik (rasa senang). Jalur dopamin di otak (dari area ventral tegmental ke striatum dan korteks prefrontal) mendorong respons kesenangan yang kuat ketika makan UPF yang rasanya enak, sering kali menekan sinyal kenyang alami. Paparan UPF berulang bisa membuat jalur kesenangan ini terlalu sensitif, sehingga kebiasaan makan berlebih makin sulit dikontrol. Beberapa peneliti menyebut fenomena ini sebagai “reward dysfunction” atau kebiasaan makan berlebihan yang sulit dikendalikan, mirip kecanduan.
Bagian otak seperti hipotalamus, amigdala, hipokampus, dan korteks insular berperan besar dalam menggabungkan sinyal metabolik, ingatan, dan emosi untuk menentukan pilihan makan. Jika sirkuit ini terganggu, risikonya meningkat untuk masalah seperti ADHD, autisme, dan perilaku makan berlebihan.
Trimester ketiga kehamilan dan masa kanak-kanak dini adalah fase yang sangat penting — kurang gizi pada masa ini bisa mengubah pembentukan sinaps dan proses mielinisasi secara permanen. Masa remaja juga termasuk fase rentan kedua: area otak seperti prefrontal cortex dan sistem dopamin mesolimbik masih berkembang, sehingga remaja lebih peka pada makanan tinggi kesenangan dan stres emosional. Paparan UPF berulang selama fase ini bisa memperkuat jalur kesenangan di otak dan melemahkan kemampuan menahan diri.
Lingkungan obesogenik (ketersediaan UPF, iklan masif, dan screen time berlebih) membentuk preferensi rasa untuk makanan manis, gurih, dan tinggi kalori. Konsumsi UPF sejak kecil dapat memicu inflamasi kronis, obesitas yang menetap, gangguan metabolik, hingga risiko gangguan mental di masa dewasa. Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa masalah makan seperti avoidant/restrictive food intake disorder (ARFID) dapat dipengaruhi oleh sifat sensorik UPF, meskipun hubungan sebab-akibat langsungnya masih belum pasti. Karena itu, membatasi konsumsi UPF pada ibu hamil, anak, dan remaja sangat penting untuk memutus rantai penyakit akibat pola makan buruk lintas generasi.
Konsumsi UPF berlebihan selama kehamilan bisa memengaruhi perkembangan otak janin, terutama pada masa kritis kehamilan minggu ke-24 hingga ke-42. Proses penting seperti pembentukan sinaps, mielinisasi, dan jalur sinyal neurotransmiter bisa terganggu akibat peradangan, stres oksidatif, perubahan epigenetik, dan gangguan mikrobioma usus.
Kekurangan zat gizi seperti asam lemak rantai panjang, zink, zat besi, dan protein akibat pola makan tinggi UPF bisa berdampak pada pengaturan emosi, memori, dan kemampuan berpikir anak. Dampaknya bisa bertahan lama dan meningkatkan risiko gangguan perkembangan seperti ADHD dan autisme. Beberapa komponen UPF, seperti nanopartikel (misalnya titanium dioksida) dan zat aditif tertentu, bisa melewati sawar darah otak dan berpotensi mengganggu memori dan proses belajar. Paparan bisfenol juga dapat mengganggu jalur dopamin dan serotonin di otak yang sedang berkembang.
Tinjauan ini juga menyoroti pentingnya hubungan usus-otak, di mana perubahan mikrobioma usus akibat UPF dapat menurunkan produksi neurotransmitter penting seperti serotonin dan brain-derived neurotrophic factor (BDNF) yang berperan besar dalam perkembangan kognitif dan pengaturan suasana hati.